Pendidikan Sebagai Suatu Kewajiban
Pendidikan Sebagai Suatu Kewajiban
Selasa,
28 Juli 2009 / 6 Sya'ban 1430
Anda
mungkin pernah melihatnya. Seorang pemulung menarik gerobak di tengah hiruk
pikuk lalu lintas jalan protokol ibukota. Muatan di atas gerobak tanpa dinding
itu yang membelalakan mata kita. Seorang bocah telentang, tanpa tangan dan kaki
dan mengenakaan seragam SD Merah-Putih.
Ya meski tubuhnya tak sempurna, anak itu bersekolah! Luar biasa, inilah cermin nyata semboyan education for all.
Sayangnya, keistimewaan anak tuna daksa itu hanya pengecualian yang amat sangat sedikit di negeri kita. Jauh lebih banyak lagi tuna daksa yang tak seberuntung dirinya. Bahkan anak-anak yang tuna daksa lantaran kusta, dikucilkan oleh masyarakat yang takut tertular penyakitnya.
Sebab, memang pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi hebat untuk dikembangkan. Maxwell Malt, peneliti Amerika mengemukakan kehebatan manusia yang mampu mengoptimalkan keunggulan potensi dirinya. Bila manusia dapat mengaktifkan 7% saja dari sel otaknya, maka profil kecerdasan orang itu adalah: Menguasai 12 bahasa dunia, menyandang 5 deret gelar kesarjanaan, dan hapal ensiklopedia lembar-demi lembar, huruf demi huruf yang satu setnya terdiri dari beberapa puluh buku.
Bayangkan, itu baru kemampuan tujuh persen saja sel otak manusia. Selama manusia tidak terganggu syaraf otaknya, niscaya dia berpotensi menjadi insan unggul meskipun hidup tanpa kesempurnaan fisik. Asalkan, dia mendapat kesempatan yang sama dengan manusia normal untuk memperoleh pendidikan yang memadai.
Alhamdulillah, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Dirjen Manajemen Dikdasmen Depdiknas sudah mencanangkan Pendidikan Inklusi sejak tahun 2003. Pendidikan Inklusi disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan anak berkebutuhan khusus. Ini merupakan program pelayanan pendidikan untuk semua (education for all).
Dalam Jurnal Studi Islam (Santoso, Muhammad Abdul Fattah, 2005) dikemukakan lima karakteristik Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi (untuk peserta didik dan mengerti rintangan dalam hubungan faktor-faktor eksternal khususnya lingkungan sekolah.
Namun justru, yang lebih mengamalkan teori ini adalah Finlandia. Berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), kualitas pendidikan negara ini tertinggi di dunia.
Penilaian menggunakan metode PISA (Programme for International Student Assessment) untuk mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca dan Matematika.
Hebatnya, Finlandia bukan hanya juara pendidikan secara akademis, tapi juga unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.
Dengan kata lain, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas tanpa kecuali. Hasilnya, tengoklah ponsel anda dan orang-orang Indonesia pada umumnya. Hampir bisa dipastikan mereknya: Nokia –made in Finladia. Wallahu’alam
Ismail A Said
Presiden Direktur Dompet Dhuafa Republika
Newsletter Donatur Dompet Dhuafa Edisi Rajab 1430 H
No comments