PAI Masuk Ujian Nasional? (2)
Selasa, 23 Februari 2010 / 9 Rabiul Awwal 1431


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Saya mau tanya. Bagaimana pandangan anda tentang wacana PAI (Pendidikan Agama Islam) masuk UN tahun 2010? Adakah manfaatnya jika dilaksanakan/tidak dilaksanakan?


Rusdi +628192862****


********************

Etos Kerja

Sebagaiman saya sebutkan pada edisi lalu, ujian teori hanya mampu menciptakan etos kerja sesaat, tapi gagal memberantas kemalasan sebagai karakater. Bahkan, model ujian seperti ini telah ikut andil dalam terciptanya kebiasaan mencari jalan pintas.

Saya ingin menambahkan bahwa etos kerja tidak terlepas dari ideologi pelakunya. Kita tidak butuh manusia-manusia beretos kerja tinggi dalam melakukan kejahatan, pencuri yang rajin bangun sebelum shubuh, pejabat yang begadang mendiskusikan cara merampok rakyat, sales yang tidak kenal lelah menjajakan bunga bank adalah beberapa contoh etos kerja yang keliru.

Oleh karena itu, etos kerja harus diselesaikan dari akarnya, yakni kesadaran bahwa hidup dan bekerja adalah untuk Allah. Dengan demikian, kita akan membatasi diri pada pekerjaan-pekerjaan halal.

Pekerjaan akan dilakukan dengan semaksimal mungkin dikarenakan rasa malu kepada Allah SWT. Tatkala kegagalan menimpa, kita akan jauh dari rasa putus asa sebab kita sadar bahwa Allah SWT menilai kerja keras kita, bukan hasilnya (yang merupakan keputusan Allah).

Orang yang bermalas-malasan berarti dia tidak malu kepada Allah dan ingkar atas kemampuan-kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.

Evaluasi Belajar

Evaluasi belajar terikat erat dengan standar yang ingin dicapai (standar kelulusan). Banyak pakar berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan, tentang minimnya jumlah sarjana, minimnya buku, dan masih banyaknya rakyat yang hanya berijazah SD atau bahkan tidak lulu SD.

Sedikit sekali yang mengkritisi tentang “apa” yang diajarkan. Tak heran jika tingginya tingkat pendidikan tidak menjamin kualitas manusia yang baik. Yang ada malah semakin hebat daya rusakya dan semakin besar keingkarannya kepada Allah.

Evaluasi Belajar Menurut Ibnu Sina

Salah satu ilmuwan Muslim yang menuliskan konsep pendidikannya adalah Ibnu Sina. Ibnu Sina, hidup di masa Khilafah Abbasiyah, sangat dihormati di dunia Timur maupun Barat. Dia berhasil menyusun buku-buku panduan sains dan kedokteran berbasis riset, yang menjadi rujukan dunia ilmu hingga abad ke 20.

Atas kehebatannya tersebut, Ibnu Sina diperebutkan oleh para Sultan sehingga jika dari sudut materialisme, dia sudah mencapai puncak kejayaan duniawi.

Menurut Ibn Sina, orang tua dan guru harus memperhatikan bakat, minat dan kemampuan tiap-tiap anak untuk kemudian mengarahkan mereka kepada profesi / bidang yang sesuai. Untuk itu, model evaluasi kualitatif (berdasarkan pengamatan menyeluruh) lebih tepat dibandingkan kuantitatif (berdasarkan jawaban hitam-putih).

Disini, guru memegang peranan sangat penting. Dia bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengamati anak didiknya dari berbagai segi, memperbaiki akhlaknya, dan menulis rekomendasi untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karenanya, yang mutlak diperlukan adalah peningkatan kualitas guru, bukan UN.

Ibnu Sina sangat menekankan implementasi ilmu dalam praktik keseharian. Artinya, teori shalat akan dinilai berdasarkan praktiknya. Berlawanan dengan yang terjadi sekarang, di mana jawaban teoritis bahkan mengalahkan praktik keseharian.

Pengamatan yang menyeluruh ini sangat memungkinkan karena guru tidak dituntut untuk mengajarkan banyak bidang sebagaiman tuntutan kurikulum nasional saat ini.

Selepas dari pendidikan sekolah, barulah anak akan dibimbing untuk mendalami keahlian yang dipilih melalui pendidikan profesi (setara Sekolah Tinggi / Universitas). Pendidikan profesi bisa dimulai pada usia 14 tahun.

Namun, menurut Ibnu Sina, pendidikan profesi tidak berlaku untuk semua anak, karena tidak mungkin semua orang menjadi dokter, insinyur atau professor. Dalam masyarakat harus tetap ada buruh kasar, tukang sampah, tukang tambal ban, tukang sapu maupun pedagang keliling.

Kelompok masyarakat ini tidak butuh ilmu astronomi, ilmu logaritma, maupun ilmu anatomi tubuh. Tidak berarti bahwa mereka akan dibiarkan hidup menderita dan kekurangan. Kebutuhan hidup mereka harus terjamin.

Inilah salah satu keunggulan konsep pendidikan Ibnu Sina yang tidak dimiliki oleh konsep pendidikan Barat (berbasis uang / Kapitalisme). Konsep pendidikan Kapitalisme meletakkan kekayaan sebagai tolok ukur kesuksesan.

Jika semua orang masuk Universitas dan sukses seperti Donald Trump atau Habibie, adakah yang mau menjadi tukang sampah, buruh bangunan atau petani? Artinya, konsep ini hanya berjalan jika sebagian manusia gagal.

Jika kegagalan adalah kebutuhan, bagaimana kita mengharapkan perubahan yang baik?

Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 81 Tanggal 8 – 22 Januari 2010 / 22 Muharram – 6 Shafar 1431 H, Hal 19