Bersyukur
Selasa, 12 Oktober 2010 / 4 Zulqaidah 1431
Di depan sebuah meja makan, seorang anak berusia lima tahun duduk dengan wajah cemberut. Dia tidak mau menyantap sajian yang terhidang dihadapannya.”Mama, aku tak suka makanan ini!” ujarnya.
Sang Ibu yang merasa sudah susah payah menyajikan makanan tersebut tentu merasa kesal; “Syukuri yang ada, masih banyak anak yang kurang beruntung di luar sana!”. Si anak pun berkata dengan ketus; “Mama bilangnya bersyukur terus, bosan!”
Di tempat lain di suatu pagi, seorang ayah baru saja menerima majalah langganannya. Begitu melihat sampul majalah yang memasang foto orang tidak memiliki kaki dan tangan, anak lelakinya berkata; “Ayah pasti bilang, aku harus bersyukur!”
Banyak yang mungkin mengalami peristiwa seperti dua kisah nyata di atas: anaknya merasa tidak nyaman ketika orang tua memintanya untuk bersyukur. Peristiwa seperti itu sesungguhnya menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman antara orang tua dan anaknya saat terjadi komunikasi di antara keduanya.
Ketika mengatakan “syukur”, orang tua kerap menganggap anaknya –bahkan yang masih sekolah di taman kanak-kanak pun- sudah paham dengan konsep syukur. Dengan demikian kata tersebut sering terungkap dari mulut orang tua, agar anaknya mau menerima keadaan yang justru mungkin tak diinginkan anaknya.
Tentu saja pesan tersebut menjadi tidak sampai, anak yang belum paham arti syukur, menganggapnya sebagai pemaksaan.
Syukur merupakan sikap dan ungkapan positif yang didasari perasaan suka cita dengan diliputi rasa terima kasih. Syukur seharusnya muncul dan terungkap secara spontanitas yang disebabkan karena keadaan, situasi, atau peristiwa yang dirasakan memberi manfaat dan umumnya sangat diharapkan.
Namun dalam banyak kasus, syukur yang seharusnya bermakna positif diterima anak menjadi sebaliknuya.
Banyak orang tua ingin anaknya menjadi orang yang pandai bersyukur, namun tidak memikirkan bagaimana caranya. Orang tua seharusnya memberikan banyak pengalaman yang membuat anak secara spontan memiliki rasa syukur.
Jika ibu menginginkan anaknya senantiasa mensyukuri makanan yang terhidang di meja makan, tidak membuang nasi, atau mau menghabiskan makanannya, ibu bisa membawa dan melibatkan anak pada proses pembuatan makanan.
Ibu bisa mengajak anak mencuci beras, menanak nasi, dan memahami berapa lama nasi dimasak. Ibu pun sebaliknya mengajak anak berbelanja di pasar, membeli beras beberapa kilo dan membawanya menuju rumah.
Tak hanya itu, ibu pun pada saat menempuh perjalanan ke luar kota bisa menjelaskan bahwa sebelum ada di pasar, sebagian besar beras diangkut dari desa yang jauh. Jika ada saudara atau nenek yang tinggal di desa persawahan, anak bisa mempelajari tahapan menanam padi dan berapa lama padi dapat dipanen.
Setelah dipanen, padi pun tidak serta merta dapat dimasak. Masih ada proses membersihkan padi dan memisahkannya dari gabah sehingga dapat dimasak.
Jika anak memahami betapa panjang proses nasi hingga terhidang di atas meja, maka anak tentu tidak akan menyia-nyiakan sepiring nasi yang ada di hadapannya. Hal tersebut oleh para ahli dinamakan hidden movement atau gerakan/proses yang tak terlihat.
Jika anak memahami hidden movement, maka ia akan menjadi anak yang pandai bersyukur karena dia paham proses panjang dibalik kehadiran suatu benda.
Pikiran anak tentu sangat berbeda dengan orang tua karena pengalaman yang dialaminya juga berbeda. Untuk menanamkan sebuah sikap positif-misalnya syukur- tak cukup hanya dengan nasihat, namun perlu pengalaman langsung.
Ida S. Widayanti
Penulis buku
Suara Hidayatullah | Maret 2009 / Rabiul Ula 1430 , Hal 53
No comments