Mengulang Akad Nikah Agar punya Anak
Mengulang Akad Nikah Agar punya Anak
Senin, 08 April 2013 / 27 Jumadil Awwal 1434 HPertanyaan:
Assalamu’alaikum
Nama saya Anis, usia saya 19 tahun
Saya ingin bertanya, kakak saya sudah 5 tahun menikah tapi belum dikaruniai anak. Kemarin
dapat saran dari seorang kyai dia bilang, dulu tanggal pernikahan kakak
saya itu salah, lalu disuruh untuk mengulang ijab qobulnya lagi. Karena
kiayi itu bilang tanggal pernikahan dulu tidak sesuai dengan weton.
Jadi harus diulang berdasarkan perhitungan weton. Bukankah itu salah?
Saya ingin menyangkalnya, tapi belum berani karena saya belum dapat dasar hukum yang pasti (dari hadis atau Alquran). Saya takut dikira mengikuti golongan tertentu karena di keluarga kami ada yang dari Muhammadiyah, ada yang dari NU. Saya mohon jawabannya Pak, karena tanggal 31 bulan Januari ini kakak saya rencananya akan mengulang ijab qobulnya. Saya ingin mencegahnya.
Saya ingin menyangkalnya, tapi belum berani karena saya belum dapat dasar hukum yang pasti (dari hadis atau Alquran). Saya takut dikira mengikuti golongan tertentu karena di keluarga kami ada yang dari Muhammadiyah, ada yang dari NU. Saya mohon jawabannya Pak, karena tanggal 31 bulan Januari ini kakak saya rencananya akan mengulang ijab qobulnya. Saya ingin mencegahnya.
Terima kasih atas jawaban, dan saya mohon doanya agar saya bisa menyadarkan kakak saya itu.
wassalamu”alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du
Ada dua permasalahan dari pertanyaan yang anda sampaikan,
Pertama, mengulangi akad nikah.
Kaidah yang berlaku bahwa selama akad nikah sah, tidak perlu diulangi. Mengulang
perbuatan yang tidak perlu diulang adalah amal sia-sia. Apalagi jika
itu berkaitan dengan hukum Allah semacam akad nikah, statusnya
terlarang.
Kedua, adanya keturunan dalam sebuah keluarga, murni pemberian dari Allah Ta’ala. Manusia hanya bisa berikhtiar, mencari sebab yang diizinkan oleh syariat untuk mendapatkannya.
Kedua, adanya keturunan dalam sebuah keluarga, murni pemberian dari Allah Ta’ala. Manusia hanya bisa berikhtiar, mencari sebab yang diizinkan oleh syariat untuk mendapatkannya.
Allah berfirman
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ ( ) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Hanya milik Allah
kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia
memberi anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia
memberi anak laki-laki kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Atau Dia
memberi sepasang anak perempuan dan laki-laki. Dia juga yang menjadikan
siapa saja yang Dia kehendaki sebagai orang mandul. Sesunguhnya Dia Maha
Mengetahui dan Maha Kuasa.”(QS. As-Syura: 49 – 50).
Memahami hal ini, yang bisa dilakukan oleh manusia hanya berikhtiar, mencari sebab yang diizinkan syariat untuk mendapatkan anak. Semacam berdoa atau berobat ke dokter terkait.
Ketiga, ada kaidah penting terkait penggunaan sebab. Kaidah itu menyatakan,
Memahami hal ini, yang bisa dilakukan oleh manusia hanya berikhtiar, mencari sebab yang diizinkan syariat untuk mendapatkan anak. Semacam berdoa atau berobat ke dokter terkait.
Ketiga, ada kaidah penting terkait penggunaan sebab. Kaidah itu menyatakan,
اخذ السبب وهو ليس بسبب شرك
‘Mengambil sesuatu sebagai sebab, padahal itu bukan sebab, termasuk kesyirikan’
Syaikhul Islam mengatakan,
لا يجوز أن يعتقد أن الشيء سبب لا يعلم، فمن أثبت سببًا بلا علم أو بخلاف الشرع كان مبطلًا، كمن يظن أن النذر سبب في رفع البلاء
"Tidak
boleh seseorang berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang merupakan sebab
namun tidak diketahui. Siapa yang menetapkan sesuatu sebagai sebab tanpa
ilmu atau bertentangan dengan syariah berarti dia melakukan kebatilan.
Sebagaimana orang yang menganggap bahwa nadzar merupakan sebab
dihilangkannya bencana"(al-Mustadrak ‘ala Fatawa Syaikhil Islam, 1:120, dinukil dari Ahkam at-Tabaruk, hlm. 8).
Kaidah ini juga dijelaskan oleh Imam Ibnu Utsaimin dalam Syarh Kitab Tauhid 1:208, ketika beliau menjelaskan jimat, beliau menyatakan,
“Orang yang memakai kalung jimat atau semacamnya, ada 2 keadaan:
Jika dia meyakini bahwa jimat itu bisa memberikan pengaruh dengan sendirinya, tanpa izin Allah, maka ini syirik besar dalam hal tauhid rububiyah. Karena dia berarti meyakini bahwa ada pencipta selain Allah.
Jika dia meyakini bahwa itu hanya sebab, namun tidak bisa memberi pengaruh dengan sendirinya, maka dia syirik kecil. Karena ketika dia meyakini sesuatu yang sejatinya bukan sebab sebagai sebab, berarti dia telah menyaingi Allah dalam penetapan hukum untuk benda itu, bahwa benda itu bisa jadi sebab. Padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab.
Untuk bisa memahami apakah benda itu bisa menjadi sebab ataukah bukan, ada dua kriteria lahir secara syariat. Jika terpenuhi SALAH SATU dari kriteria ini, terpenuhi persyaratan untuk dijadikan sebab:
Pertama, ada dalilnya. Artinya Allah tetapkan sebab tersebut melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab model ini diistilahkan dengan sebab syar’i. Itulah semua sebab yang ditetapkan berdasarkan dalil, baik Alquran maupun sunah, meskipun sebab tersebut tidak masuk dalam lingkup penelitian ilmiah.
Kedua, terbukti secara empirik dan masuk akal. Artinya sebab tersebut merupakan bagian dari hasil pengalaman atau penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa sesuatu tersebut merupakan sebab munculnya sesuatu yang lain.
Misalnya: Makan adalah sebab kenyang, belajar merupakan sebab bisa mendapatkan ilmu, bekerja merupakan sebab untuk mendapatkan penghasilan, dst.
Atau sebab berdasarkan penelitian, semacam listrik menjadi sebab lampu menyala, paracetamol obat untuk mengurangi nyeri, dst. Kriteria semacam ini yang sering disebut sebab kauni.
Kembali pada kasus yang anda sampaikan,
Sang kiyai menyarankan agar bisa memiliki anak, kakak Anda diminta mengulangi akad nikah di tanggal yang dia tetapkan. Karena akad nikah yang pertama dilakukan di tanggal yang salah.
Dari keterangan yang disampaikan pak kyai ini, ada beberapa yang bisa kita simpulkan:
Akad nikah pertama dilakukan di tanggal yang salah, sehingga itu menjadi SEBAB kakak anda belum memiliki keturunan
Memperbarui akad nikah di tanggal yang benar, dan itu bisa menjadi SEBAB sang pengantin bisa mendapatkan anak.
Pertanyaan besar untuk menjawab fatwa ngawur seperti ini:
Apa hubungan antara tanggal akad nikah dengan punya anak??
Apa dalil bahwa untuk punya anak harus melakukan akad nikah di tanggal tertentu??
Adakah penelitian ilmiyah yang menjelaskan ada hubungan antara tanggal akad nikah dengan keturunan??
Jawabannya tidak lain adalah tahayul. Itu murni ajaran tahayul pak kyai. Dengan demikian, meyakini bahwa ada tanggal tertentu untuk akad nikah yang itu menjadi SEBAB pasangan ini punya anak, berarti termasuk mengambil sebab yang bukan sebab, dan itu syirik kecil.
Kaidah ini juga dijelaskan oleh Imam Ibnu Utsaimin dalam Syarh Kitab Tauhid 1:208, ketika beliau menjelaskan jimat, beliau menyatakan,
“Orang yang memakai kalung jimat atau semacamnya, ada 2 keadaan:
Jika dia meyakini bahwa jimat itu bisa memberikan pengaruh dengan sendirinya, tanpa izin Allah, maka ini syirik besar dalam hal tauhid rububiyah. Karena dia berarti meyakini bahwa ada pencipta selain Allah.
Jika dia meyakini bahwa itu hanya sebab, namun tidak bisa memberi pengaruh dengan sendirinya, maka dia syirik kecil. Karena ketika dia meyakini sesuatu yang sejatinya bukan sebab sebagai sebab, berarti dia telah menyaingi Allah dalam penetapan hukum untuk benda itu, bahwa benda itu bisa jadi sebab. Padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab.
Untuk bisa memahami apakah benda itu bisa menjadi sebab ataukah bukan, ada dua kriteria lahir secara syariat. Jika terpenuhi SALAH SATU dari kriteria ini, terpenuhi persyaratan untuk dijadikan sebab:
Pertama, ada dalilnya. Artinya Allah tetapkan sebab tersebut melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab model ini diistilahkan dengan sebab syar’i. Itulah semua sebab yang ditetapkan berdasarkan dalil, baik Alquran maupun sunah, meskipun sebab tersebut tidak masuk dalam lingkup penelitian ilmiah.
Kedua, terbukti secara empirik dan masuk akal. Artinya sebab tersebut merupakan bagian dari hasil pengalaman atau penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa sesuatu tersebut merupakan sebab munculnya sesuatu yang lain.
Misalnya: Makan adalah sebab kenyang, belajar merupakan sebab bisa mendapatkan ilmu, bekerja merupakan sebab untuk mendapatkan penghasilan, dst.
Atau sebab berdasarkan penelitian, semacam listrik menjadi sebab lampu menyala, paracetamol obat untuk mengurangi nyeri, dst. Kriteria semacam ini yang sering disebut sebab kauni.
Kembali pada kasus yang anda sampaikan,
Sang kiyai menyarankan agar bisa memiliki anak, kakak Anda diminta mengulangi akad nikah di tanggal yang dia tetapkan. Karena akad nikah yang pertama dilakukan di tanggal yang salah.
Dari keterangan yang disampaikan pak kyai ini, ada beberapa yang bisa kita simpulkan:
Akad nikah pertama dilakukan di tanggal yang salah, sehingga itu menjadi SEBAB kakak anda belum memiliki keturunan
Memperbarui akad nikah di tanggal yang benar, dan itu bisa menjadi SEBAB sang pengantin bisa mendapatkan anak.
Pertanyaan besar untuk menjawab fatwa ngawur seperti ini:
Apa hubungan antara tanggal akad nikah dengan punya anak??
Apa dalil bahwa untuk punya anak harus melakukan akad nikah di tanggal tertentu??
Adakah penelitian ilmiyah yang menjelaskan ada hubungan antara tanggal akad nikah dengan keturunan??
Jawabannya tidak lain adalah tahayul. Itu murni ajaran tahayul pak kyai. Dengan demikian, meyakini bahwa ada tanggal tertentu untuk akad nikah yang itu menjadi SEBAB pasangan ini punya anak, berarti termasuk mengambil sebab yang bukan sebab, dan itu syirik kecil.
Semoga bisa dipahami. Allahu a’lam.
Ustadz Ammi Nur Baits
(Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
(Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
KonsultasiSyariah | Mengulang akad nikah agar punya anak
No comments