Berbicara yang Bermakna
Selasa, 10 Mei 2011 / 7 Jumadil Akhir 1432
Seorang ayah sedang berkemas akan pergi ke luar kota. Ketiga anaknya berkumpul di sekelilingnya. “Ayah, aku mau dikasih oleh-oleh buku, ya!” ujar anak sulung. “Aku mau boneka beruang, ayah!” ujar si bungsu.
“Aku mau mobil-mobilan saja ya!” si tengah tak mau ketinggalan. “Aku bukunya tentang pesawat, ya!” tambah si sulung.
“Insya Allah…insya Allah!” Ujar si ayah tanpa memindahkan pandangannya dari koper yang sedang dirapikannya.
“Ayah, aku mau ayah jawab iya, tidak pakai Insya Allah. Ayah jawab iya, dong!” ujar si tengah sambil menarik-narik tangan ayahnya. “Iya ayah, jangan insya Allah”, ujar si sulung dan si bungsu bersamaan.
Dalam perjalanan meninggalkan rumah si Ayah merenungi kata-kata anaknya. Ia merasa ada yang salah. Ia bertanya-tanya mengapa anak-anaknya tidak suka ia mengatakan ‘insya Allah’.
Di tempat yang berbeda, seorang ibu memanggil anak-anaknya, “Anak-anak, mari kita berangkat sekarang!” anak-anak yang sudah siap dengan pakaian pergi tersebut tidak beranjak dari tempat duduknya masing-masing, mereka terus asyik memainkan mainannya.
“Anak-anak, ibu bilang kita pergi sekarang!” ulang si ibu dengan suara lebih keras.
“Iya Bu, sebentar!” ujar si anak sambil tetap memainkan mainannya. Si Ibu tentu saja kesal karena merasa anak-anak tidak mengindahkan kata-katanya.
Dua kisah di atas adalah contoh dari betapa pentingnya kita memperhatikan makna setiap kata yang kita ucapkan. Anak-anak membangun makna sebuah kata dari aktivitas dan interaksi dengan orang di sekitarnya, terutama orangtua yang menjadi pengajar utama di awal kehidupannya.
Pada kisah pertama, tanpa disadari si Ayah sering menggunakan kata insya Allah ketika ia berjanji untuk hal yang tidak pasti atau kecil kemungkinannya untuk bisa dilaksanakan. Sehingga otak anak mencatata bahwa kata ‘insya Allah’ berarti tidak ada kepastian.
Pada kisah kedua si Ibu tidak menyadari bahwa saat ia mengatakan ‘mari kita pergi sekarang’, seringkali tidak segera berangkat. Masih banyak hal yang harus ia lakukan seperti menyiapkan barang-barang yang akan dibawa, pintu yang belum dikunci, atau kerudung yang masih harus dirapikan.
Akhirnya, persepsi yang muncul di benak anak bahwa ‘sekarang’ adalah rentang waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, orang tua harus berhati-hati saat berbicara dengan anak. Pastikan kata yang digunakan sesuai maknanya dengan yang dimaksudkan. Dengan demikian anak-anak akan senantiasa percaya pada kata-kata ibunya.
Membangun makna kata dan kalimat pada anak dilakukan sejak bayi lahir bahkan sebaiknya dilakukan sejak janin dalam kandungan dengan cara menceritakan apa-apa yang sedang dilakukannya secara akurat.
Jika ibu senantiasa ‘mengatakan apa yang dilakukan’ atau ‘melakukan apa yang dikatakan’, maka anak akan belajar untuk selalu sesuai antara kata dan perbuatan. Memang tidak mudah, selalu ada rintangan untuk menyelaraskan tindakan dengan perkataan.
Namun, kita harus senantiasa berusaha, karena hal itulah yang senantiasa diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) sehingga beliau mendapat gelar Al Amin, ‘yang terpercaya’.
Ida S. Widayanti
Penulis buku
Suara Hidayatullah | Nopember 2009 / Dzulqodah 1430 , Hal 53
No comments