Konsep Pendidikan Agama
Konsep Pendidikan Agama
Selasa, 08 Februari 2011 / 5 Rabiul Awwal 1432Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi mengapa perilaku tidak terpuji marak di mana-mana? Adakah keterkaitannya dengan pendidikan agama yang salah? Bagaimana seharusnya?
Wassalam
Umi-Jakarta
Umi-Jakarta
Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam perspektif Barat, agama biasa didefinisikan sebagai sistem pemikiran yang berkaitan dengan hal-hal supernatural, suci dan seringkali irasional (tidak bisa dinalar). Di dalamnya, ada nilai-nilai, tradisi, dan kegiatan ritual.
Berangkat dari definisi tersebut, pendidikan agama (menurut Barat) mencangkup 3 aspek: Ilmu pengetahuan tentang agama, Keyakinan spiritual dan Praktik ritual keagamaan. Keyakinan spiritual, dalam perspektif ini, akan memberikan semangat bagi manusia untuk mencapai kedewasaan sehingga dia sanggup menjadi warga dunia yang bertanggung jawab dan terhormat, serta berperilaku untuk kebaikan bersama.
Dengan kerangka berpikir seperti ini maka pendidikan agama difungsikan untuk membantu siswa menyelesaikan masalah-masalah spiritualitas dan moral. Selain itu, agama di luar Islam, tidak memiliki otoritas wahyu sehingga nilai-nilai agama dan moral sesungguhnya lahir dari pemikiran manusia itu sendiri.
Baik secara individu maupun kolektif. Karena itulah, sistem nilai/moral dalam agama di luar Islam merupakan sistem yang fleksibel, bergerak mengikuti perubahan jaman, dengan segala kerusakannya.
Berbeda dengan cara pandang Barat, para Ulama Islam tidak menganggap pelajaran agama sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Menurut Muhammad Abduh, pendidikan (secara umum) haruslah bersandar kepada agama sehingga seluruh aspek pendidikan harus disusun dalam bingkai ajaran Islam.
Baginya, penguasaan sisi teknis dari sains dan teknologi modern sangat penting, tetapi tanpa bimbingan agama maka ilmu-ilmu tersebut tidak akan memberikan perlindungan dan keselamatan bagi kemanusiaan.
Oleh karenanya, menurut Muhammad Abduh, tugas pendidikan agama adalah untuk mengembalikan prinsip-prinsip dasar agama (akidah Islam) kepada para siswa, dan hal-hal lain yang diajarkan selama masa kenabian.
Untuk memahami prinsip-prinsip Islam diperlukan pemikiran dan daya nalar yang baik sehingga pendidikan agama (seharusnya) merupakan pendidikan intelektualitas dan pengembangan daya nalar.
Hassan Al Banna berpendapat bahwa pendidikan agama tidak dibatasi pada pengajaran tentang prinsip-prinsip agama, namun merupakan proses politik, sosial dan budaya. Artinya, pendidikan itu sendiri adalah persoalan agama, meliputi segala segi kehidupan, spiritualitas, sosial, politik, budaya dan sains.
Pendidikan agama memang selalu mendominasi pemikiran para pakar pendidikan Islam. Al Farabi menyatakan bahwa kemuliaan hanya dapat dicapai melalui pendidikan agama. Pada agamalah terdapat nilai-nilai kebaikan dan kesesuaian dengan nilai-nilai rasional karena nilai-nilai agama dan moral hanya bisa dicapai oleh mereka yang memiliki daya nalar yang baik.
Menurut Ibn Sina, tujuan pendidikan agama adalah penanaman karakter baik dan penghancuran karakter jelek. Karakter, menurut Al Ghazali adalah perilaku yang muncul secara otomatis dan tanpa memerlukan pemikiran/perenungan.
Seseorang dikatakan berkarakter baik apabila perilakunya telah secara otomatis sesuai dengan syariah. Karakter bisa dibina dengan memberikan pendidikan agama yang benar, sebab kebaikan hanya muncul dari ilmu sejati, dan ilmu sejati hanya bisa dicapai melalui pendidikan agama.
Hal senada juga diyakini oleh Ibn Miskawayh. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah pembinaan moral yang diajarkan agama (bukan moral hasil pemikiran manusia sebagaimana keyakinan Barat).
Dari paparan di atas, bisa kita lihat bahwa pendidikan agama yang berlaku selama ini di Indonesia ternyata menggunakan konsep Barat. Pendidikan agama meliputi 3 aspek saja, yakni pengetahuan agama, spiritualitas, dan praktik ritual.
Pendidikan agama yang semestinya haruslah mampu mengembangkan daya nalar dan kecerdasan, serta membina karakter baik, yakni nilai-nilai yang diajarkan Islam. Pendidikan agama juga tidak dibatasi pada materi-materi pengetahuan tentang agama, tetapi harus dikembangkan dalam materi-materi umum lantaran Islam memiliki sistem nilai pada setiap aspek kehidupan.
Pendidikan agama yang tidak disertai pengembangan kecerdasan dan rasionalitas akan melemahkan akidah, dan pada akhirnya melemahkan keterikatan umat Islam kepada ajaran Islam.
Jika sudah demikian, maka tidak ada yang tersisa dari pendidikan agama Islam, kecuali sejumpit pengetahuan tentang agama dan praktik ritualnya.
Dalam perspektif Barat, agama biasa didefinisikan sebagai sistem pemikiran yang berkaitan dengan hal-hal supernatural, suci dan seringkali irasional (tidak bisa dinalar). Di dalamnya, ada nilai-nilai, tradisi, dan kegiatan ritual.
Berangkat dari definisi tersebut, pendidikan agama (menurut Barat) mencangkup 3 aspek: Ilmu pengetahuan tentang agama, Keyakinan spiritual dan Praktik ritual keagamaan. Keyakinan spiritual, dalam perspektif ini, akan memberikan semangat bagi manusia untuk mencapai kedewasaan sehingga dia sanggup menjadi warga dunia yang bertanggung jawab dan terhormat, serta berperilaku untuk kebaikan bersama.
Dengan kerangka berpikir seperti ini maka pendidikan agama difungsikan untuk membantu siswa menyelesaikan masalah-masalah spiritualitas dan moral. Selain itu, agama di luar Islam, tidak memiliki otoritas wahyu sehingga nilai-nilai agama dan moral sesungguhnya lahir dari pemikiran manusia itu sendiri.
Baik secara individu maupun kolektif. Karena itulah, sistem nilai/moral dalam agama di luar Islam merupakan sistem yang fleksibel, bergerak mengikuti perubahan jaman, dengan segala kerusakannya.
Berbeda dengan cara pandang Barat, para Ulama Islam tidak menganggap pelajaran agama sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Menurut Muhammad Abduh, pendidikan (secara umum) haruslah bersandar kepada agama sehingga seluruh aspek pendidikan harus disusun dalam bingkai ajaran Islam.
Baginya, penguasaan sisi teknis dari sains dan teknologi modern sangat penting, tetapi tanpa bimbingan agama maka ilmu-ilmu tersebut tidak akan memberikan perlindungan dan keselamatan bagi kemanusiaan.
Oleh karenanya, menurut Muhammad Abduh, tugas pendidikan agama adalah untuk mengembalikan prinsip-prinsip dasar agama (akidah Islam) kepada para siswa, dan hal-hal lain yang diajarkan selama masa kenabian.
Untuk memahami prinsip-prinsip Islam diperlukan pemikiran dan daya nalar yang baik sehingga pendidikan agama (seharusnya) merupakan pendidikan intelektualitas dan pengembangan daya nalar.
Hassan Al Banna berpendapat bahwa pendidikan agama tidak dibatasi pada pengajaran tentang prinsip-prinsip agama, namun merupakan proses politik, sosial dan budaya. Artinya, pendidikan itu sendiri adalah persoalan agama, meliputi segala segi kehidupan, spiritualitas, sosial, politik, budaya dan sains.
Pendidikan agama memang selalu mendominasi pemikiran para pakar pendidikan Islam. Al Farabi menyatakan bahwa kemuliaan hanya dapat dicapai melalui pendidikan agama. Pada agamalah terdapat nilai-nilai kebaikan dan kesesuaian dengan nilai-nilai rasional karena nilai-nilai agama dan moral hanya bisa dicapai oleh mereka yang memiliki daya nalar yang baik.
Menurut Ibn Sina, tujuan pendidikan agama adalah penanaman karakter baik dan penghancuran karakter jelek. Karakter, menurut Al Ghazali adalah perilaku yang muncul secara otomatis dan tanpa memerlukan pemikiran/perenungan.
Seseorang dikatakan berkarakter baik apabila perilakunya telah secara otomatis sesuai dengan syariah. Karakter bisa dibina dengan memberikan pendidikan agama yang benar, sebab kebaikan hanya muncul dari ilmu sejati, dan ilmu sejati hanya bisa dicapai melalui pendidikan agama.
Hal senada juga diyakini oleh Ibn Miskawayh. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah pembinaan moral yang diajarkan agama (bukan moral hasil pemikiran manusia sebagaimana keyakinan Barat).
Dari paparan di atas, bisa kita lihat bahwa pendidikan agama yang berlaku selama ini di Indonesia ternyata menggunakan konsep Barat. Pendidikan agama meliputi 3 aspek saja, yakni pengetahuan agama, spiritualitas, dan praktik ritual.
Pendidikan agama yang semestinya haruslah mampu mengembangkan daya nalar dan kecerdasan, serta membina karakter baik, yakni nilai-nilai yang diajarkan Islam. Pendidikan agama juga tidak dibatasi pada materi-materi pengetahuan tentang agama, tetapi harus dikembangkan dalam materi-materi umum lantaran Islam memiliki sistem nilai pada setiap aspek kehidupan.
Pendidikan agama yang tidak disertai pengembangan kecerdasan dan rasionalitas akan melemahkan akidah, dan pada akhirnya melemahkan keterikatan umat Islam kepada ajaran Islam.
Jika sudah demikian, maka tidak ada yang tersisa dari pendidikan agama Islam, kecuali sejumpit pengetahuan tentang agama dan praktik ritualnya.
****
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 104 Tanggal 2 - 16 Shafar 1432 / 7 - 21 Januari 2011 M, Hal 19
No comments