Breaking News

Mendidik Anak Cara Nabi

Mendidik Anak Cara Nabi
Rabu, 27 Maret 2013 / 15 Jumadil Awwal 1434 H
   
Barangsiapa memiliki dua anak dan diasuh dengan baik, maka mereka akan menjadi penyebab masuknya ke surga. (Riwayat Bukhari)

     Sebelum popular istilah parenting. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW) telah memberi perhatian sekaligus keteladanan tentang bagaimana kepengasuhan yang baik dan benar. Jika jeli dan mau sedikit bersusah payah untuk membaca referensi lama, kita akan banyak menemukan hadits yang berkaitan dengan hal itu.

      Kini, sudah saatnya Umat Islam bangkit dalam ghazwul fikr (perang pemikiran). Pada awalnya kebangkitan beberapa waktu lalu (saat negara-negara Islam baru merdeka dari penjajahan Barat), Umat Islam masih meraba-raba. Ibarat bangun tidur, setengah sadar. Di satu sisi ingin bebas sepenuhnya dari pengaruh Barat, tapi masih gamang untuk meninggalkannya.

      Saat itu umat Islam jauh dari “percaya diri”, diliputi perasaan “inferiority complex”. Kepalanya masih belum bisa tegak. Lahirlah anekdot, : "Jika ingin maju, ikutilah Barat!”


     Lagi-lagi kaum Muslimin jadi korban. Orang-orang yang ingin taat beragama disebut kolot, ketinggalan zaman, bahkan disebut anti kemajuan. Modernisasi pada saat itu identik dengan westernisasi.

     Rupanya Barat tidak sepenuhnya membiarkan kaum Muslimin benar-benar merdeka. Ibarat kepala dilepas, tapi ekornya masih dipegang. Secarta fisik mereka membiarkan kaum Muslimin merdeka, tapi secara fikrah mereka ingin tetap mendominasi.

      Meski demikian, kaum Muslimin sudah terlanjur sadar nasibnya yang tidak menguntungkan. Allah juga tak rela jika kaum Muslimin terus-menerus dijajah alam pikirannya.

يُرِيدُونَ لِيُطْفِؤُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

"Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". (QS. Ash-Shaff (61): 8)

    Usaha memadamkan cahaya Allah saat ini mereka lakukan melalui gerakan globalisasi, yang mengusung tema: Hak Asasi Manusia (HAM), toleransi, dan anti diskriminasi.

    Melalui HAM dan anti diskriminasi, mereka memaksakan kepada kita agar orang-orang yang memiliki kelainan seksual (homo, lesbian, dan sejenisnya) diterima sebagai orang normal. Mereka pun menuntut agar pernikahan sejenis dihalalkan atas nama antidiskriminasi.

     Menurut syariat Islam, hal itu jelas-jelas telah menyimpang dan harus dihukum. Namun pemikiran yang tidak waras ini terus dipaksakan agar diterima oleh umat Islam melalui logika HAM dan antidiskriminasi.

       Demikian juga halnya dengan hukuman. Meenurut mereka, menghukum anak tidak boleh dilakukan dengan kekerasan. Kekerasan orangtua terhadap anak digolongkan sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan karenanya pantas dihukum dan dipenjara.

      Islam tidak mengajarkan kekerasan, juga melarang orangtua berbuat kasar dan keras kepada anaknya. Tetapi memukul yang tidak sampai menyakitkan masih dianggap berada dalam batas normal, dan karenanya boleh dijadikan alternatif hukuman.

       Misalnya, ketika anak berusia 7 tahun, maka orana gtua harus mengajarkan dan membiasakannya shalat. Jika sudah 10 tahun dan si anak masih enggan melaksanakan shalat, maka orangtua boleh menghukum dengan cara memukul yang tidak menyakitkan atau melukai.

    Tampaklah perbedaan yang jelas antara prinsip Barat yang cenderung ‘serba boleh’ dan Islam yang “bebas bertanggung jawab”. Barat yang lebih menekankan pada “hak”, sementara Islam lebih menekankan pada “kewajiban”.

     Alhamdulillah, semangat menggali kembali khazanah Islam yang telah lama hilang itu tumbuh kembang di mana-mana. Ada kesadaran baru dari kalangan intelektual muda Muslim menyibukkan diri dengan As-Sunnah. Mereka melakukan tahqiq dengan manuskrip-manuskripnya, mensyarahi matan-matannya, meneliti sanad-sanadnya, dan menerbitkan kembali kitab-kitab klasik yang ternyata tak kalah canggihnya.

     Subhanallah, kesungguhan, kejelian, dan ketelitian mereka telah membuahkan hasil. Kini banyak buku rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk di dalamnya adalah buku pendidikan ala Nabi yang menampilkan hadits-hadits shahih yang telah ditahrij secara seksama.

Islam dan Tanggung Jawab Orang Tua

      Ajaran Islam memang sangat lengkap memberikan tuntunan kepengasuhan anak parenting. Dalam hal Air Susu Ibu (ASI), misalnya Syariat Islam menetapkannya sebagai hak anak bukan hak ibu atau bapak.

      Jika seorang ibu ingin memutus (tidak memberi) ASI kepada anaknya, maka harus melalui musyawarah keluarga. Dalam hal ini, ayah ditunjuk menjadi jurubicara anak dan mewakili kepentingan anak.

     Ibu tidak boleh karena alasan yang tidak syar’i memutus pemberian ASI. Jika akhirnya terpaksa memutus karena alasan syar’i, maka sang ayah wajib mencarikan ASI dari ibu yang lain. Bukan dengan cara instan mengganti ASI dengan susu sapi.

     Ternyata banyak orangtua yang belum mengerti soal sederhana ini. Mereka mengikuti saja cara dan pola kepengasuhan yang selama ini berjalan. Padahal belum tentu sesuai syariat Islam. Rasulullah belum dijadikan teladan.

     Satu hal yang penting: mengasuh anak tidak bisa dengan cara instan. Orang tua harus mau berpayah-payah, berkeringat, bahkan jika perlu “berdarah-darah”. Jika ingin anaknya shalih dan shalihah, tidak ada cara lain kecuali harus berjuang, bersungguh-sungguh mengihtiarkannya, lahir maupun batin. Termasuk tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan, kesuksesan, dan kemuliaan anak-anaknya.* Hamim Thohari 3/ Karima

Majalah Karima | Muharram 1434 H / Desember 2012 | 4 - 5

No comments