Peran Ayah Dalam Pendidikan Anak
Selasa, 19 April 2011 / 15 Jumadil Awwal 1432
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya mohon penjelasan mengenai tanggung jawab ayah dalam pendidikan putra-putrinya. Apakah sebatas mencukupi materi dan memilih istri yang bisa mendidik anak-anak ataukah seharusnya ikut terlibat langsung?
Atas jawaban dari Ibu, saya ucapkan terima kasih.
Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh
Ibu Annisa yang dimuliakan Allah, untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak ibu untuk melihat praktek pendidikan kaum Muslimin dan para Ulama pendahulu kita, terutama bagaimana Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW berpesan mengenai masalah ini.
Saya awali dengan Firman Allah dalam QS. Luqman (31) ayat 13:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS.Luqman (31: 13)
Ayat ini bersama dengan ayat-ayat serupa (al Baqarah 132, Yusuf 67) bercerita tentang para ayah (Luqman, Nabi Ya’kub dan Nabi Ibrahim) yang sedang mendidik anak-anaknya.
Ternyata, proses pendidikan (dalam keluarga) yang digambarkan melalui Al Qur’an dilakukan oleh para ayah. Tidak ada satu ayat pun yang memotret momen pendidikan dari para ibu, kecuali adanya perintah menyusui (tanpa menafikan tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda; “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah”.
Nabi pun mencontohkan, bahkan ketika beliau sedang disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (atau kaum perempuan) untuk menjaga kedua cucunya yang masih kanak-kanak; Hasan dan Husain.
Bagi Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik, termasuk ketika beliau sedang shalat.
Keterlibatan Ayah dalam pendidikan anak memenuhi gambaran sejarah Islam. Dalam buku al Muhaddithat the women shcholars ini Islam, Mohammad Akram Nadwi memberikan banyak contoh bagaimana para Ulama kita menyediakan waktu untuk pendidikan putri-putrinya sebagaimana mereka meluangkan waktu untuk tugas-tugas lainnya.
Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah al Baghdadi (350 H), misalnya senantiasa memantau pendidikan putrinya ; Amat as Salam (Ummu al Fath, 390 H) di tengah kesibukannya sebagai hakim. Di riwayatkan oleh al ‘Atiqi hafalan hadits Amat as Salam bahkan selalu dicatat oleh sang ayah.
Syaikhul Islam Abu Abbas Ahmad bin Abdillah al Maghribi al Fasi (560 H) juga tercatat mengajari putrinya 7 (tujuh) cara baca Al Qur’an, serta buku-buku hadits seperti Bukhari dan Muslim.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa beliau terlalu sibuk dengan dakwah sehingga tidak pernah punya waktu untuk putrinya, namun hal ini dibantah oleh Imam al Dhahabi yang mengatakan bahwa sulit dipercaya jika ada Ulama yang berperilaku seperti ini, sebab “perbuatan seperti ini merupakan keburukan yang bertentangan dengan ajaran Nabi SAW. Sang teladan bagi umat manusia ini biasa menggendong cucunya bahkan ketika sedang shalat”.
Contoh lain bisa kita dapati dari riwayat pakar pendidikan Islam; Ibnu Sahnun (256 H). Disebutkannya, Hakim Isa bin Miskin selalu memanggil dua putrinya setelah shalat Ashar untuk di ajari al Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya.
Demikian pula dengan Asad bin al Furat, panglima perang yang menaklukkan kota Sicily, ternyata juga mendidik sendiri putrinya. Nama lain yang tercatat dalam sejarah adalah Syaikh al Qurra, Abu Dawud Sulayman bin Abi Qasim al Andalusi (496 H) dan Imam ‘Ala al din al Samarqandi (539 H).
Dari beberapa contoh di atas bisa kita lihat, bahkan untuk pendidikan anak perempuan sekalipun, para ulama tidak melemparkan tanggung jawab kepada istri-istrinya.
Begitu intensifnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, hingga tatkala menjelang sakaratul maut pun, seorang ayah yang baik memastikan sejauh mana keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya dengan bertanya kepada mereka; “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (maa ta’buduuna min ba’dii, al Baqarah 133).
Sungguh berbeda dengan kondisi masyarakat kita yang seakan-akan membebankan semua urusan anak-anak kepada para istri, dan menghabiskan waktunya untuk urusan di luar rumah.
Seorang dokter yang sangat sibuk ternyata bisa dengan antusias mendidik para mahasiswa kedokterannya dan bahkan berceramah keliling nusantara, namun bagaimana mungkin dia menjadi begitu loyo dan beralasan tidak punya waktu ketika harus mendidik anak-anaknya sendiri?
Tidak mengherankan jika kenakalan remaja dan kerusakan generasi menjadi kian parah, sebab para ayah hebat kita pengacara terkenal, hakim agung, pengusaha sukses, termasuk beberapa ustadz yang luar biasa dalam dakwah terlalu sibuk mendidik orang lain dan menyepelekan kewajiban untuk mendidik anak-anaknya.
Semoga paparan saya ini bisa menjawab pertanyaan Ibu.
*****
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 106 Tanggal 1 - 15 Rabiul Awwal 1432 / 4 - 18 Februari 2011 M, Hal 19
No comments