Bolehkah Takut Mati
Bolehkah Takut Mati
Jum'at, 31 Mei 2013 / 21 Rajab 1434 H
Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh
Saat ini umur saya 42 tahun, memiliki satu istri dan tiga orang anak. Semua anak saya masih sekolah, mulai dari SD hingga SMA. Saya sangat mencintai mereka sebagaimana saya mencintai diri saya sendiri.
Suatu malam, saya tidak bisa tidur hanya karena memikirkan satu hal, yaitu kematian. Seandainya saya mati sekarang, bagaimana nasib istri dan anak-anak yang saya tinggalkan. Terus terang saya takut mati dan segala sebab kematian.
Pertanyaan saya, sebagai Muslim, apakah perasaan takut mati itu dosa? Lalu bagaimana cara mengatasinya?
Saat ini umur saya 42 tahun, memiliki satu istri dan tiga orang anak. Semua anak saya masih sekolah, mulai dari SD hingga SMA. Saya sangat mencintai mereka sebagaimana saya mencintai diri saya sendiri.
Suatu malam, saya tidak bisa tidur hanya karena memikirkan satu hal, yaitu kematian. Seandainya saya mati sekarang, bagaimana nasib istri dan anak-anak yang saya tinggalkan. Terus terang saya takut mati dan segala sebab kematian.
Pertanyaan saya, sebagai Muslim, apakah perasaan takut mati itu dosa? Lalu bagaimana cara mengatasinya?
ANZ
Sulawesi Selatan
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullahi wa BarakaatuhSulawesi Selatan
Takut mati adalah perasaan yang dialami oleh sebagian besar manusia,
demikian juga keengganan untuk mati. Semua orang dilengkapi naluri
ingin mempertahankan hidup.
Kepandaian seorang bayi menetek pada ibunya sesaat setelah dilahirkan adalah naluri mempertahankan hidup, demikian juga rasa lapar dan kehendak untuk makan. Semua hal tersebut dikaruniakan Allah agar manusia dapat mempertahankan hidup.
Di satu sisi, naluri ini positif. Dengan naluri mempertahankan hidup ini maka seseorang yang sakit segera berobat. Orang yang sehat berhati-hati dari serangan penyakit, rajin berolah raga, dan konsumsi makanan yang bergizi, serta menerapkan pola hidup sehat.
Di sisi lain, naluri ini bisa dijadikan sebagai pintu masuk bagi setan untuk menjerumuskan manusia. Jika tidak waspada, manusia bisa terjangkit penyakit hubbud-dunya wa karahiyaul maut (cinta dunia dan takut mati). Kualitas manusia seperti ini digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “busa”, yang terombang-ambing oleh tiupan angin.
Takut mati dalam batas yang wajar itu boleh. Akan tetapi takut mati secara berlebih-lebihan sejauh mungkin harus dihindari. Orang yang takut secara berlebihan pada kematian adalah orang-orang yang tidak mengetahui hakekat mati. Mereka tidak mengetahui ke mana ia akan pergi.
Sebagian lagi mereka yang takut secara berlebihan terhadap kematian itu menduga bahwa dia akan punah, atau menduga bahwa dia akan menghadapi rasa sakit yang luar biasa. Atau seperti yang dinyatakan oleh penanya di atas, ia khawatir dan sedih meninggalkan keluarganya.
Takut mati karena khawatir menyangkut nasib keluarga itu sebenarnya tidak beralasan. Betapa banyak anak yatim setelah ditinggal ayah dan ibunya ternyata hidupnya sejahtera? Sebaliknya, betapa banyak anak yang tinggal bersama ayah ibunya ternyata hidupnya sengsara?
Islam menjelaskan bahwa hakekat kematian itu sama dengan tidur, sangat nyaman. Bahkan bagi seorang mukmin, kematian itu berarti “menanggalkan beban.” Bukankah selama hidup kita disebut mukallaf (orang yang menanggung beban)? Hanya dengan mati, semua beban itu kita lepaskan.
Satu hal yang lebih penting lagi, bukankah kematian itu merupakan perjalanan yang arah dan tujuannya pasti, yaitu Allah? Siapakah Allah itu? Rahmat Allah selalu berlimpah melebihi amarah-Nya.
Mati adalah cara kembali ke rumah asli kita, yaitu surga, kecuali bagi orang-orang yang enggan memasukinya. Bagi orang yang beriman, kematian tidak lain hanya mengakibatkan tidak berfungsinya organ-organ tubuh, selebihnya adalah perjalanan ruh menuju Tuhannya.
Kepandaian seorang bayi menetek pada ibunya sesaat setelah dilahirkan adalah naluri mempertahankan hidup, demikian juga rasa lapar dan kehendak untuk makan. Semua hal tersebut dikaruniakan Allah agar manusia dapat mempertahankan hidup.
Di satu sisi, naluri ini positif. Dengan naluri mempertahankan hidup ini maka seseorang yang sakit segera berobat. Orang yang sehat berhati-hati dari serangan penyakit, rajin berolah raga, dan konsumsi makanan yang bergizi, serta menerapkan pola hidup sehat.
Di sisi lain, naluri ini bisa dijadikan sebagai pintu masuk bagi setan untuk menjerumuskan manusia. Jika tidak waspada, manusia bisa terjangkit penyakit hubbud-dunya wa karahiyaul maut (cinta dunia dan takut mati). Kualitas manusia seperti ini digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “busa”, yang terombang-ambing oleh tiupan angin.
Takut mati dalam batas yang wajar itu boleh. Akan tetapi takut mati secara berlebih-lebihan sejauh mungkin harus dihindari. Orang yang takut secara berlebihan pada kematian adalah orang-orang yang tidak mengetahui hakekat mati. Mereka tidak mengetahui ke mana ia akan pergi.
Sebagian lagi mereka yang takut secara berlebihan terhadap kematian itu menduga bahwa dia akan punah, atau menduga bahwa dia akan menghadapi rasa sakit yang luar biasa. Atau seperti yang dinyatakan oleh penanya di atas, ia khawatir dan sedih meninggalkan keluarganya.
Takut mati karena khawatir menyangkut nasib keluarga itu sebenarnya tidak beralasan. Betapa banyak anak yatim setelah ditinggal ayah dan ibunya ternyata hidupnya sejahtera? Sebaliknya, betapa banyak anak yang tinggal bersama ayah ibunya ternyata hidupnya sengsara?
Islam menjelaskan bahwa hakekat kematian itu sama dengan tidur, sangat nyaman. Bahkan bagi seorang mukmin, kematian itu berarti “menanggalkan beban.” Bukankah selama hidup kita disebut mukallaf (orang yang menanggung beban)? Hanya dengan mati, semua beban itu kita lepaskan.
Satu hal yang lebih penting lagi, bukankah kematian itu merupakan perjalanan yang arah dan tujuannya pasti, yaitu Allah? Siapakah Allah itu? Rahmat Allah selalu berlimpah melebihi amarah-Nya.
Mati adalah cara kembali ke rumah asli kita, yaitu surga, kecuali bagi orang-orang yang enggan memasukinya. Bagi orang yang beriman, kematian tidak lain hanya mengakibatkan tidak berfungsinya organ-organ tubuh, selebihnya adalah perjalanan ruh menuju Tuhannya.
Ustadz Hamim Thohari
Suara Hidayatullah | Edisi 02 | Juni 2012 Rajab 1433, Hal 76
No comments