Breaking News

Mendidik Anak yang Bertanggung Jawab

Mendidik Anak yang bertanggung Jawab
Selasa, 11 Mei 2010 / 27 Jumadil Awwal 1431


Assalamu’alaikum wr wb

Nama saya Ari. Permasalahan saya adalah anak saya usia 7 tahun kelas 2 SD Islam, tetapi belum memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya. Bagaimana caranya agar anak saya punya tanggung jawab.


Terima Kasih, Ibu Ari-Bogor

Wassalamu’alaikum wr.wb.


Semoga Allah senantiasa merahmati Ibu Ari dan para ibu lainnya yang berjuang mendidik amanah-amanahNya secara Islam.

Banyak orang tua yang masih menganggap anak-anak sebagai miniature orang dewasa. Walhasil, orang tua seringkali tidak sabar dalam menghadapi anak-anak.

Anak Bukan Miniature Orang Dewasa

Yang membedakan anak dari orang dewasa bukan hanya bentuk tubuhnya yang kecil, tetapi juga jiwa dan pikirannya. Ibarat kertas kosong, jiwa dan pikiran anak perlu ditulisi dengan hal-hal yang benar, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “ Tidaklah anak manusia dilahirkan melainkan di atas fitrahnya, kemudian orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ketika ada seorang anak umur 2 tahun berdiri di kursi, menyandar ke sandaran kursi sehingga kursinya tidak seimbang dan terjerembab, apa komentar kita?

“Gimana sich kamu ini Nak, ya jelas jatuh dong !” tentu saja sambil tergopoh-gopoh menolong si anak yang menangis.

Ketika ada anak umur 7 tahun belajar menggoreng telur dan memasukkan sesendok penuh garam ke dalam adonanannya, apa komentar kita? “Gimana sih kamu ini, Nak, ya jelas keasinan dong!”.

Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa kita menganggap anak-anak itu miniature orang dewasa, bahwa mereka “tentunya” tahu apa yang orang dewasa ketahui. Bahwa ketidakseimbangan menyebabkan jatuh memang jelas bagi orang dewasa, tapi bukankah kejelasan ini kita pahami dari proses belajar?

Keasinan akibat garam sesendok memang jelas bagi kita, tapi apakah benar sudah jelas bagi anak?

Oleh karena itu, ketika Ibu menyatakan bahwa anak Ibu belum memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya, pertanyaan dari saya adalah: Sudahkah Ibu jelaskan dan rincikan tanggung jawab yang Ibu harapkan dari putra Ibu?

Pemberian Tugas Sesuai Kemampuan


Bu Ari bisa mulai menuliskan tugas-tugas yang Ibu harapkan menjadi tanggung jawab putra Ibu. Tugas-tugas ini bisa Ibu susun dalam sebuah daftar tugas/jadwal harian. Jika lebih cocok dengan jadwal, maka Ibu buatkan jadwal lengkap dengan waktu pelaksanaannya.

Jika lebih cocok daftar tugas tanpa jadwal waktu, Ibu buatkan yang demikian. Kemudian, daftar/jadwal ini Ibu emple di kamar anak dalam poster besar yang mudah dibaca oleh putra Ibu.

Misalnya jika anak harus berangkat sekolah pukul 06.30 WIB:

05.15-05.30 Bangun Shalat Subuh

05.30-05.45 Mandi Pagi

05.45-06.15 Sarapan

06.15-06.30 Persiapan

Adanya waktu Persiapan adalah sebagai waktu toleransi. Apabila jadwal masih belum cukup untuk memotivasi putra Ibu, maka Ibu bisa gunakan poin pencapaian. Misalnya dalam bentuk tabel:

Jika dia melakukan tugasnya, beri tanda centang/bintang/dan sebagainya. Dalam sehari minimal dia harus mengumpulkan sekian poin untuk mendapatkan uang saku. Di bawah pencapaian itu, dia tidak mendapatkan uang saku, melainkan hanya air minum.

Bila pencapaian melebihi target, setiap poin akan dihitung ekstra, misalnya Rp 100,-/poin (silahkan disesuaikan dengan kemampuan Ibu). Jika di sekolah tidak diperbolehkan membawa uang saku, maka uang saku ini bisa dijadikan uang tabungan yang boleh dia belanjakan di rumah sesuai keinginanannya atau ketika berbelanja bersama orang tuanya.

Bentuk hadiah tidak harus uang saku, melainkan silahkan disesuaikan dengan kondisi anak (hal ini bisa didiskusikan dengan anak). Jika putra Ibu tidak peduli dengan uang saku/tabungan, tetapi lebih peduli dengan waktu bermain bersama teman-temannya, maka Ibu bisa mengganti jumlah uang per poin menjadi jumlah waktu bermain bersama teman.

Namun, perlu dihindari pemberian hadiah yang tidak mendidik, seperti jumlah waktu menonton tv. Hal ini secara tidak langsung telah menanamkan pemahaman bahwa menonton tv merupakan kegiatan positif dan istimewa sehingga pantas dijadikan hadiah.

Terakhir, Ibu dan suami harus sepakat dan konsisten dalam menjalankan program ini. Tanpa keduanya, program ini akan sulit berjalan sesuai harapan.

Demikian saran saya, semoga sukses.

Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 87 tanggal 2-16 April 2010 M / 17 Rabi’ul Akhir – Jumadil Awwal 1431 H, Hal 19

*******************

View Index Konsultasi Dunia Pendidikan

No comments