Breaking News

Memahamkan Anak Akan Bahaya Sinetron

Memahamkan Anak Akan Bahaya Sinetron
Ahad, 16 Agustus 2009 / 25 Sya'ban 1430


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Saya Iskandar asal NAD.

Mbak, bagaimana caranya menjelaskan kepada anak-anak bahwa sinetron-sinetron di layar TV tidak layak untuk di tonton?

Jazakillah Khairan

Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh


         Pada dasarnya, sebagian besar perilaku anak-anak hanya mengikuti orang-orang di sekitarnya, baik itu teman sebaya maupun orang dewasa. Sebagian lainnya merupakan eksplorasi diri / lingkungan.

        Misalnya, balita usia 2 tahun memukul kakak / ibunya (eksplorasi). Apabila sang kakak / memukul balik, maka si balita akan belajar bahwa memukul adalah perbuatan yang wajar dan bisa diterima oleh lingkungannya.

         Apalagi jika si balita sering di pukul orang tua / pengasuhnya lantaran rewel, maka memukul akan menjadi kebiasaan dan kewajaran dalam hidupnya.

          Oleh karena itulah, orang tua / pengasuh harus sangat berhati-hati dalam bersikap. Setiap orang tua / pengasuh akan tercermin pada diri si anak. Oleh karena itu, jangan keburu marah melihat perilaku negatif anak. 

           Pertama-tama, jadikanlah itu sebagai bahan intropeksi. Jangan-jangan dia hanya meniru sikap / perilaku kita. Apabila kita tidak memberi contoh sikap / perilaku tersebut maka kita bisa mulai tengok kanan-kiri, mencari siapa yang memiliki sikap / perilaku serupa yang mungkin telah ditiru oleh anak kita.

          Demikian pula dengan urusan menonton sinetron. Mungkin saja kita sebagai orang tua tidak pernah menonton sinetron (sebuah langkah awal yang patut di acungi jempol), tetapi bagaimana dengan :

  • Kakek-neneknya?
  • Teman-temannya?
  • Tetangga Dekat?
  • Orang-orang terdekat lainnya?

          Ini memang tantangan yang luar biasa sebab kita tidak berhak mengatur cara hidup orang / keluarga lain. Mengisolasi anak-anak jelas suatu langkah yang mustahil dan kurang bijaksana.

          Cara terefisien tentunya adalah melalui kebijakan negara. Sebelum munculnya eforia kebebasan pers / media, anak-anak hanya mengenal cerita-cerita santun semacam Unyil atau Oshin di layar TVRI.

           Orang tua masa itu tidak perlu menghadapi derasnya pengaruh sinetron. TV pun baru memulai siarannya menjelang Maghrib sehingga anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya bermain, bersosialisasi dan mengaji dengan teman-teman daripada bermalas-malasan di depan TV.

           Budaya ini telah berubah drastic. Berhubung negara kita menjunjung tinggi HAM, maka kebijakan-kebijakannya pun lebih banyak diwarnai oleh hak kebebasan individu daripada kewajiban  tanggung jawab kepada masyarakat luas.

Walaupun mungkin tidak bisa maksimal, beberapa langkah yang bisa kita upayakan adalah:

1. Menciptakan kerja sama yang baik antara ayah dan ibu ( jangan sampai ayah / ibunya sendiri menjadi mania sinetron).

2. Bekerja sama dengan semua orang yang terlibat dalam pengasuhan anak. Diskusikan kekuatirkan kita dengan kakek-nenek atau kerabat dekat lainnya. Jika mereka tidak bisa meninggalkan sinetron, mintalah agar tidak menonton di depan anak kita. Apabila melibatkan babysitter / pengasuh anak, batasi akses ke TV, misalnya dengan tidak menyediakan TV di ruang umum atau tidak menyediakan TV sama sekali. Menasehati si pengasuh bukanlah langkah yang efisien sebab pengasuh tidak memiliki rasa tanggung jawab sebaik orang tua / kerabat. Saya banyak menemukan kasus di mana pengasuh berpura-pura tidak menonton sinetron  bersama anak. Bahkan, ada pula pengasuh yang menjadikan sinetron sebagai alat pendisiplin ( “Kalau kamu nakal ntar gak boleh nonton sinetron X lho!”, “Kalau kamu bilang ke Mama / Papa, ntar kita gak bisa nonton sinetron Y lagi lho!”, dan sebagainya).

3. Sediakan waktu yang cukup untuk bermain dengan anak. Semua anak akan merasa lebih senang menghabiskan waktunya dengan ayah / ibunya dibandingkan menonton TV. Tetapi, kesibukan orang tuanyalah yang banyak menghantarkan mereka ke depan TV. Jika anda lebih sibuk dengan komputer, hp dan / atau hal-hal lainnya, jangan harap anak-anak menyenangi sepeda yang anda sediakan untuk menggantikan TV. Tapi, jika Anda bermain sepeda bersamanya, TV tidak akan penting baginya.

4. Sediakan buku-buku atau bawalah anak-anak ke perpustakaan dan sering-seringlah bertukar cerita dengan anak sehingga kehausan anak-anak akan cerita bisa terpuaskan oleh kisah-kisah yang bermutu.

5. Bernegosiasilah dengan anak mengenai batasan waktu / acara yang bisa dia tonton tetapi jangan gunakan waktu menonton TV sebagai hadiah. Hal ini adalah kesalahan fatal sebab secara tidak langsung telah menanamkan pada pikiran anak bahwa TV itu hebat dan layak dijadikan hadiah. Pilihlah hadiah yang mendidik seperti buku atau waktu tambahan untuk bermain dengan orang tua.

Demikianlah beberapa masukan dari saya. Intinya, pemahaman terbaik itu akan didapatkan melalui contoh dan kebijakan, di samping nasehat. Semoga Bermanfaat.

Erma Pawitasari, M.Ed

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 70, tanggal 3-17 Juli 2009 M / 9-23 Rajab 1430 H

No comments