Ketika Imam Malik Menjawab; Saya Tidak Tahu [1]
Ketika Imam Malik Menjawab; Saya
Tidak Tahu [1]
Senin, 01 Februari 2016 - 22 Rabiul Akhir 1437 H
Nafi menceritakan; “Suatu ketika seorang
laki-laki bertanya kepada Sahabat Ibnu Umar. Mendengar pertanyaan itu Ibnu Umar
mengangguk-angguk, namun tak sepatah kata pun yang keluar dari lisannya.
Orang yang hadir menyangka Ibnu Umar tidak
mendengar pertanyaannya, sehingga si penanya tadi berkata kepada putra Umar bin
Khaththab itu; “Yarhamukallah (semoga
Allah Merahmatimu), tidakkah engkau mendengar pertanyaanku?”
Ibnu Umar menjawab; “Tentu aku mendengarnya, akan tetapi sepertinya kalian menyangka bahwa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan menanyaiku terkait dengan jawabanku atas
pertanyaanmu.
Tinggalkan kami,
semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatimu hingga kami memahami pertanyaanmu.
Jika kami ada jawabannya kami akan sampaikan, namun jika tidak kami pun akan
memberi tahumu bahwa kami tidak punya ilmunya.”
Dalam riwayat itu tidak disebutkan isi
pertanyaannya. Namun, siapapun yang membaca cerita ini boleh jadi akan heran.
Pasalnya, putra Umar bin Khaththab yang dikenal dengan keluasan ilmunya ini tak
sanggup memberikan jawaban.
Sebenarnya, ketidaksiapan Ibnu Umar
memberikan jawaban juga menunjukkan keluasan ilmunya. Ia tahu persis jika
mengatakan sesuatu dalam urusan agama tanpa dasar ilmunya akan berakibat fatal.
Karenanya, yang melakukan seperti ini
sebenarnya bukan hanya Ibnu Umar. Sahabat yang lain pun demikian. Ketika mereka
ditanya, dan tidak tahu jawabannya maka tanpa canggung akan mengatakan; “Saya Tidak Tahu”.
Abu Bakar as–Siddiq bahkan pernah berkata; “Langit mana yang akan menaungiku, bumi mana
yang bisa kutempati berpijak jika aku berani mengatakan sesuatu tentang makna
Al Qur’an jika aku tidak mengetahuinya.”
Imam Malik juga pernah ditanya dengan puluhan
pertanyaan. Namun, yang beliau jawab hanya empat pertanyaan. Sisanya dijawab: “Saya Tidak Tahu”.
Kondisi ini berbeda jauh dengan zaman
sekarang. Sebagian orang cukup lancang dan berani dalam berfatwa, meski ilmu
agamanya pas-pasan.
Bagi orang yang benar-benar beriman tentu
paham, berbicara agama berbeda dengan berbicara urusan selain agama. Apalagi
jika yang dibicarakan menyangkut halal dan haram, pantang diintervensi oleh
logika-logika yang tanpa dalil.
Sebab, urusan
menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mencampurinya sama halnya menjadi
sekutu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An Nahl [16]: 116)
Inilah yang kemudian membuat generasi terbaik
umat ini sangat hati-hati dalam berbicara agama. Meski telah mencapai tingkat
keilmuan yang tinggi, namun kehati-hatian tidak ditinggalkan.
Bahkan kehati-hatian itu justru semakin
menjadi-jadi. Said bin Musayyab, Ulama besar dari kalangan tabi’in, diberi gelar dengan Syaikhul
Fuqaha (Syaikhnya para Ahli Fiqih), namun jika ditanya seringkali justru
mengalihkan kepada Ulama yang lain. Tapi sikap seperti itu sama sekali tidak
mengurangi kemuliaan mereka.
Orang justru akan terhinakan jika agama ini
tidak dijaga dengan baik. Hal inilah yang menimpa orang-orang Yahudi. Mereka dilanda kehinaan dimana saja karena mengotak-atik
kitab suci mereka. Mereka menodai kesucian kitab mereka dengan sejumlah
penyimpangan. [Bersambung]
Suara
Hidayatullah Edisi Desember 2012 – Muharram 1434, Hal 70 - 71
ooOoo
oooO Kunjungi Fans Page Aniq Uniq Group Oooo
- Aniq Uniq (Prime Fans Page)
- Distributor Cutetrik (Distributor Resmi Cutetrik)
- Koko Ana Jakarta Selatan (Distributor Resmi Ana Fashion)
- Dinnary Jakarta (Distributor Resmi Dinnary Hijab)
No comments