Iman Sejati dan Iman Asal Jadi
Iman Sejati dan Iman Asal Jadi
Senin, 27 Mei 2013 / 17 Rajab 1434 H
Suatu hari orang-orang Arab Badui datang menghadap Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam (SAW). Mereka lalu menyatakan keimanannya.
Namun, Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) merespon keimanan mereka dengan menurunkan ayat berikut ini:
Namun, Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) merespon keimanan mereka dengan menurunkan ayat berikut ini:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِن تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah, “Kamu
belum beriman”, tapi katakanlah ”kami telah tunduk”, karena iman itu
belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Hujurat [49]: 14)
Melihat petikan cerita tersebut bisa kita simpulkan bahwa perbedaan iman dengan Islam terletak pada kalimat “wa lamma yadkhulil imanu fi qulubikum” (sesungguhnya iman itu belum merasuk dalam hati kalian).
Boleh jadi seseorang sudah menutup auratnya, menjalankan shalat, membayar zakat, bahkan telah menjalankan puasa, dan menunaikan ibadah haji. Namun, jika semua amalan ibadah tersebut dilaksanakan tanpa keyakinan yang kuat, maka amalan tersebut hanya sebatas “ketundukan” semu.
Itulah sebabnya Allah SWT memerintahkan kepada mereka untuk mengatakan “aslamnaa” (kami telah menjadi Muslim).
Iman Sejati versus Iman Asal Jadi
Andai ada dua gadis, sama-sama memakai jilbab. Yang pertama, memakai jilbab karena didasari oleh keimanan yang kuat. Sedang yang kedua, hanya ikut-ikutan, tak lebih sekadar mengikuti mode.
Yang pertama, seorang mukmin, sedang yang lain hanya sebatas Muslim. Sepintas mereka berdua itu sama. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, keduanya mempunyai perbedaan sangat mendasar.
Yang memakai jilbab karena keimanannya, tak akan pernah melepaskan jilbabnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya, sekalipun untuk itu ia harus meninggalkan kuliah, kerja, bahkan keluarganya.
Bagi mereka, jilbab tak sekadar pakaian semata. Jilbab adalah simbol keimanan itu sendiri. Karenanya, apapun akan mereka korbankan demi mempertahankan keimanan tersebut.
Berbeda halnya dengan gadis berjilbab hanya karena mode. Jangankan harus mempertahankan jilbabnya, mereka sendiri sesungguhnya sedang mencuri-curi kesempatan untuk melepaskannya.
Lihat pula cara mereka memakainya. Mereka memakai hanya sekadarnya. Dalam bahasa sederhananya, mereka mengenakan jilbab secara minimalis.
Namun, terhadap kedua gadis tersebut, Rasulullah SAW tak menganjurkan untuk mencelanya. Sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang Arab Badui tadi. Beliau tidak mencelanya. Beliau bahkan berlaku lembut kepada mereka.
Jadi, kita doakan saja mereka yang masih sekadar Muslim agar mendapat hidayah dari Allah SWT, sehingga derajatnya bertambah tinggi, dari “aslamna” menjadi “aamanna” (dari Muslim menjadi mukmin).
Nikmat Tertinggi
Iman adalah nikmat Allah SWT yang tertinggi. Tidak ada nikmat lain yang melebihi nikmat iman. Hidup itu nikmat Allah SWT, tapi banyak makhluk lain yang juga diberi hidup oleh Allah SWT. Selain manusia, binatang dan tumbuhan juga hidup. Jadi, di mana letak istimewanya?
Segala sesuatu menjadi sia-sia dan tidak memberi manfaat apapun jika tidak ada keimanan. Sungguh beruntung orang yang beriman. Mereka telah mendapatkan nikmat yang tertinggi, dan tiada nikmat yang melebihinya.
Seandainya seluruh isi dunia diletakkan dalam satu timbangan sedang iman diletakkan di atas timbangan yang lain, maka timbangan iman jauh lebih berat.
Iman tidak bisa ditukar dengan dunia seisinya. Apalagi sekadar dengan jabatan atau kekuasaan, apalagi dengan harta atau uang. Rasulullah SAW menegaskan, ”Tidak ada suatupun yang lebih mulia di sisi Allah melebihi seorang mukmin.”(Riwayat Thabrani)
Begitu iman menancap dalam hati, dunia menjadi berubah dalam pandangannya. Dunia tidak lagi menjadi tujuan dan cita-cita tertinggi. Dunia tak lebih dari sekadar mazra’ah (ladang tempat bertanam) yang panennya akan dinikmati di akhirat kelak.
Ketika orientasi hidupnya benar, maka perilaku dan harapannya juga akan benar. Ada kenyamanan manakala ia melihat kebenaran dan kebaikan. Sebaliknya, ia akan merasa sedih dan galau jika melihat kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Melihat petikan cerita tersebut bisa kita simpulkan bahwa perbedaan iman dengan Islam terletak pada kalimat “wa lamma yadkhulil imanu fi qulubikum” (sesungguhnya iman itu belum merasuk dalam hati kalian).
Boleh jadi seseorang sudah menutup auratnya, menjalankan shalat, membayar zakat, bahkan telah menjalankan puasa, dan menunaikan ibadah haji. Namun, jika semua amalan ibadah tersebut dilaksanakan tanpa keyakinan yang kuat, maka amalan tersebut hanya sebatas “ketundukan” semu.
Itulah sebabnya Allah SWT memerintahkan kepada mereka untuk mengatakan “aslamnaa” (kami telah menjadi Muslim).
Iman Sejati versus Iman Asal Jadi
Andai ada dua gadis, sama-sama memakai jilbab. Yang pertama, memakai jilbab karena didasari oleh keimanan yang kuat. Sedang yang kedua, hanya ikut-ikutan, tak lebih sekadar mengikuti mode.
Yang pertama, seorang mukmin, sedang yang lain hanya sebatas Muslim. Sepintas mereka berdua itu sama. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, keduanya mempunyai perbedaan sangat mendasar.
Yang memakai jilbab karena keimanannya, tak akan pernah melepaskan jilbabnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya, sekalipun untuk itu ia harus meninggalkan kuliah, kerja, bahkan keluarganya.
Bagi mereka, jilbab tak sekadar pakaian semata. Jilbab adalah simbol keimanan itu sendiri. Karenanya, apapun akan mereka korbankan demi mempertahankan keimanan tersebut.
Berbeda halnya dengan gadis berjilbab hanya karena mode. Jangankan harus mempertahankan jilbabnya, mereka sendiri sesungguhnya sedang mencuri-curi kesempatan untuk melepaskannya.
Lihat pula cara mereka memakainya. Mereka memakai hanya sekadarnya. Dalam bahasa sederhananya, mereka mengenakan jilbab secara minimalis.
Namun, terhadap kedua gadis tersebut, Rasulullah SAW tak menganjurkan untuk mencelanya. Sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang Arab Badui tadi. Beliau tidak mencelanya. Beliau bahkan berlaku lembut kepada mereka.
Jadi, kita doakan saja mereka yang masih sekadar Muslim agar mendapat hidayah dari Allah SWT, sehingga derajatnya bertambah tinggi, dari “aslamna” menjadi “aamanna” (dari Muslim menjadi mukmin).
Nikmat Tertinggi
Iman adalah nikmat Allah SWT yang tertinggi. Tidak ada nikmat lain yang melebihi nikmat iman. Hidup itu nikmat Allah SWT, tapi banyak makhluk lain yang juga diberi hidup oleh Allah SWT. Selain manusia, binatang dan tumbuhan juga hidup. Jadi, di mana letak istimewanya?
Segala sesuatu menjadi sia-sia dan tidak memberi manfaat apapun jika tidak ada keimanan. Sungguh beruntung orang yang beriman. Mereka telah mendapatkan nikmat yang tertinggi, dan tiada nikmat yang melebihinya.
Seandainya seluruh isi dunia diletakkan dalam satu timbangan sedang iman diletakkan di atas timbangan yang lain, maka timbangan iman jauh lebih berat.
Iman tidak bisa ditukar dengan dunia seisinya. Apalagi sekadar dengan jabatan atau kekuasaan, apalagi dengan harta atau uang. Rasulullah SAW menegaskan, ”Tidak ada suatupun yang lebih mulia di sisi Allah melebihi seorang mukmin.”(Riwayat Thabrani)
Begitu iman menancap dalam hati, dunia menjadi berubah dalam pandangannya. Dunia tidak lagi menjadi tujuan dan cita-cita tertinggi. Dunia tak lebih dari sekadar mazra’ah (ladang tempat bertanam) yang panennya akan dinikmati di akhirat kelak.
Ketika orientasi hidupnya benar, maka perilaku dan harapannya juga akan benar. Ada kenyamanan manakala ia melihat kebenaran dan kebaikan. Sebaliknya, ia akan merasa sedih dan galau jika melihat kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Allah SWT berfirman:
وَاعْلَمُوا
أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ
الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ
وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ
وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ
“Akan
tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan
keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. (Mereka) itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus”.(QS.Al-Hujurat [49]: 7)
Sinyal Iman
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa seorang mukmin memiliki isyarat atau sinyal batin. Kata beliau, ”Barangsiapa yang menyukai amalan kebaikannya dan bersedih hati atas keburukannya, maka dia adalah seorang mukmin.” (Riwayat Al-Hakim)
Allah SWT telah menanamkan alarm dalam hati orang-orang yang beriman. Alarm itu akan diam jika ia berbuat kebaikan, dan akan menyala jika ia dalam keadaan yang membahayakan imannya.
Bandingkan dengan orang-orang yang tidak punya alarm. Mereka tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram, yang menguntungkan dan yang membahayakan.
Inilah sesungguhnya kekayaan hati yang dimiliki orang yang beriman. Ini adalah aset yang sangat berharga, yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Jika saat ini orang ramai membicarakan spritual capital (modal spritual), maka iman itulah jawabannya. Bukan yang lain.
Jika ada orang kafir mengaku memiliki spritual capital maka sesungguhnya mereka hanya mengaku-aku saja, karena hanya orang-orang yang beriman yang keimanannya benar dan baik saja yang memiliki modal spritual.
Jadi, adakah kekayaan yang melebihi kekayaan spritual? Tidak ada. Alhamdulillah, kekayaan itu telah dianugerahkan Allah SWT kepada kita, orang-orang mukmin. Itulah sebabnya, sebagai orang yang beriman tidak pernah merasa rendah diri.
Sinyal Iman
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa seorang mukmin memiliki isyarat atau sinyal batin. Kata beliau, ”Barangsiapa yang menyukai amalan kebaikannya dan bersedih hati atas keburukannya, maka dia adalah seorang mukmin.” (Riwayat Al-Hakim)
Allah SWT telah menanamkan alarm dalam hati orang-orang yang beriman. Alarm itu akan diam jika ia berbuat kebaikan, dan akan menyala jika ia dalam keadaan yang membahayakan imannya.
Bandingkan dengan orang-orang yang tidak punya alarm. Mereka tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram, yang menguntungkan dan yang membahayakan.
Inilah sesungguhnya kekayaan hati yang dimiliki orang yang beriman. Ini adalah aset yang sangat berharga, yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Jika saat ini orang ramai membicarakan spritual capital (modal spritual), maka iman itulah jawabannya. Bukan yang lain.
Jika ada orang kafir mengaku memiliki spritual capital maka sesungguhnya mereka hanya mengaku-aku saja, karena hanya orang-orang yang beriman yang keimanannya benar dan baik saja yang memiliki modal spritual.
Jadi, adakah kekayaan yang melebihi kekayaan spritual? Tidak ada. Alhamdulillah, kekayaan itu telah dianugerahkan Allah SWT kepada kita, orang-orang mukmin. Itulah sebabnya, sebagai orang yang beriman tidak pernah merasa rendah diri.
Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَهِنُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran [3]: 139)
Bayangkan, hanya dengan bekal iman saja, nilai seseorang sudah sangat tinggi. Apalagi jika ditambah bekal-bekal yang lain. Misalnya, sudah beriman, berilmu pula. Orang yang beriman sekaligus berilmu nilainya menjadi berlipat ganda.
Namun, jauh lebih bagus lagi jika orang yang beriman, memiliki ilmu yang tinggi, juga harta dan kekuasaan. Dengan ilmu, harta, dan kekuasaan, mereka menjadi kuat.
Dan, dengan kekuatan itu mereka melakukan dakwah, amar ma’ruf, dan nahi ‘anil munkar, secara efektif.
Kata Rasulullah SAW:
”Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati).”(Riwayat Muslim)
Bayangkan, hanya dengan bekal iman saja, nilai seseorang sudah sangat tinggi. Apalagi jika ditambah bekal-bekal yang lain. Misalnya, sudah beriman, berilmu pula. Orang yang beriman sekaligus berilmu nilainya menjadi berlipat ganda.
Namun, jauh lebih bagus lagi jika orang yang beriman, memiliki ilmu yang tinggi, juga harta dan kekuasaan. Dengan ilmu, harta, dan kekuasaan, mereka menjadi kuat.
Dan, dengan kekuatan itu mereka melakukan dakwah, amar ma’ruf, dan nahi ‘anil munkar, secara efektif.
Kata Rasulullah SAW:
”Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati).”(Riwayat Muslim)
Wallahu a’lam bish-Shawab
Suara Hidayatullah | Edisi 02 | Juni 2012/ Rajab 1433, Hal 12 - 13
Liat Juga
No comments