PAI Masuk Ujian Nasional? (1)
Selasa, 16 Februari 2010 / 2 Rabiul Awwal 1431
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya mau tanya. Bagaimana pandangan Anda tentang wacana PAI (Pendidikan Agama Islam) masuk UN tahun 2010? Adakah manfaatnya jika dilaksanakan/tidak dilaksanakan?
Rusdi +628192862****
Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh
Persoalan UN (Ujian Nasional) memang layak mendapatkan perhatian dari kita. Berpuluh-puluh tahun, bangsa ini ‘diperbudak’ oleh soal-soal ujian (baik melalui Ebtanas, UAN maupun UN) yang menekankan satu kemampuan saja: Menghafal!
Saya bukannya anti dengan metode menghafal. Al Qur’an dan Hadits bisa kita pelajari atas jasa hafalan para pendahulu kita. Tetapi, sebagaimana pesan Ibnu Taimiyah yang saya kutip edisi lalu, hafalan tanpa dibarengi dengan pemahaman tidak akan memberikan manfaat.
Bagaimana anak didik bisa paham jika beban hafalan yang wajib mereka kuasai terlalu menyita waktu? Sebagai seorang praktisi (guru), saya tahu betul bahwa mengajar untuk mencapai pemahaman membutuhkan waktu yang jauh lebih banyak daripada sekedar menghafalkan.
Lebih repot lagi, mental anak didik kita pun sudah teracuni virus UN sehingga cukup sulit untuk membiasakan “belajar untuk paham” menggantikan konsep “menghafal untuk tes, setelah itu boleh dilupakan.”
Sebelumnya, marilah kita sedikit menengok sejarah evaluasi belajar di Indonesia. Sebelum penggunaan Sistem Ebtanas (1985), praktek jual beli kursi marak di SMP/ SMA favorit.
Pemerintah pun memikirkan cara yang lebih baik dan memilih Sistem NEM, hak meluluskan tetap milik sekolah. Sayangnya, hak ini disalahgunakan sekolah dengan cara mengatrol nilai siswa.
Logika yang digunakan sekolah, jika pelajarnya lulus semua, berarti sekolahnya “terlihat bagus” sehingga orang tua murid tidak akan segan untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.
Untuk mengatasi katrol mengatrol nilai inilah UAN/UN diambil sebagai jalan keluar. Nilai kelulusan ditentukan oleh Pusat, tanpa melihat lagi penilaian harian siswa, baik sisi afektif (sikap), psikomotorik (praktik), maupun kognitif (harian).
Dengan sistem ini, apabila PAI masuk UN, maka seorang anak yang tidak pernah sholat pun bisa dinyatakan lulus selama dia bisa menjawab teori tentang sholat. Efek samping lainnya, muncullah kecurangan terorganisir demi mengejar kelulusan UN, siswa bunuh diri, dan lain-lain, sebagaimana banyak dilansir media.
Mengapa UN?
(Mantan) Wapres Jusuf Kalla mempertahankan UN dengan alasan mencetak manusia yang beretos kerja tinggi. Menurut beliau, etos kerja bangsa ini terlalu rendah dan beliau merasa bahwa UN-lah cara terbaik untuk mengatasinya.
Jusuf Kalla tidak salah; etos kerja masyarakat kita sangat rendah. Tetapi beliau keliru dalam menyimpulkan bahwa UN bisa membangkitkan etos kerja. Pada faktanya, rendahnya etos kerja ini tidak hanya terjadi dikalangan kaum tidak terpelajar (yang tersisih dari pendidikan), tetapi juga menjangkiti kaum terpelajar bahkan sangat terpelajar (lulusan pasca sarjana).
Alih-alih mengabadikan ilmunya, kaum elit ini malah memikirkan cara-cara licik untuk mendapatkan uang banyak dan cepat. Iklan “cara cepat menjadi kaya” bertebaran di internet maupun media lainnya.
Sebuah iklan bahkan berani menulis “Dapatkan cari menarik via ATM tanpa mengurangi rekening anda. Halal” Subhanallah !. Di kalangan yang lebih elit lagi, para pejabat pemegang ijazah S2/S3 dari Universiats bergengsi dunia merampok uang rakyat Rp 600 T (kasus BLBI) dan Rp. 6, T (kasus Bank Century), sementara para petani kita dengan etos kerja yang luar biasa bersimbah peluh, air mata dan darah untuk “memberi makan” bangsa ini.
Kecendrungan kita terhadap sistem “kaya cepat tanpa bekerja keras” inilah bukti bahwa masalah etos kerja tidak bisa diselesaikan dengan selembar ijazah/UN.
Alasan lain yang mewajibkan Ebtanas/UN adalah untuk evaluasi hasil pendidikan. Sebenarnya, pemerintah cukup membentuk Dewan Kajian Evaluasi Belajar. Dewan ini bertugas mempelajari hasil penelitian evaluasi belajar dari seluruh dunia dan menyesuaikannya dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Contoh: Singapura berhasil membuktikan keberhasilan penggunaan ujian berstandar nasional. Tetapi perlu diingat, Singapura adalah negara kota, bukan negara yang kaya dengan wilayah-wilayah terpencil yang belum terjangkau oleh pembangunan.
Negara-negara lain seperti Amerika dan negara-negara Eropa juga terbukti memiliki sistem pendidikan yang lebih baik daripada Indonesia. Tetapi, negara-negara Barat itu masih gagal dalam mencetak pemimpin dan masyarakat yang bermoral.
Menurut Ibnu Sina, Pendidikan tanpa komitmen moral adalah berbahaya dan tidak ber tanggung jawab. Demikanlah yang banyak kita saksikan dari hasil pendidikan Barat yang maju secara materi tetapi miskin dalam moral.
Lalu adakah cara evaluasi belajar yang lebih tepat guna dan tepat sasaran, baik dalam pendidikan umum maupun pendidikan agama? Bagaimanakah itu? Berhubung keterbatasan tempat, Insya Allah akan kita diskusikan pada edisi berikutnya.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi , tanggal 28 Desember 2009 M-8 januari 2010 M/1-21 Muharram 1431 H, Hal 19
No comments