Pendidikan Bagi Semua
Pendidikan Bagi Semua
Selasa, 21 Juli 2009 / 28 Rajab 1430
Zaman memang sedang tidak memihak Si Kecil. Itulah kenyataan masa kini yang tengah kita hadapi. Zaman kemajuan tanpa batas, yang memanjahkan siapa saja yang berkemampuan dan berkecukupan. Namun tidak bagi mereka yang selalu terpinggirkan karena kemampuan yang terbatas.
Kenyataan pahit dunia pendidikan kita, tak jauh dari gambaran itu. Semakin hari kian terasa betapa berat peran orang tua dalam menyiapkan pendidikan bagi anaknya. Hampir seluruh orang tua sepakat bahwa sekolah formal adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh seorang anak menuju jenjang profesinya. Maka berapa pun ongkos yang harus ditempuh untuk melengkapi si Anak terjun di dunia profesi dan masyarakatnya, menjadi beban kewajiban yang harus dipenuhi orang tua.
Celakanya, kian hari sekolah menjadi kian mahal dan makin tak terjangkau bagi mereka yang tak berpunya.
Seorang kritikus pendidikan kita; Eko Prastyo bahkan telah menulis sebuah buku rampung dengan tajuk yang mencengangkan “Orang Miskin Dilarang Sekolah”.
Sebuah satire (sindiran) bagi bangsa, bahwa pendidikan sesungguhnya memang bukan diperuntukkan untuk semua, melainkan hanya berorientasi pada si Mampu. Alhasil, hidup Si Miskin kembali pada siklus “kemiskinannya”.
Orang miskin tak berdaya untuk melahirkan generasi terdidik, maka generasi ini akan menyumbangkan kemiskinan baru, yang selanjutkan akan melahirkan berbagai keterbelakangan baru, ya ekonomi, social dan peran serta dalam masyarakat.
Pada akhirnya, kemiskinan akan menghukum kita karena meminjam istilah Philip Kottler; “Siklus kemiskinan, keterbelakangan, itulah yang akan menenggelamkan sebuah bangsa.”
Kritik terhadap dunia pendidikan yang semakin mahal, tak terjangkau dan kian elitis itu agaknya sudah menjadi perhatian lama para kritikus pendidikan. Tokoh yang paling keras melancarkan arah dan praktek pendidikan modern adalah Ivan Illich yang menulis; “Masyarakat Tanpa Sekolah ata Deschooting Society.” Lalu, dengan nada yang sama; Paulo Freire menulis kritik yang sangat terkenal yakni; “Pendidikan Bagi Kaum Tertindas”.
Beberapa Guru bangsa sebenarnya sudah mulai berpikir akan hal ini dengan contoh pendidikan seperti pesantren yang memliki konsep holistic. Hidup dan dibangun di tengah masyarakat pengusung nilai, dipimpin langsung Guru sekaligus teladan, para kyai. Dan, tentu saja dengan biaya murah atau bahkan gratis.
Krisis bermula dari kenyataan bahwa dunia pendidikan harus mandiri dan tanpa perhatian/subsidi pemerintah. Maka biaya seluruh system pendidikan dibebankan kepada murid dan orang tua. Bangunan megah, alat pendukung canggih dan gaji professional guru yang mahal akhirnya kian tak terjangkau wali murid.
Maka, kita semua kini harus bergandengan tangan untuk terus mencari terobosan agar anak-anak dimasa depan tidak semakin ciut dalam persaingan memperoleh ‘hak pandainya’.
Sediakan lebih banyak lagi sekolah bermutu dan murah, sekolah alternative yang lebih berintikan life skill dan juga berbagai jejaring komunikasi antar lembaga pendidikan yang dapat menjadi solusi alternative bagi bangsa yang kini tengah dilanda krisis.
Sekolah, pada akhirnya harus menjadi sahabat yang memadaikan, memberdayakan, mencerdaskan, dan memandirikan. Bukan sebaliknya, sekolah mengerdilkan, menciutkan, mengebiri dan tak mewariskan karakter mandiri.
Jangan berpangku tangan. Mari kembangkan jejaring peduli pendidikan. Agar semua anak bangsa bisa merasakan nikmatnya menjadi insan belajar di tengah ‘masyarakat pembelajar’ yang ramah, taat, penuh kasih sayang dan dan dukungan.
Di situlah kita semua akan merasa nyaman, bahwa sekolah atau pendidikan ternyata memang diperuntukkan “Bagi Semua”. Dan bukannya hanya diciptakan untuk kalangan yang berpunya saja.
Kenyataan pahit dunia pendidikan kita, tak jauh dari gambaran itu. Semakin hari kian terasa betapa berat peran orang tua dalam menyiapkan pendidikan bagi anaknya. Hampir seluruh orang tua sepakat bahwa sekolah formal adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh seorang anak menuju jenjang profesinya. Maka berapa pun ongkos yang harus ditempuh untuk melengkapi si Anak terjun di dunia profesi dan masyarakatnya, menjadi beban kewajiban yang harus dipenuhi orang tua.
Celakanya, kian hari sekolah menjadi kian mahal dan makin tak terjangkau bagi mereka yang tak berpunya.
Seorang kritikus pendidikan kita; Eko Prastyo bahkan telah menulis sebuah buku rampung dengan tajuk yang mencengangkan “Orang Miskin Dilarang Sekolah”.
Sebuah satire (sindiran) bagi bangsa, bahwa pendidikan sesungguhnya memang bukan diperuntukkan untuk semua, melainkan hanya berorientasi pada si Mampu. Alhasil, hidup Si Miskin kembali pada siklus “kemiskinannya”.
Orang miskin tak berdaya untuk melahirkan generasi terdidik, maka generasi ini akan menyumbangkan kemiskinan baru, yang selanjutkan akan melahirkan berbagai keterbelakangan baru, ya ekonomi, social dan peran serta dalam masyarakat.
Pada akhirnya, kemiskinan akan menghukum kita karena meminjam istilah Philip Kottler; “Siklus kemiskinan, keterbelakangan, itulah yang akan menenggelamkan sebuah bangsa.”
Kritik terhadap dunia pendidikan yang semakin mahal, tak terjangkau dan kian elitis itu agaknya sudah menjadi perhatian lama para kritikus pendidikan. Tokoh yang paling keras melancarkan arah dan praktek pendidikan modern adalah Ivan Illich yang menulis; “Masyarakat Tanpa Sekolah ata Deschooting Society.” Lalu, dengan nada yang sama; Paulo Freire menulis kritik yang sangat terkenal yakni; “Pendidikan Bagi Kaum Tertindas”.
Beberapa Guru bangsa sebenarnya sudah mulai berpikir akan hal ini dengan contoh pendidikan seperti pesantren yang memliki konsep holistic. Hidup dan dibangun di tengah masyarakat pengusung nilai, dipimpin langsung Guru sekaligus teladan, para kyai. Dan, tentu saja dengan biaya murah atau bahkan gratis.
Krisis bermula dari kenyataan bahwa dunia pendidikan harus mandiri dan tanpa perhatian/subsidi pemerintah. Maka biaya seluruh system pendidikan dibebankan kepada murid dan orang tua. Bangunan megah, alat pendukung canggih dan gaji professional guru yang mahal akhirnya kian tak terjangkau wali murid.
Maka, kita semua kini harus bergandengan tangan untuk terus mencari terobosan agar anak-anak dimasa depan tidak semakin ciut dalam persaingan memperoleh ‘hak pandainya’.
Sediakan lebih banyak lagi sekolah bermutu dan murah, sekolah alternative yang lebih berintikan life skill dan juga berbagai jejaring komunikasi antar lembaga pendidikan yang dapat menjadi solusi alternative bagi bangsa yang kini tengah dilanda krisis.
Sekolah, pada akhirnya harus menjadi sahabat yang memadaikan, memberdayakan, mencerdaskan, dan memandirikan. Bukan sebaliknya, sekolah mengerdilkan, menciutkan, mengebiri dan tak mewariskan karakter mandiri.
Jangan berpangku tangan. Mari kembangkan jejaring peduli pendidikan. Agar semua anak bangsa bisa merasakan nikmatnya menjadi insan belajar di tengah ‘masyarakat pembelajar’ yang ramah, taat, penuh kasih sayang dan dan dukungan.
Di situlah kita semua akan merasa nyaman, bahwa sekolah atau pendidikan ternyata memang diperuntukkan “Bagi Semua”. Dan bukannya hanya diciptakan untuk kalangan yang berpunya saja.
Editorial Masakini
Newsletter donator dompet dhuafa republika Edisi Rajab 1430 H
Newsletter donator dompet dhuafa republika Edisi Rajab 1430 H
No comments