Kekacauan Ilmu
Selasa, 02 Nopember 2010 / 25 Zulqaidah
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya mengamati kondisi pendidikan di Indonesia ini kok kacau ya. Yang belajar ekonomi kerja sebagai tenaga IT, sementara yang Sarjana IT malah jualan herbal. Yang Sarjana Pertanian bekerja di Bank, yang Insinyur Elektro ‘cuma’ jualan pulsa, dan banyak contoh kasus lainnya.
Yang dididik untuk menjadi pengayom rakyat ternyata malah jadi pemeras rakyat. Sepertinya, pendidikan yang selama ini kita jalani kurang relevan dengan hasilnya. Bagaimana menurut Ibu Erma?
Wassalam,
Faisal – Jawa Timur
Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bapak Faisal dan pembaca lainnya yang dirahmati Allah, banyak dari kita yang merasakan kejanggalan hasil pendidikan ini. Tentu saja tidak bisa dinafikan adanya kebebasan untuk berubah pikiran dalam memilih profesi, walau tidak sejalan dengan pendidikannya.
Namun, wajarlah jika menyayangkan, seakan-akan waktu dan ilmu yang dipelajari selama bertahun-tahun menjadi sia-sia atau tidak termanfaatkan secara optimal.
Masyarakat India, menurut Nimat Hafez Barazangi –visiting fellow di Cornell University, bahkan secara jujur mengakui bahwa di antara tujuan mereka mengirimkan anak gadisnya kuliah adalah untuk mencari jodoh.
Jika ingin mendapat menantu dokter, dikirimkanlah anaknya kuliah di Kedokteran. Jika ingin menantu Insinyur, dikirimlah belajar di Fakultas Teknik.
Fenomena ini di picu dari tujuan pendidikan yang salah kaprah, baik tujuan mikro individu maupun makro kenegaraan. Secara mikro, kebanyakan Umat Islam kuliah/sekolah dengan berbagai tujuan kecuali satu : mencari ilmu.
Mayoritas memilih sekolah/jurusan demi kemampanan ekonomi (uang). Alasan lain adalah mencari jodoh atau ikut-ikutan teman. Maka, ketika tujuan tersebut sudah diraih, ilmunya itu sendiri menjadi tidak penting.
Jika uang bisa didapat melalui jualan pulsa, peduli amat dengan perkembangan ilmu elektronik, walaupun dia seorang sarjana elektro. Jika jodoh sudah didapat, peduli amat dengan perkembangan ilmu kedokteran, walaupun dia lulusan Kedokteran.
Tujuan yang salah kaprah ini akibat manusia mengalami kebingungan kronis tentang hidupnya. Akibatnya, bingung pula untuk apa belajar suatu ilmu (selain untuk mencari harta, wanita/jodoh, atau kedudukan).
Di antara sedikit manusia yang benar-benar belajar untuk menguak rahasia alam (untuk ilmu), diujung penemuan hebatnya, terpaksa terhenti oleh pertanyaan: “Untuk apa penemuan hebat ini?”
Para Ulama pendidikan Islam menyebut fenomena ini sebagai kekacauan ilmu. Ilmu dianggap sebatas informasi yang bebas nilai sehingga semua hal bisa disebut ilmu. Tidak dibedakan lagi antara ilmu bermanfaat dan ilmu yang membawa petaka.
Universitas/institute pun tidak segan mencetak Sarjana Ekonomi ribawi, Sarjana tari/dansa, hingga Sarjana drama (ahli aktring/berpura-pura). Apakah kelak akan tercipta jurusan perkuliahan baru yang mencetak Sarjana pencurian?
Sayangnya, dengan dalih “toh ada manfaat yang bisa diambil” serta terpengarah oleh kemilau Peradaban Barat, Umat Islam mau digiring untuk menghabiskan waktu ikut-ikutan mempelajari ilmu-ilmu yang bermasalah.
Padahal, ilmu-ilmu sekuler ini banyak merusak mental dan otak umat Islam. Di jurusan seni rupa, misalnya ada praktek menggambar tubuh yang telanjang. Akhirnya atas nama seni, Undang-Undang antipornografi dihambat.
Demikian pula, atas nama demokrasi masyarakat pun digiring untuk menolak otoritas Allah dalam membuat hukum. Atas nama HAM, umat Islam didorong untuk berperilaku bebas.
Selain merusak mental dan otak, kekacauan ilmu ini juga berakibat pada terbuang-buangnya waktu Umat Islam lantaran mempelajari hal-hal yang kurang penting atau kurang relevan dengan hidupnya di kemudian hari.
Ada sebuah anekdot di antara para Sarjana IT yang bekerja jauh dari ilmunya; “Tidak mengapa, minimalkan saya bisa internet dan mengetik.” Padahal, seandainya waktu 5 tahun yang terpakai untuk “belajar internet dan mengetik” itu dimanfaatkan untuk belajar yang lebih penting dan lebih relevan dengan kehidupannya, tentu dia sudah melesat maju jauh ke depan.
Membudayanya ketidaksinkronan ilmu ini mengakibatkan kita pun akan selalu tertinggal dan kalah dari bangsa lain.
Ilmu yang hakiki adalah yang bisa mengantarkan manusia kepada kehidupan yang benar, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT. Karena itulah, ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim di masa lalu maju pesat dengan arah yang benar, tanpa perlu terhenti oleh pertanyaan: “Untuk apa ilmu ini? Untuk apa penemuan hebat ini?”
Mereka memahami peran Umat Islam sebagai Khalifah (pemimpin) di muka bumi ini, yakni untuk memimpin manusia dalam memakmurkan bumi sesuai tuntutan Syariat Islam.
Iptek tanpa tuntutan wahyu hanya akan membawa kerusakan, sebagaimana sudah kita lihat saat ini dengan banyaknya kriminalitas, banjir, gempa, hingga global warming. Dan sebagai pemimpin Peradaban, Umat Islam tidak akan mau tertinggal dan kalah. Allahu a’lam.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 99 Tanggal 15 Oktober – 5 Nopember 2010 M / 7 - 28 Dzulqa’idah 1431 H, Hal 19
No comments