Meraih Kenikmatan Shalat
Meraih Kenikmatan ShalatJumat, 19 Nopember 2010 / 13 Zulhijjah 1431
“Kembalilah. Ulangilah shalatmu, sesungguhnya engkau belum melakukan shalat.." (Riwayat Bukhari)
Hadits di atas diriwayatkan dari Abu Hurairah. Saat itu ada seorang yang masuk masjid, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW) sedang duduk di salah satu bagian masjid. Kemudian orang tersebut shalat. Setelah selesai, ia mendatangi Rasulullah SAW dan mengucapkan salam pada beliau.
“Wa’alaikum salam,” jawab Rasulullah SAW. “Kembalilah. Ulangi shalatmu, sesungguhnya engkau belum melakukan shalat, kata Rasulullah SAW.
Orang tersebut shalat lagi, bahkan tiga kali. Sebab, begitu selesai shalat Rasulullah SAW selalu menyuruhnya mengulangi kembali.
Menyadari shalat yang dilakukan belum benar juga, ia pun memohon kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, ajarkan saya tentang shalat.”
Refleksi
Untuk refleksi diri, kadang penulis bertanya kepada jamaah. “Apa yang anda rasakan sehabis shalat?” Biasanya mereka bingung. “Apa ya? Biasa saja.” Tak ada kesan, begitulah rasanya shalat yang kita lakukan berulang-ulang. Shalat kita tahun ini seolah sama saja dengan tahun kemarin. Menjadi rutinitas saja. Tak ada peningkatan yang signifikan.
Ada sebagian orang yang bahkan merasakan seolah shalat sebagai suatu beban yang merepotkan dirinya. Rasanya seperti diperintah kerja paksa. Reaksi spontan saat mendengar suara adzan adalah desahan keluhan, “Hah shalat lagi…shalat lagi.”
Merasa tersiksa. Karena itu, shalatnya serba cepat dan minimalis. Yang penting menjalankan, tapi cenderung asal-asalan. Hasilnya, capek dan lelah.
“Berapa banyak orang yang shalat, namun hanya mendapatkan rasa capek dan lelah.” (Riwayat Abu Daud)
Bila yang terasa dari shalat ini hanya capek dan lelah, saatnya kita bertafakkur. Akankah tetap seperti itu seumur hidup? Bagaimana kelak saat menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) puaskah kita mempersembahkan amalan yang ala kadarnya itu? Bukankah tidak mungkin, shalat kita sebenarnya masih digolongkan oleh Rasulullah SAW sebagai belum shalat.
Tuma’ninah
Setelah sampai tiga kali mengulang shalat, Rasulullah SAW memberi bimbingan kepada orang di atas, “Jika engkau shalat, maka sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadaplah kiblat dan ucapkanlah takbir (Allahu Akbar).
Kemudian bacalah sedikit ayat (yang mudah olehmu) dari Al Qur’an. Kemudian bacalah sedikit ayat (yang mudah oleh mu) dari Al Qur’an. Kemudian rukuklah sampai engkau benar-benar tuma’ninah dalam rukuk.
Kemudian bangunlah dari rukuk hingga engkau benar-benar tegak berdiri. Lalu, engkau sujudlah hingga benar-benar tuma’ninah dalam sujud. Selanjutnya, bangunlah dari sujud hingga benar-benar duduk dengan tuma’ninah. Dan lakukanlah hal seperti itu dalam semua shalatmu.”
Tuma’ninah adalah tenang. Tuma’ninah itulah yang dipesankan berulang-ulang oleh Rasulullah SAW. Imam Nawawi, dalam Kitab At Tahqiq meletakkan tuma’ninah sebagai rukun shalat.
Kenyataannya memang masih banyak orang yang kalau melakukan shalat masih tergesa-gesa. Belum tuma’ninah. Rukuk diangkat. Bahkan kadang seperti burung yang sedang mematuk makanan.
Kemudian bangunlah dari rukuk hingga engkau benar-benar tegak berdiri. Lalu, engkau sujudlah hingga benar-benar tuma’ninah dalam sujud. Selanjutnya, bangunlah dari sujud hingga benar-benar duduk dengan tuma’ninah. Dan lakukanlah hal seperti itu dalam semua shalatmu.”
Tuma’ninah adalah tenang. Tuma’ninah itulah yang dipesankan berulang-ulang oleh Rasulullah SAW. Imam Nawawi, dalam Kitab At Tahqiq meletakkan tuma’ninah sebagai rukun shalat.
Kenyataannya memang masih banyak orang yang kalau melakukan shalat masih tergesa-gesa. Belum tuma’ninah. Rukuk diangkat. Bahkan kadang seperti burung yang sedang mematuk makanan.
Dahi hanya sekedar menempel lantai, langsung diangkat. Duduk juga demikian. Tidak sampai posisi sempurna sudah berdiri.
Saat gerakan shalat seperti itu, hati sulit menghayati. Malah berkeliaran kesana kemari, ingat yang bukan-bukan. Gerakannya seolah tanpa disertai kesadaran. Tiba-tiba tanpa terasa, sudah salam. Tidak ada kesan. Wajar kalau saat ditanya bagaimana rasanya sehabis shalat, pasti bingung.
Bagaiman agar shalat kita tuma’ninah? Coba ikuti nasihat Rasulullah SAW. Mulai saat wudhu, lakukan dengan sempurna. Tenanglah dan hayati pada setiap basuhan anggota wudhu dengan berdzikir. Sadari bahwa kita akan menghadap Allah Yang Maha Suci, dan selayaknya kita juga dalam keadaan suci.
“Barangsiapa mengingat Allah (berdzikir) ketika wudhu’, niscaya disucikan oleh Allah tubuhnya secara keseluruhan". (Riwayat Daruquthni)
Kemudian dengan tenang, langkahkan kaki menuju mushalla. Hadirkanlah hati bahwa kita memenuhi panggilan Allah SWT dengan rasa syukur. Bukankah begitu banyak nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita? Tidakkah kita ingin mempersembahkan rasa terima kasih dengan sujud dan rukuk penuh ta’dzim kepada Nya?
Berdirilah dengan tegak dan sopan. Saat hati sudah tenang, takbirlah. Saat rukuk, rukuklah sampai benar-benar tenang. Saking tenangnya, kalau Ibnu Zubair sujud, burung-burung hinggap di atas pundaknya.
Sujudnya Rasulullah SAW, lamanya sama dengan berdiri dan rukuknya, yaitu seukuran lima puluh bacaan ayat Al Qur’an.
“Jika di antara kalian shalat, maka perpanjanglah rukuknya dan janganlah ia sujud seperti mematuknya burung.” (Riwayat Tamam Ibnu ‘Asakir).
Jika duduk, duduklah sampai benar-benar tenang. Lakukan semua gerakan itu dengan sempurna. Rasakan, saat sikap kita tenang, pikiran dan perasaan pun tenang. Kita pun lebih mudah menghadirkan hati kita. Merasakan dan menghayati setiap gerakan shalat dengan lebih baik.
Meski sudah shalat bertahun-tahun, banyak orang yang pesimis; khusyuk itu tidak mungkin. Apalagi bagi orang awam atau kebanyakan. Kalaupun bisa itu hanya dilakukan oleh para wali kekasih Allah SWT. Akibat persepsi seperti ini, banyak orang sudah merasa puas dengan shalatnya tanpa ingin meningkatkan lagi.
Kalau kita mau sedikit mencoba tuma’ninah seperti yang dibimbingkan Rasulullah SAW di atas, Insya Allah sedikit demi sedikit kita akan diberikan kekhusyukan. Saat tubuh kita tenang, nafas menjadi tenang, pikiran pun tenang dan hati juga merasa tentram. Rasakan ketenangan itu. Hal ini lebih lanjut akan bisa membuat hati ini terhantar untuk khusyuk.
Mengenai makna khusyuk itu, Ibnu Abbas mengatakan: “Artinya penuh takut dan khidmat.” Al Mujahid menyatakan: “Tenang dan tunduk”. Lain lagi dengan Hasan Al Bashri, beliau berkata: “Kekhusyukan mereka itu berawal dari dalam sanubari, lalu berkilas balik ke pandangan mata sehingga mereka menundukkan pandangan dalam shalat.”
Dalam kekhusyukan itu, ada rasa pasrah kepada Allah SWT. Kita merasakan kebesaranNya dan kelemahan diri. Untuk merasakan sedikit hal ini, cobalah duduk dengan tenang.
Setenang-tenangnya sampai nafas ini berjalan pelan dan alami. Pejamkan mata pelan-pelan. Dan tetaplah bernafas dengan tenang. Pikiran biasanya lebih tenang. Tapi kalau ada lintasan, biarlah berlalu seperti awan yang tertiup angin. Jangan ikuti.
Tetap tenanglah. Pelan-pelan rasakan hadirnya hati. Ajaklah hati ini untuk merasakan kebesaran Allah SWT. Ya Allah, saya hambaMu. Katakan dengan lembut. Aku pasrah ya Allah…Aku tunduk padaMu. Aku hambaMu yang hina. Hamba pasrah ya Allah…Rasakan kepasrahan yang kian dalam.
Suasana hati yang demikian itulah yang perlu dibawa dalam shalat. Saat shalat, ketundukan dan kepasrahan itu terpancar dalam diam dan gerak. Diam sesuai dengan kehendak Allah SWT dan bergerak sesuai petunjukNya. Hayatilah setiap gerakan itu sebagai wujud tunduk dan pasrah kepadaNya.
Hanif Hannan
(Anggota Dewan Syuro Hidayatullah)
Suara Hidayatullah | Oktober 2009 / Syawal 1430 , Hal 66 - 67
No comments