Potret Dua Golongan Manusia
Jumat, 21 Mei 2010 / 7 Jumadil Akhir 1431
فَأَمَّا مَن طَغَى
“Adapun orang yang melampaui batas,” (37)
وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
“Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,” (38)
فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى
“Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)”. (39)
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,” (40)
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS Al Nazi’at (79) : 37-41)
Di bandingkan dengan kehidupan akhirat, kehidupan di dunia memang amat singkat. Kendati demikian, perilaku manusia semasa di dunia menentukan nasib manusia di akhirat yang kekal abadi.
Perkara ini telah dijelaskan dalam banyak ayat al Qur’an. Termasuk pula penjelasan mengenai perilaku yang mengantarkan kepada kebahagiaan dan sebaliknya, kecelakaan. Ayat-ayat di atas adalah di antaranya.
Potret Penghuni Neraka
Allah SWT Berfirman: Fa amma man tagha (adapun orang yang melampaui batas). Secara bahasa, kata thaga berarti tajawaza al hadd (melampaui batas). Pengertian ini dapat di jumpai dalam Firman Allah: Inna lamma tagha almau hamalnakum fii aljariyati
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاء حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu[1507], ke dalam bahtera” (QS. Al Haqqah (69): 11).
[1507] Yang dibawa dalam bahtera Nabi Nuh untuk diselamatkan ialah keluarga Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman selain anaknya yang durhaka.
Kata Thagha al ma’u disini berarti air telah melampaui semua daratan, hingga daratan yang paling tinggi, gunung.
Dalam perkembangan berikutnya, kata Thaga merujuk kepada tindakan yang melampaui batas dalam kemaksiatan dan kekufuran. Sebagaimana dijelaskan Mujahid dalam Tafsir al Thabari, kata Thagah’ dalam ayat ini bermakna ‘Asha (bermaksiat).
Tidak jauh berbeda, al Syaukani juga menafsirkannya dengan Jawaza al hadd fi al kufr wa al ma’ashi (melampaui batas dalam kekufuran dan kemaksiatan). Dengan redaksi sedikit berbeda, Ibnu Katsir memaknainya sebagai Tamarrada wa’ata (membangkang dan melampaui batas).
Telah maklum, Allah SWT telah menurunkan seperangkat hukum kepada manusia. Di dalamnya terdapat batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Dalam beberapa ayat, ini disebut sebagai Hududul Lah (Batasan atau hukum Allah).
Terhadap semua Hududul Lah itu, manusia tidak boleh melanggar. Allah SWT Berfirman:
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya [144]. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2) : 229)
[144] Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
Atau mendekatinya
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf [115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al Baqarah (2) : 187)
[115] "I'tikaf" ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Barang siapa yang melanggarnya, maka mereka telah berlaku dzalim atas dirinya sendiri
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) [1482] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang [1483]. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru [1484].” (QS. Al Thalaq (65): 1)
[1482] Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. Tentang masa iddah lihat ayat 228, 234 surat (2) Al Baqarah dan surat (65) Ath Thalaaq ayat 4.
[1483] Yang dimaksud dengan "perbuatan keji" di sini ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, besan dan sebagainya.
[1484] "Suatu hal yang baru" maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.
Bahkan terkategori sebagai orang dzalim (QS. Al Baqarah (2): 229). Mereka juga diancam akan dimasukkan ke dalam neraka dan adzab yang menghinakan
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (QS. Al Nisa’ (4): 14)
Di dalam surat ini, juga disebutkan contoh orang yang terkategori telah berlaku Thagha, yakni Fir’aun
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
"Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (QS. An Nazi’at (79): 17)
Meski telah dinasihati Nabi Musa as, dia tetap berpaling. Bahkan dengan sombong dia menyerukan bahwa dirinya adalah tuhan yang paling tinggi. Atas sikapnya yang melampaui batas itu, dia pun diazab di dunia dan akhirat
فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَالْأُولَى
“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.” (QS. An-Naazi'aat (79) : 25)
Kaum lain yang disebut melakukan tindakan yang sama adalah kaum ‘Aad dan Tsamud. Sebagaimana Fir’aun, semuanya mendapatkan azab dari Allah SWT
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad?” (6)
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ
“(Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi[1574]” (7)
[1574] Iram ialah ibukota kaum 'Aad.
الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ
“Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain.” (8)
وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ
“Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah[1575]” .”[/I] (9)
[1575] Lembah ini terletak di bagian utara jazirah Arab antara kota Madinah dan Syam. Mereka memotong-motong batu gunung untuk membangun gedung-gedung tempat tinggal mereka dan ada pula yang melubangi gunung-gunung untuk tempat tinggal mereka dan tempat berlindung.
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ
“Dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak)” (10)
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ
“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri.” (11)
فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ
“Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu,” (12)
فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ
“Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.” (Al Fajr (89): 6-13).
Selain Thagha, orang tersebut juga: Wa atsara al hayah al dun-ya (Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia). Frasa ini memberikan pengertian bahwa orang tersebut lebih memilih apa yang ada di dunia dari pada akhirat.
Demikian penjelasan al Samarqandi. Atau menurut Ibnu Jarir al Thabari, dia beramal dan berusaha hanya untuk dunia dan meninggalkan akhirat. Al Syaukani juga mengatakan bahwa orang tersebut lebih mendahulukan dunia atas akhirat, tidak menyiapkan bekal untuk akhirat, dan tidak beramal untuknya.
Dua sikap itu sesungguhnya saling berkaitan. Ketika seseorang hanya berpikir dan berusaha untuk mengejar kesenangan dan kepentingan dunia, tentu akhirat akan diabaikan.
Ketika itu terjadi, bukan hanya tidak menyiapkan bekal untuk akhirat, dia bahkan berani menabrak hukum-hukum Allah SWT ketika bertentangan dengan kepentingannya.
Terhadap mereka, Allah menyampaikan ancaman keras: Fa inna al jahima hiya al ma’wa (Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya). Yang dimaksud dengan al jahim adalah neraka. Di tempat yang penuh siksa itulah mereka akan kembali.
Di tempat itu pula mereka akan tinggal. Pedihnya siksa yang mereka rasakan merupakan balasan yang layak buat mereka. Dalam (QS. Al Naba’ (78): 26):
جَزَاء وِفَاقًا
“Sebagai pembalasan yang setimpal.” (QS. An-Naba' (78) : 26)
Disebut Jazaan wifaqan (Balasan setimpal). Betapa tidak, mereka telah diciptakan Allah SWT dan menikmati aneka kenikmatan yang amat banyak, justru berlaku durhaka kepada PenciptaNya : Melampaui batas dalam kemaksiatan dan hanya mementingkan kesenangan dunia.
Potret Penghuni Surga
Sikap mereka itu berkebalikan dengan orang-orang yang dijanjikan menjadi penghuni surga. Allah SWT Berfirman: Wa amma’ man khafa maqama Rabbihi (Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya).
Menurut sebagian besar Mufassir, frasa ini menggambarkan bahwa orang tersebut takut kepada Allah SWT ketika berhadapan denganNya di hari kiamat kelak. Ketakutan tersebut membuat pelakunya tidak berani melanggar hukum-hukum Allah SWT.
Dalam frasa selanjutnya pun disebutkan: Wan aha al nafsa ‘an al hawa (Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya). Secara bahasa, kata al hawa berarti Mahabbat al insana al syay’a wa ghalabatuhu ‘ala qalbihi (Kecintaan manusia terhadap sesuatu dan menguasai hatinya).
Demikian Ibnu Manzhur dalam Lisan al ‘Arab. Sedangkan menurut al Raghib al Asfahani, al hawa berarti Mayl an anfs ila al syahwah (Kecenderungan jiwa kepada syahwah).
Menurut Ibnu ‘Athiyah kata al hawa kendati bisa digunakan untuk sesuatu yang terkait dengan kebaikan, namun pada ghalibnya digunakan untuk sesuatu yang di dalamnya tidak ada kebaikan.
Di dalam Al Qur’an sendiri, cukup banyak ayat yang yang melarang dan memberikan celaan kepada manusia yang mengikuti al hawa. Di antaranya adalah Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقَيرًا فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar- benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia [361] kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisaa (4) 135).
[361] Maksudnya : orang yang tergugat atau yang terdakwa.
Dalam QS Shad (38) : 26 juga terdapat seruan kepada Dawud agar tidak mengikuti al hawa’
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad (38) : 26)
Lalu disebutkan: Fa yudhilluka ‘an sabililLah (Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah). Dalam QS al Kahfi (18): 28 Allah SWT melarang RasulNya mengikuti orang yang yang menuruti hawa nafsunya.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya itu melewati batas. (QS. Al Kahfi (18) :28)
Larangan senada juga terdapat dalam QS Thaha (20):16
فَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى
“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa". (QS. Thaahaa (20):16)
Bahkan dalam QS al Mukminun (23):71
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al Mu'minuun (23):71)
Ditegaskan bahwa Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu orang kafir, maka langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya pasti binasa.
Bertolak dengan kenyataan tersebut, maka orang yang mampu menahan dirinya dari hawa nafsunya akan dapat menjaga dirinya dari kecenderungan berbuat buruk. Kecenderungan dirinya pun tunduk kepada ketentuan syariah.
Sekalipun secara naluriah dia menyukai sesuatu, namun jika itu diharamkan oleh syariah, dia meninggalkannya. Sebaliknya, meskipun secara naluriah dia membencinya, namun jika syara’ mewajibkannya, akan dikerjakan. Pendek kata, semua kecenderungannya tunduk kepada ketentuan syariah.
Sikap ini tentu tidak bisa dilepaskan dari ketakutan mereka terhadap hisab di hadapan Allah SWT. Ketika seseorang takut kepada Allah SWT, akan melahirkan sikap taat kepadaNya.
Ibnu Jarir al Thabari dalam menjelaskan frasa ini berkata: Orang yang takut dengan pertanyaan Allah SWT kepadanya ketika berdiri di hadapanNya di akhirat kelak, maka dia akan bertakwa kepadaNya dengan menunaikan apa yang difardhukanNya dan meninggalkan maksiat kepada Nya.
Terhadap orang yang demikian, dijanjikan balasan yang baik. Allah SWT Berfirman: Fa inna al jannah hiya al ma’wa (Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.) Balasan buat mereka tak lain adalah surga.
Tempat yang penuh dengan aneka kenikmatan akan menjadi tempat tinggal abadi buat mereka. Bahkan dalam QS al Rahman (55): 46 diberitakan bahwa orang-orang takut menghadap Tuhannya akan mendapatkan dua surga.
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga. [1447] “(QS. Ar Rahmaan (55): 46]
[1447] Yang dimaksud dua syurga di sini adalah, yang satu untuk manusia yang satu lagi untuk jin. Ada juga ahli Tafsir yang berpendapat syurga dunia dan syurga akhirat.
Demikian potret dua golongan manusia yang nasibnya berakhir kontradiktif: bahagia dan celaka; menjadi penghuni surga dan penghuni neraka. Dan itu diserahkan kepada manusia untuk memilihnya. Semoga kita tidak termasuk orang yang salah pilih. Wal Lah a’lam bi shawab.
Rokhmat S. Labib, M.E.I
Media Umat | Edisi 21, 20 Syawal – 4 Dzulqaidah 1430 H / 9 – 22 Oktober 2009, Hal 11
No comments