Problematika Sekolah Di Amerika
Selasa, 18 Januari 2011 / 14 Safar 1432
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Teman saya mengajak menonton film dokumenter “Waiting for Superman” yakni tentang problematika dunia persekolahan di Amerika Serikat. Terus terang Bahasa Inggrisnya agak sulit lantaran tidak ada terjemahannya.
Apakah Bu Erma sudah menyaksikan? Jika sudah, sudikah Ibu berbagi isi film tersebut dan memberikan sedikit komentar? Terima kasih
Dinda – Jakarta
Wa’alaykum salam Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan menyaksikan film dokumenter tersebut. Pada dasarnya, film ini bercerita tentang kondisi public school (sekolah negeri) di Amerika Serikat.
Secara fisik, public school di US memiliki fasilitas yang luar biasa, terutama jika dibandingkan dengan kondisi sekolah negeri di Indonesia. Beberapa fasilitas tersebut antara lain: bis sekolah gratis yang bersih dan nyaman, buku diktat berkualitas dan gratis, gedung kokoh lengkap dengan AC untuk musim panas dan heater untuk musim dingin, perpustakaan, dan pada beberapa sekolah, anak-anak mendapatkan sarapan dan makan siang gratis.
Artinya, ketika disebutkan bahwa public school itu gratis, maka orang tua benar-benar tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Tidak ada uang kursi, tidak ada uang cek kesehatan, tidak ada biaya buku, tidak perlu beli seragam, tidak ada biaya ujian, tidak pula uang ekstrakurikuler.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia yang menjadikan “sekolah gratis” sebatas jargon politik. Kenyataannya, hanya SPP yang gratis, sementara orang tua tetap harus membayar uang kursi / uang pangkal, uang buku, uang seragam dan pengeluaran-pengeluaran lainnya.
Jika demikian, lalu pada masalahnya? Waiting for Superman menggambarkan bahwa masalah pendidikan di Amerika terletak pada SDMnya.
Pertama, angka putus sekolah yang tinggi. Kedua, kemampuan akademik yang rendah, terbukti dari tingginya prosentase kegagalan pada tes Reading dan Matematika. Ketiga, guru yang tidak professional.
Hal pertama dan kedua terjadi akibat motivasi bersekolah yang rendah. Tanpa sekolah pun, rakyat US bisa memenuhi kebutuhan pokok, sebab ada banyak program untuk rakyat miskin dari pemerintah, seperti jaminan kesehatan gratis, kupon-kupon makanan, serta rumah susun gratis.
Jika rakyat Indonesia bekerja untuk hidup, maka rakyat Amerika bekerja untuk membeli kesenangan: untuk pesta ke bar, beli mobil, shopping, dsb. Motivasi sekolah yang rendah juga dipicu oleh faktor lingkungan yang buruk, yakni pergaulan bebas, narkoba, gank, dan tindak kriminalitas lainnya.
Banyak anak yang putus sekolah karena masuk penjara, narkoba atau punya bayi dari pergaulan bebas.
Masalah ketiga adalah guru yang malas. Di bawah Serikat Guru, pemerintah terikat kontrak untuk tidak memecat guru yang sudah mengabdi selama 10 tahun. Akibatnya, guru-guru senior kehilangan motivasi mengajar.
Kondisi yang serupa dengan PNS di Indonesia ini memang tidak terjadi di semua sekolah. Beberapa sekolah bisa mempertahankan kualitas pendidikannya; bisa jadi karena memiliki pimpinan / guru yang idealis atau guru-gurunya belum bekerja 10 tahun sehingga merasa aman.
Akibatnya, sekolah ini menjadi rebutan. Namun, dikarenakan jumlah kursinya yang terbatas, maka hukum Amerika menetapkan bahwa sekolah tersebut boleh memilih siswanya berdasarkan undian.
Sekolah tidak memilih siswa berdasarkan tes untuk mendudukkan sekolah pada fungsinya, yakni mencerdaskan anak, bukan memilih anak-anak yang sudah cerdas. Sekolah juga tidak bisa memilih siswa berdasarkan besaran uang pangkal yang disetorkan.
Undian dilakukan secara terbuka, dihadiri oleh semua calon siswa dan orang tuanya. Mereka yang tidak terpilih harus puas dengan sekolah negeri lain yang mayoritas buruk atau merogoh kocek untuk mengirimkan anak ke sekolah swasta.
Di balik “kehebatannya”, ternyata dunia pendidikan Amerika sangat keropos. Jika Indonesia memiliki jurang pemisah yang luar biasa antara si kaya dan si miskin, maka Amerika memiliki jurang pemisah antara si pandai dan si bodoh.
Akibatnya, banyak pos pekerjaan yang harus diisi oleh imigran asing. Inilah salah satu yang mereka kuatirkan sehingga mereka berupaya keras memperbaiki kondisi pendidikannya.
Salah satunya adalah menghapus sistem yang menyuburkan kemalasan para guru, dengan menawarkan motivasi uang yang lebih besar. Akankah berhasil? Dan bagaimana pula Amerika hendak memotivasi rakyatnya agar tidak putus sekolah?
Pelajaran yang bisa kita petik adalah fasilitas fisik sebaik apapun jika tidak dilandasi oleh motivasi yang benar maka tidak bisa menyelesaikan masalah dengan baik. Umat Islam sudah memiliki apa yang tidak mereka miliki, yakni motivasi untuk beribadah kepada Allah, sehingga Insya Allah kita bisa dengan mengungguli bangsa lain.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 103 Tanggal 11 Muharram – 2 Shafar 1432 / 17 Desember 2010 – 7 Januari 2011 M, Hal 19
No comments