Breaking News

Iman Sebagian, Ingkar Sebagian


Iman Sebagian, Ingkar Sebagian




ْفُرُونَ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيْنَ اللّهِ وَرُسُلِهِ وَيقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً


“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan [373] antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-rasulNya, dengan mengatakan : "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),” (150)


أُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا


“Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An Nisa’ (4): 150-151)

Antara Mukmin dan Kafir sesungguhnya terdapat garis pemisah yang jelas. Garis batas itu adalah Akidah Islam. Siapapun yang mengimaninya, tergolong sebagai Mukmin. Sebaliknya, siapa yang mengingkarinya, terkategori sebagai kafir.

Kendati demikian, masih ada orang yang ingin mencoba mengambil jalan tengah antara Iman dan kufur. Caranya dengan beriman terhadap sebagian perkara akidah dan ingkar terhadap sebagian lainnya. Bagaiman kedudukan orang seperti ini? Dengan gamblang ayat di atas memberikan jawabannya.

Mengaku Sebagian

Allah SWT Berfirman: Inna al ladzina yakfuruuna bil Lah wa rusulihi (sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasulNya). Menurut sebagian besar mufassir seperti Ibnu Jarir al Thabari, al Qurthubi, Ibnu Katsir, Fakhruddin al Razi, al Syaukani, dll ayat ini turun berkenaan dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Kaum Yahudi mengaku beriman kepada Nabi Musa dan Taurat, namun mengingkari Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan kaum Nasrani mengaku beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, namun mengingkari Nabi Muhammad SAW. Kendati mengaku beriman kepada Allah SWT dan sebagian RasulNya, mereka semua dinyatakan ayat ini sebagai orang-orang yang kafir kepada Allah SWT dan Rasul-rasulNya.

Perihal kekufuran mereka itu dijelaskan lebih lanjut dalam frase sesudahnya: wa yuriduna an yufarriqu baynal Lah wa rusulihi (dan bermaksud memperbedakan antara [keimanan kepada] Allah dan Rasul-rasulNya). Sikap tafriq (memperbedakan) antara Allah SWT dan Rasul-rasulNya itu dalam perkara akidah.

Sehingga, sebagaimana dipaparkan al Alusi, maksud frase ini adalah mereka mengaku beriman kepada Allah SWT, namun ingkar kepada sebagian RasulNya. Inilah bentuk tafriq (memperbedakan) antara Allah dengan Rasul-rasulNya.

Ditegaskan Imam al Qurthubi, tindakan tersebut jelas merupakan kekufuran. Sebab, Allah SWT telah mewajibkan manusia untuk beribadah kepadaNya dengan syariah yang dibawa RasulNya. Jika mereka mengingkari Rasul, berarti mereka menolak dan tidak menerima syariah darinya.

Sebagai akibatnya, mustahil bagi mereka bisa terikat dengan ubudiyyah yang diperintahkan kepada mereka. Di samping itu, sikap tersebut juga merupakan pengingkaran terhadap pembuatnya, Allah SWT. Dan tentu saja itu merupakan kekufuran.

Sikap tafriq antara Allah SWT dan Rasul-rasulNya, mereka juga melakukan tafriq terhadap perkara akidah lainnya. Allah SWT Berfirman: wa yaquluna nu’minu biba’dh (in) wa nakfuru biba’dh (in) (dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagiaan [yang lain]”).

Penggunaan kata ba’dh (sebagian) tanpa disertai dengan perkaranya menunjukkan bahwa perkara yang diimani dan diingkari bersifat mutlak, bisa semua perkara akidah.

Alasan yang melatari sikap mereka lalu dijelaskan dalam frase berikutnya: Wa yuriduna an yattakhidzu bayna dzalika sabil [an] (serta bermaksud [dengan perkataan itu] mengambil jalan [tengah] di antara yang demikian [iman atau kafir].

Menurut Sihabuddin Al Alusi, kata sabil[an] di sini berarti thariq (jalan) yang dilalui. Bisa juga berarti din[an]. Dengan beriman sebagian, dan mengingkari sebagian lainnya itu, mereka berkeinginan untuk mengambil jalan tengah antara keimanan dan kekufuran.

Keinginan mereka itu jelas batil. Sebab, manusia hanya memiliki dua pilihan: Iman atau kafir, haqq (kebenaran) atau dhalal (kesesatan). Tidak ada pilihan yang ketiga.

Allah SWT Berfirman:


فَذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ


“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Yunus (10):32)

Hakikatnya Kafir

Status mereka lalu ditegaskan dalam ayat berikutnya: Ulaika hum al kafiruna haqq [an] (merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya). Secara tegas ayat ini menyebut mereka sebagai orang kafir.

Penegasan ini menunjukkan bahwa ingkar terhadap sebagian perkara akidah, sama halnya dengan ingkar terhadap keseluruhan. Abdurrahman al Sa’di dalam tafsirnya berkata: “ Siapapun yang ingkar kepada seorang Rasul, sungguh dia telah ingkar kepada seluruh nabi. Bahkan termasuk Rasul yang diklaim dia imani.”

Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa siapa pun yang ingkar kepada seorang Rasul, berarti dia telah kafir terhadap seluruh Nabi. Sebab, keimanan wajib terhadap semua Nabi yang diutus kepada manusia.

Barangsiapa yang menolak kenabiannya karena iri dengki, ashabiyyah dan hawa nafsu, jelaslah bahwa imannya kepada nabi yang diimani bukan Iman yang syar’i. Imannya didasarkan kepada tendesi, hawa nafsu dan ashabiyyah.

Seandainya disebutkan ulaika hum al kafiruna (merekalah orang-orang kafir), sesungguhnya sudah cukup untuk mendudukkan status mereka. Ditambahkannya kata haqq berfungsi sebagai ta’kid (penegasan) kekufuran mereka.

Dinyatakan Imam al Qurthubi bahwa penegasan itu untuk menghapus bayangan tentang keimanan mereka ketika mereka menyebut diri mereka beriman terhadap sebagian. Oleh karena itu, kata haqq –sebagaimana diungkapkan Fakhruddin al Razi dalam tafsrinya- dimaknai dengan al kamil (sempurna).

Sehingga frase ini bermakna: Ulaika hum al kafiruna kufr[an] kami[an] tsabit[an] haqq[an] yaqininiyy[an] (mereka adalah orang-orang kafir dengan kekufuran yang sempurna, tetapi sebenarnya dan meyakinkan).

Karena statusnya terkategori sebagai orang kafir, maka mereka pun berhak mendapatkan hukuman yang berat. Allah SWT Berfirman: Wa a’tadna li al kafirina adzab[an] muhin[an] (dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan).

Azab menghinakan itu diberikan kepada mereka didunia dan akhirat sebagaimana diberitakan dalam nash-nash lain.

Bertolak dari paparan di atas, jelaslah jika seseorang ingin dikategorikan sebagai Mukmin, dia harus mengimani akidah Islam secara keseluruhan, tanpa ada yang di ingkari. Apabila ada perkara akidah yang diingkari, semua maupun sebagian, maka dia terkategori sebagai kafir.
Iman terhadap Al Qur’an, misalnya harus bersifat total. Ayat yang mewajibkan hukuman jilid bagi pezina:


وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ


“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An Nuur (24): 2),

Potongan tangan bagi Pencuri:


وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah (5): 38).

Dan Qishash bagi pembunuh:

مَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih [111].” (QS. Al Baqarah (2) :178)

Harus diimani sebagaimana ayat yang memerintahkan shalat, zakat:



وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ


“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' [44] (QS. Al Baqarah (2): 43)

Dan Puasa:


أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al Baqarah (2) : 183)

Demikian juga dengan ayat yang mewajibkan jihad:


كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ


“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 216)

Menerapkan hukum Allah:

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
(QS. Al Maidah (5): 49)

Dan menaati ulil amri yang Muslim :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً


“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ (4): 59)

Pengingkaran terhadap salah satunya dapat menyebabkan pelakunya jatuh kepada kekufuran dan hukuman yang berat.

Allah SWT Berfirman:

ُ
مَّ أَنتُمْ هَـؤُلاء تَقْتُلُونَ أَنفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقاً مِّنكُم مِّن دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِم بِالإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِن يَأتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ


“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat [68].” (QS Al Baqarah (2) : 85)

Dengan demikian, seorang Mukmin harus menolak sekularisme. Dalam pandangan ideologi ini, agama tidak boleh berperan mengatur pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pidana, dan urusan publik lainnya.

Jika ideologi ini di diyakini, maka ayat dan hadits yang menjelaskan urusan publik akan ditolak, bahkan diingkari. Jika ini terjadi, maka menyebabkan pelakunya akan jatuh kepada kekufuran. Masih ada yang menginginkan ide kufur itu?

Wallahu’alam bishowab


Rokhmat S. Labib, M.E.I


Media Umat Edisi 18, 16-29 Sya’ban 1430 H / 7-20 Agustus 2009 Hal 11

Tambahan:

[44] Yang dimaksud ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: Tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.

[68] Ayat ini berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. Tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.

[111] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.

[373] Maksudnya : beriman kepada Allah, tidak beriman kepada rasul-rasul-Nya.


No comments