Breaking News

Dilema Pendidikan Karakter

Dilema Pendidikan Karakter
Selasa, 08 Maret 2011 / 3 Rabiul Akhir 1432


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

  Ibu Erma, yayasan kami ingin membuka sekolah berkarakter. Kami mendapatkan tawaran untuk belajar pendidikan karakter di sebuah Universitas ternama di Australia dan Amerika.

  Di antara kami ada yang tidak setuju, sementara sebagian lainnya menerima dengan alasan bahwa kami akan mengambil moral-moral yang bersifat universal (seperti kejujuran, tolong menolong). Yang penting adalah belajar metodenya. Bagaimana menurut Ibu?

Terima kasih atas jawabannya.


Tora.


Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh

  Bapak Tora yang dimuliakan Allah, Alhamdulillah kita semua patut bersyukur bahwa pemerintah melalui menteri pendidikan telah mencanangkan pentingnya pendidikan karakter. Semoga niat baik ini bisa menyelesaikan masalah moral di negeri ini.

  Namun, sebagai umat Islam, kita tetap harus kritis. Pendidikan karakter sedang menjadi trend di Barat. Terjadinya krisis moral pada masyarakat berpendidikan (educated people) membuktikan bahwa pendidikan yang diberikan selama ini merupakan pendidikan yang rusak.

  Barat, dengan sekulerismnya berusaha mencari solusi terhadap kecacatan pendidikan ini dengan menelorkan ide “pendidikan karakter” (disebut juga “pendidikan nilai” atau “pendidikan moral”).

  Pertanyaannya seperti apakah pendidikan karakter model barat ini, dan sesuaikah dengan yang dimaksud Islam?

Problematika Moral di Barat

  Dalam masyarakat yang mengusung sekulerisme dan pluralisme, agama tidak memiliki wewenang untuk menentukan standar nilai (baik dan buruk tidak ditentukan oleh agama). Argumentasinya, nilai kebaikan dalam satu agama berbeda dengan agama yang lain.

  Misalnya dalam agama Katolik atau Budha, pernikahan bagi pastor / biksu merupakan hal yang tercela dan dilarang. Sementara dalam agama Islam, menikah adalah salah satu jalan mencari pahala / keridhoan Allah, berlaku untuk siapapun termasuk ustadz dan kyai.

  Seseorang yang meyakini bahwa pernikahan bisa mengganggu ibadah pasti akan menolak keyakinan yang menganggap pernikahan sebagai ibadah. Jika negara mengadopsi standar nilai dari salah satu agama, bisa saja berarti negara menolak kebenaran dari agama lainnya.

  Jika standar nilai agama ditolak, maka apa yang layak dijadikan standar? Mencuri itu benar atau salah? Jika salah, maka apa yang dilakukan oleh situs Wikileaks, yakni mencuri dokumen-dokumen kejahatan perang dan membongkar kekejaman para penguasa jahat dunia ini merupakan keburukan dan harus kita kecam.

  Tapi, bukankah pencurian dokumen ini bisa menghentikan kekejaman penguasa jahat dan menyelamatkan banyak jiwa? Di sinilah masyarakat Barat menghadapi dilemma dalam menentukan apa yang disebut benar dan salah, baik dan buruk.

  Isaiah Berlin, salah seorang pemikir Barat modern menulis: Value may clash ini within the breast of a single individual… both liberty and equality.

Are among the primary goals pursued by human beings through many centuries. But total

Liberty for the wolves is death to the lambs. These collisions of value are the essence of

What they are…some among the great goods cannot live together. (1990: 12)

   [Arti: Moral bisa saling bertentangan dalam diri seseorang. Kebebasan dan persamaan hak merupakan kebaikan telah diperjuangkan selama berabad-abad. Tapi kebebasan bagi serigala adalah kematian bagi kambing. Perang moral inilah esensi dari moral itu sendiri. Beberapa kebaikan memang tidak bisa hidup berdampingan.]

   Ungkapan Berlin ini mencerminkan kebingungan yang dialami pada Cendekiawan Barat. Alih-alih menyadari kesalahannya, Barat malah menganggap kebingungan ini sebagai proses pendewasaan diri.

   Jikapun ada kebaikan yang harus dikorbankan demi mencapai kebaikan yang lain, itu adalah hal yang tidak mungkin dihindari. Itulah mengapa membunuh ribuan warga sipil Irak dianggap benar, membantai warga Palestina juga bisa dianggap benar.

   Maka, Barat menyimpulkan bahwa pendidikan karakter itu bukanlah untuk menanamkan nilai tertentu, tetapi untuk mengajari siswa bagaimana menemukan standar nilai untuk dirinya sendiri (sesuai dengan kepribadian dan kondisinya masing-masing).

   Remaja yang berzina karena pengaruh lingkungannya bukanlah remaja yang berkarakter. Namun dia yang melakukannya setelah menimbang baik buruknya secara matang (menurut standar / keyakinan yang dipilihnya sendiri) dan siap dengan segala resikonya dianggap sebagai remaja yang berkarakter.

   Dengan demikian, kita harus sangat waspada dengan metode pendidikan karakter yang diajarkan di Universitas Barat. Bagi umat Islam, standar baik dan buruk sudah jelas, yakni menurut apa yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.

   Anak-anak Muslim tidak perlu mencari-cari nilai lagi. Yang diperlukan adalah menanamkan nilai-nilai Islam dan mengokohkan akidah Islam agar keyakinan anak-anak kita terhadap kebenaran Islam tidak mudah di goyahkan.

Demikian sedikit masukan dari saya. Semoga bisa menjadi bahan pertimbangan.


*****


Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 105 Tanggal 16 Shafar – 1 Rabiul Awwal 1432 / 21 Januari – 4 Februari 2011 M, Hal 19

No comments