Hindari Kekecewaan Anak
27 Juli 2010 / 16 Sya’ban 1431 H


Seorang anak tampak bahagia ketika mendengar bahwa ibunya akan datang ke sekolah untuk mengambil buku rapornya di TK. Sebelumnya, sang ibu jarang datang ke sekolah karena selain bekerja, ia juga sibuk merawat bayinya.

“Jadi, kalau aku keluar dari kelas, Ummi sudah ada di bawah tangga, ya?” ujar sang anak sambil tersenyum.

Ketika si anak keluar dari kelas, dan dilihatnya sang ibu sudah berdiri di bawah tangga, si anak sangat gembira. Segera ia menuruni tangga, dan ketika sampai di bawah ia langsung memeluk erat dan mencium sang ibu.

Saat dalam perjalanan pulang ke rumah, kebahagiaan si anak masih terpancar. Saat berjalan, ia memegang erat tangan sang ibu sambil bercanda dan tertawa-tawa. Ketika sampai di rumah, si anak sibuk mengeluarkan mainannya dan mengajak sang ibu untuk bermain.

Si ibu yang berniat akan kembali ke kantor merasa kaget. Ia baru tersadar, karena ia tidak memberitahu anaknya sejak awal bahwa ia akan kembali ke kantor siang itu.

Akhirnya, si ibu meminta ijin untuk berangkat, namun anak tersebut tampak begitu sedih dan mulai terisak sambil memegang boneka kecil di tangannya.

Si ibu akhirnya memeluknya, dan mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. “Dinda sayang, Ummi tahu Dinda kecewa karena mengira bahwa hari ini Ummi akan ada di rumah terus.

Ummi minta maaf, karena tidak memberi tahu Dinda sebelumnya, Ummi tahu Dinda sudah punya banyak rencana, mau bermain bersama Ummi dan mau dibuatkan baju boneka.

Tapi hari ini, Ummi ijin tidak masuk kantor hanya sampai siang. Insya Allah, nanti sore Ummi pulang dari kantor, bisa bermain lagi bersama ya?”

Sang ibu terus berbicara memberi pengertian pada anaknya, hingga akhirnya Dinda berkata; “Tidak apa-apa Ummi pergi, yang penting Ummi tetap ada di hati,” ujarnya dengan mata yang masih basah.

Kisah di atas menggambarkan bahwa kesedihan, ketakutan, dan kekecewaan akan perpisahan kerap dirasakan anak. Apalagi jika itu terjadi di luar perkiraannya. Sesungguhnya, hal itu normal terjadi pada anak-anak.

Karena itu, saat orang tua akan meninggalkan anak, sebaiknya memberitahukan sebelumnya kapan dan berapa lama akan pergi. Informasi tersebut sebaiknya diulang sampai si anak bisa mengerti. Hal itu membuat anak siap untuk berpisah, dan dapat memperkirakan kapan ia dapat bertemu kembali.

Ada sebagian orang tua yang ketika akan pergi malah menyelinap, agar tidak diketahui anaknya. Ia ingin menghindari kesedihan dan kekecewaan anaknya. Namun, cara tersebut sesungguhnya justru dapat merusak kepercayaan dan meningkatkan ketergantungan anak.

Meski masih di bawah usia lima tahun, sesungguhnya anak sudah mampu berpikir sesuai dengan tahapannya. Bahkan, sudah mampu membuat rencana. Karena itu, orang tua sebaiknya tidak mengabaikan pikiran dan rencana anak.

Jika yang terjadi selalu di luar perkiraan dan rencananya, maka anak akan merasa sering dikecewakan, sehingga menjadi anak yang ‘rewel’. Jadi, orang tua sebaiknya selalu terbuka menyampaikan situasi dan kondisi yang terjadi.

Kadang, ada hal yang terlupakan atau yang terjadi benar-benar di luar rencana. Untuk itu, orang tua bisa mengatakan dengan lembut dan penuh kasih sayang bahwa ia mengerti perasaan si anak.

Sebagaimana yang dilakukan ibu dalam kisah di atas, yang akhirnya mampu membuat anak terhibur dan terobati kekecewaan hatinya.

Ida S. Widayanti

Penulis buku

Suara Hidayatullah | Mei 2009 / Jumadil Ula 1430 , Hal 53