Jangan Sembarangan Menyekolahkan Anak
Jangan Sembarangan Menyekolahkan Anak
Kamis, 01 Oktober 2009 / 12 Syawwal 1430 
Pesan Hamka; Kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada kesempurnaan sistem pendidikan dan pengajaran yang ditawarkannya.
Di masa kecilnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka yang biasa dipanggil Malik, belajar mengaji dan tidur di surau selain berlatih pencak silat. Dia juga masuk sekolah desa sampai kelas 2 (Jawa : Sekolah Ongko Loro).Pada 1916 sampai 1923, Hamka belajar agama pada lembaga pendidikan Sekolah Diniyah (Sekolah agama) di Parabek, kemudia dilanjutkan belajar pada Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Gurunya antara lain: Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labayel-Yunusy.
Hamka juga mengembara untuk mencari pengalaman keluar Minangkabau. Selain ke Medan, ia juga ke Jawa, dan berguru langsung pada tokoh-tokoh di sana.
Itulah pendidikan yang diselami Hamka. Proses pendidikan didefinisikan Pannen dan Malati dalam buku Program Applied Approach (1996) sebagai proses transformasi atau perubahan kemampuan potensial individu peserta didik menjadi kemampuan nyata untuk meningkatkan taraf hidupnya lahir dan bathin.
Proses pendidikan dapat terjadi dimana saja, sehingga berdasarkan pengorganisasian serta struktur dan tempat terjadinya proses tersebut, dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah.
Menurut Musfi Yendra; Wakil Direktur Sumbar Intelektual Society (SIS), kesuksesan otodidak (luar sekolah) Hamka di kemudian hari karena 4 hal.
- Pertama: Kemauan individu (Ibada’ binafsih). Hamka menjadi besar / tokoh karena belajar secara otodidak dengan membaca/mempelajari karya tokoh-tokoh besar Islam dan Barat, membuktikan beliau berjuang mengembangkan diri. Kemauan mengembangkan diri juga beliau lakukan dengan banyak belajar dari tokoh/guru/ulama lain dengan bertanya dan berdiskusi.
- Kedua: Membaca, berdiskusi dan Menulis. Sejak kecil Hamka adalah orang yang sangat gemar membaca banyak buku dan karya-karya besar. Beliau rajin berdiskusi dan sering melakukan perdebatan dengan teman-temannya seperti Djamil Jambek dan Natsir. Dari budaya membaca dan berdiskusi itu beliau lanjutkan dengan menulis.
- Ketiga: Komitmen, tegas dan berjiwa besar. Proses Hamka dalam banyak organisasi dan juga keterlibatan dalam aktivitas partai politik bukanlah karena ikut-ikutan tapi diikuti dengan militansi yang tinggi. Ketegasan menjadi pelengkap kepribadian Hamka, apalagi itu menyangkut hal-hal sangat prinsip dalam pemahaman beliau, terbukti ketika beliau mengundurkan diri jabatan sebagai Ketua MUI karena tidak sependapat dengan pemerintah.
- Keempat: Ibadah yang benar. Kekuatan terbesar yang dimiliki Hamka dalam berkarya adalah ketaatan beliau kepada Sang Khalik. Ketika dipenjara dua tahun oleh pemerintah Soekarno, beliau bisa melahirkan karya besar: Tafsir Al Azhar.
Lantaran besar secara otodidak, menurut Syamsul Nizar dalam seminar bertajuk : “Hamka di Mata Kaum Muda” di Padang, pemikiran Hamka tentang pendidikan seringkali terlupakan, bahkan dipertanyakan. “Padahal pemikirannya pada aspek ini memiliki kekuatan ilmiah yang dapat digunakan pada konsep pendidikan modern,” ujarnya.
Hamka, lanjut Samsul, menggunakan metode pendidikan gurunya: Engku Zainuddin Labay el-Yunusy; “Metode pendidikan bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik,” jelas penulis buku “Memperbincangkan Dinamika Intelektual Dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam”.
Dalam buku ini pula, dikutip penegasan Hamka; “Kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada kesempurnaan system pendidikan dan pengajaran yang ditawarkannya.” (hal.136).
Pemikiran dan ajaran Hamka tentang pendidikan banyak ditemui dalam karyanya seperti “Tasauf Modern”, “Pelajaran Agama Islam”, “Falsafah Hidup”, dan “Tasauf Dari Abad ke Abad”.
Hamka dalam memaparkan persoalan pendidkan, selalu mencangkup peran keluarga, pendidik dan lingkungan social. Peran ini dituntut harmonis.
Ada tiga aspek kemanusiaan yang mendasari pendidikan Islam bagi Hamka, yaitu: potensi (fitrah) peserta didik; jiwa (al-qalb), jasad (al jism), dan akal ( al ‘aql).
Beliau menguraikan manusia dengan akal dan pengetahuan serta pendidikannya sebagai berikut; “Segala perbedaan dan perubahan tingkatan pandangan hidup manusia itu timbul karena perbedaan tingkatan pendapat akal. Berlainan pendapat karena berlainan pengetahuan, pendidikan dan berbeda pula bumi tempat tegak.
Jika akal itu telah tinggi karena tinggi pengetahuan (ilmu) dipatrikan oleh ketinggian pengalaman, bertambahlah tinggi derajat orang yang mempunyainya. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang ada dalam alam ini, hakikatnya sama saja, yang berubah adalah pendapat orang yang menyelidikinya. Maka kepandaian manusia menyelidiki itulah yang menjadi pangkal bahagia atau celakanya.
Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka.
Oleh agama perjalanan bahagia itu telah diberi berakhir. Puncaknya yang penghabisan ialah kenal pada Tuhan, baik makrifat kepadaNya, baik taat kepadaNya, dan sabar atas musibahNya. Tidak ada lagi hidup di atas itu!”
Kita heran, kata Hamka; “Melihat manusia yang takut rugi dengan hartanya, tetapi mudah berolah kerugian yang lebih besar, yakni murka Tuhannya. Ia obati dengan segala cara anaknya yang jatuh sakit, yakni sakit badan: tetapi tidak dicarikannya obat jika anaknya mendapat sakit batin, yakni sakit akal.”
Dalam hal ini Dr. Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya: Pendidikan Anak Dalam Islam; Mengingatkan bahwa generasi Islam akan rusak bila dalam hal pendidikan orang tuanya melakukan:
1. Menyerahkan anaknya kepada sekolah-sekolah asing atau sekolah-sekolah missonaris. Tiada syak lagi anak-anak itu dibentuk atas dasar-dasar kesesatan. Akhirnya akan terlekat di dalam hatinya perasaan benci terhadap Islam, dan permusuhan terehadap agamanya sendiri.
2. Menyerahkan pimpinan anaknya kepada guru-guru mulhid, dan pendidik-pendidik yang jahat, menyematkan prinsip-prinsip kufur dan sesat dalam jiwanya. Akhirnya anak akan membesar dalam pendidikan ilhad dan petunjuk yang sangat membahayakan dan akan jauh dari pengajaran agama Islam.
3. Membiarkan anaknya membaca apa saja buku-buku orang mulhid dan materialis, atau membiarkan saja anak-anaknya membaca bahan yang menikam agamanya sendiri oleh para misionaris dan penjajah. Akibatnya anak akan ragu terhadp aqidah dan agamanya dan kelak akan menjadi musuh yang menentang Islam.
4. Membebaskan anaknya berbuat sesuka hati dan membiarkan dia bercampur gaul dengan orang-orang yang sesat dan tidak mengambil kisah apa yang dia percaya hasil pemikiran sesat itu. Akibatnya menyebabkan anak itu tadi akan mencaci segala nilai-nilai agama dan akhlak Islam yang diajar oleh Islam.
5. Membuka jalan bagi anaknya memilih komunitas yang sesat dan kufur. Akibatnya anak tadi akan terdidik dengan keprcayaan-kepercayaan yang sesat dan kufur, malah akhirnya akan menjadi musuh yang dahsyat terhadp Islam sendiri.
Nurbowo
Suara Islam, Edisi 70, Tanggal 3-17 Juli 2009 M/9-23 Rajab 1430 H
No comments