Antara Bermusyawarah dan Bertakwa
Senin, 18 April 2011 / 14 Jumadil Awwal 1432




فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ


  “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imran (3): 159)

[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

  Musyawarah terambil dari akar kata sy-w-r yang makna dasarnya adalah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Pada periode berikutnya, makna musyawarah berkembang menjadi lebih luas sehingga mencangkup segala sesuatu yang dapat diambil dan dikeluarkan dari yang lain, termasuk gagasan atau pendapat.

  Sesuai dengan makna dasarnya, musyawarah hanya bisa digunakan untuk hal-hal yang positif. Kumpulan para penjahat untuk merencanakan suatu kejahatan sekalipun dengan cara memeras otak untuk mengeluarkan pendapat para anggotanya, tidak bisa disebut musyawarah. Pertemuan tersebut adalah sebuah makar yang jelas-jelas bertujuan jahat.

  Musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang baik dengan niat dan motivasi baik, pendapat yang jitu, solusi yang indah, dan jalan keluar yang diterima oleh semua pihak. Bagaikan madu, selain dapat menjadi obat segala penyakit, juga menjadi sumber kesehatan dan kekuatan.

  Dengan analogi ini, maka peserta musyawarah hendaklah terdiri dari orang-orang yang memiliki karakteristik lebah. Di antara karakteristik khasnya adalah: berdisplin tinggi, menjunjung tinggi kebersamaan dan kerjasama, tidak mengganggu kecuali diganggu, tidak merusak sekalipun hinggap di ranting pohon atau bahkan di putik bunga, tidak makan kecuali sari kembang, dan sekalipun menyengat tapi sengatannya menjadi obat.

  Sejalan dengan analogi di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) pernah berpesan kepada ‘Ali bin Abi Thalib tentang sifat orang-orang yang tidak patut diajak bermusyawarah.

  Beliau Bersabda; “Wahai Ali, janganlah kamu bermusyawarah dengan penakut, karena ia mempersempit jalan keluar. Jangan pula bermusyawarah dengan dengan orang-orang yang kikir, karena ia akan menghambat kamu dari tujuanmu.

  Demikian juga jangan bermusyawarah dengan orang-orang yang ambisius, karena ia akan akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, sesungguhnya sifat takut, kikir dan ambisius itu merupakan bawaan yang sama. Ketiganya bermuara pada prasangka buruk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT)”.

  Dari beberapa ayat musyawarah maupun Hadits Nabi yang mengetengahkan masalah ini, tak satupun kita dapati tentang syarat-syarat anggota syuro maupun jumlahnya. Demikian juga para Ulama.

  Akan tetapi, merujuk pada makna dasar musyawarah, maka karakteristik lebah sebagaimana telah dijelaskan di atas, setidak-tidaknya bisa dipenuhi. Dalam kaitan ini, Ja’far Ash Shadiq sedikit membuat kriteria sederhana.

  Ia berkata; “Bermusyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan seseorang yang memiliki lima hal, yaitu: akal, lapang dada, pengalaman, perhatian dan takwa”.

  Dalam kontek sekarang, ulul amr atau dengan istilah lain ahlul halli wal aqdi atau ahlusy syura. Atau ahlul ijtihad, atau dewan syuro hendaknya orang-orang terpilih yang memiliki sifat dan karakter positif yang memungkinkan keluarnya madu dalam jumlah yang banyak.

  Dalam prosesnya bisa saja terjadi adu argumentasi yang alot, adu pendapat yang keras, dan adu teori yang berat dan melelahkan, tapi mereka tetap berlapang dada, bekerja sama dan berdisplin tinggi. Mereka saling menghormati dan rendah diri.

Ustadz Abdurrahman Muhammad

Pimpinan Umum Hidayatullah

Suara Hidayatullah | Agustus 2009 / Sya’ban 1430 H, Hal 12