Jabatan Itu Amanah, Bukan Fasilitas
Jumat, 17 Desember 2010 / 11 Muharram 1432
عَن معقل بن يسَا رَ قَا لَ إِنّي سَمِعتُ رَ سُو لَ ا للَّهِ صلَّي اللَّهُ
عَلَيهِ وَ سَلَّمَ يَقوِ لُ مَا مِن عَبد يَستُر عِيهِ ا للّهُ رَ عِيّة يَمُو تُ
يَو مَ يَمُو تُ وَ هُوَ غَا شَُ لِرُ عِيّتِهِ إ لَّا حَرَّ مَ اللّهُ عَلَيهِ الجنَّة
Dari Ma’qal bin Yasar ia berkata; “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam (SAW) Bersabda: “Tidak ada seorang hamba yang Allah memintanya memimpin sekelompok orang lalu meninggal dalam keadaan berbuat curang kepada mereka, kecuali Allah akan mengharamkan baginya surga.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Muqaddimah
Akhir-akhir ini jabatan dan kepemimpinan menjadi bahan rebutan. Padahal, menjadi pejabat atau pemimpin bukanlah perkara yang mudah. Tanggung jawab yang harus dipikul sangatlah berat. Jika lalai dalam menjalankan tugas ancamannya pun tidaklah ringan.
Hal inilah yang membuat para sahabat selalu berusaha menghindar dari jabatan. Begitu pula dengan para Tabi’in, mereka sangat menjaga jarak dengan kekuasaan. Bukan karena tidak kapabel, tapi lebih disebabkan oleh rasa wara’ dan takut terhadap gemerlap kekuasaan yang kerap melemahkan seseorang.
Tapi anehnya, kita yang hidup di zaman sekarang, dengan tingkat kesalehan yang nyaris pas-pasan, sangat bernafsu menjadi pejabat atau penguasa.
Makna Hadits
Hadits di atas menjelaskan tentang salah satu tipikal pemimpin yang akan bernasib malang di akhirat. Yaitu pemimpin yang curang dan meninggal dalam keadaan belum bertobat dari perbuatan curangnya.
Balasan yang akan diterimanya tidak tanggung-tanggung. Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) akan mengharamkan surga baginya.
Makna diharamkan surga atas dirinya menurut Imam Nawawi ada dua. Pertama; diharamkan selamanya. Hukuman ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah menghalalkan berbuat curang.
Makna yang kedua; Terhalang masuk surga lebih awal. Artinya, Allah SWT akan mengakhirkan masuk surga baginya sebagai hukuman atas dosa yang telah diperbuatnya. Sanksi yang kedua ini ditujukan kepada pemimpin yang curang tapi tidak sampai pada tingkat menghalalkannya.
Gisy atau curang dalam Hadits di atas bersifat umum. Artinya, mencangkup segala bentuk kecurangan baik yang berkaitan dengan urusan duniawi ataupun ukhrawi.
Qadhi Iyyad dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa jika seorang berkhianat dengan melalaikan urusan agama rakyatnya, hak-hak rakyatnya dan tidak berbuat adil kepada mereka, maka pada saat itu ia telah berbuat curang kepada mereka.
Tidak Menganggap Sepele
Dosa yang mentradisi kerap dianggap sepele. Seperti bau busuk, jika keseringan lama kelamaan akan terasa biasa. Banyak orang yang sudah tidak lagi canggung dalam mencurangi rakyatnya, karena merasa dosa ini sudah menjadi tradisi dan kebiasaan banyak orang.
Padahal dosa yang mentradisi sama sekali tidak akan mengubah bobot dosa tersebut, apalagi status hukumnya.
Dosa besar adalah dosa yang diancam dengan hukuman di dunia atau laknat dan neraka di akhirat. Jika kita cermati Hadits di atas, mencurangi rakyat masuk dalam kategori dosa besar, karena pelakunya diancam akan terhalang masuk surga alias akan masuk neraka.
Al Qadhi Iyya berkata; “Dan Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa itu (mencurangi rakyat) adalah dosa besar yang membinasakan dan menjauhkan (pelakunya) dari surga.”
Agar Tidak Jadi Orang Bangkrut
Dosa seorang pemimpin kepada rakyatnya termasuk dosa besar dan harus segera bertobat. Jika tidak, jalan si pemimpin ke surga akan tersendat-sendat. Pasalnya, dosa ini berkait dengan hak sesama, sehingga pertobatannya harus tertuju pada dua arah.
Selain bertobat denngan sungguh-sungguh kepada Allah SWT, si pemimpin juga harus memohon maaf kepada rakyat yang telah dicuranginya.
Jika saja maaf dari rakyatnya tidak diperoleh, maka Allah SWT akan mengambil kebaikan pemimpin itu untuk diberikan kepada orang yang telah dizaliminya. Jika kebaikannya sudah punah, maka sebagai gantinya, ia harus menanggung dosa orang yang telah dizaliminya itu.
Inilah kebangkrutan yang sesungguhnya. Bangkrut karena pahalanya habis terkuras untuk menutupi dosa perbuatan curangnya kepada rakyatnya.
Hal seperti ini sebenarnya telah diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah Haditsnya yang sangat popular; “Tahukah kalian orang yang bangkrut itu? Sahabat menjawab; “Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dinar dan dirham.”
Rasulullah SAW Bersabda: “Orang yang bangkrut dari Umatku adalah siapa yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalat, zakat, puasa dan haji tetapi ia juga menyakiti sesamanya, menuduh, memakan harta sesamanya (dengan cara yang bathil),
Menumpahkan darah dan memukul sesamanya maka akan diberikan kebaikannya (kepada orang yang dizaliminya). Jika kebaikannya telah habis, maka akan diambil dosa mereka kemudian dipikulkan kepadanya lalu ia dilemparkan ke neraka.” (Riwayat Muslim)
Belajar Dari Kisah Umar
Tak ada pemimpin yang ingin celaka. Untuk menghindari hal itu, seorang pemimpin harus selalu belajar pada sejarah pendahulunya yang menuai sukses dalam memimpin. Umar bin Khaththatb RA salah satu diantaranya. Sejarah kepemimpinan khalifah yang kedua ini sangat penting untuk dirujuk.
Salah satu sikap yang paling menonjol dari Umar RA adalah rasa takutnya kepada Allah SWT dalam menjalankan tugas. Ia takut gagal di mata Allah SWT sehingga di campakkan kelak di dalam neraka.
Rasa takut itulah yang membuatnya sangat berhati-hati dan sungguh-sungguh dalam memimpin. Ia memimpin nyaris tanpa jam kerja. Pagi siang malam selalu siap melayani rakyatnya.
Pada malam hari, ia kerap berpatroli sekadar untuk memastikan apakah rakyatnya aman dan nyaman. Jika ia menjumpai orang yang kelaparan, ia akan segera ke Baitul Mal mengambilkan gandum dan memikulnya dengan pundaknya sendiri.
Begitulah seharusnya gaya hidup setiap pemimpin. Seorang pemimpin harus selalu memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Hanya dengan rasa takut seperti itulah, sebuah kesadaran dan rasa tanggung jawab akan tumbuh.
Kesadaran yang akan selalu membuat seorang hati-hati dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas. Ia tahu dan sadar, kalau amanah yang sedang diembannya merupakan amanah dari Allah SWT.
Jika ia lalai, maka Allahlah yang akan menghukumnya. Dan hukuman Allah SWT di akhirat cuma satu, yaitu Neraka.
Dengan kesadaran sepert itu, gaya hidup seorang pemimpin akan lebih zuhud. Jabatan tidak lagi akan dijadikannya lagi sebagai sarana untuk memperkaya diri atau mengumpulkan pundi-pundi harta. Jabatan akan dijadikannya sarana untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Tak heran jika kehidupan para pejabat pada zaman Khulafa’ar Rasyidin sangatlah bersahaja. Ketika Abu Bakar jadi Khalifah, ia tetap berdagang di pasar. Umar pun demikian.
Rumahnya tetap sederhana dan tanpa pengawalan. Di beberapa daerah, ada yang gubernurnya masuk dalam daftar fakir miskin yang berhak mendapat bantuan. Seperti yang pernah dialami oleh Sa’ad bin Amir. Gubernur Himsha di era pemerintahan Umar bin Khaththab. Adakah pemimpin seperti itu sekarang?
Ahmad Rifa’I / Suara Hidayatullah
Suara Hidayatullah | Mei 2009/ Jumadil Ula 1430, Hal 66 - 67
No comments