[Tafsir] At Taubah ayat 23
Menolak Pemimpin Sekuler
Selasa, 06 Nopember 2012/21 Zulhijjah 1433 Hيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan
saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. At Taubah (9): 23 )
Setiap menjelang Pemilu, pilpres, dan Pilkada, suhu perpolitikan selalu meningkat. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin berkuasa. Karena demokrasi mengharuskan suara terbanyak sebagai pemenang, upaya membujuk pemilih pun gencar dilakukan.
Mulai memasang gambar dan slogan di jalan-jalan hingga memenuhi iklan di televisi. Semuanya menjanjikan perbaikkan kehidupan bagi rakyat. Seolah, semua masalah bisa selesai ketika mereka berkuasa.
Kendati obral janji itu tak pernah menjadi kenyataan, anehnya masih ada saja yang tertipu. Juga belum membersitkan kesadaran bahwa banyak orang bahwa yang bermasalah dalam kepimpinan di negeri ini bukan hanya person, namun juga ideologi yang diterapkan, yakni Sekularisme-Kapitalisme-Liberalisme.
Karena ideologinya bobrok, siapa pun yang memimpin akan mengalami nasib yang sama, yakni kegagalan.
Sebenarnya kaidah dalam kepemimpinan baik sistem maupun pemimpinnya dalam Islam sudah jelas. Syariah adalah system yang mutlak harus dijalankan; pemimpin yang harus dipilih juga yang taat terhadap syariah.
Dalam istilah fiqh dikenal dengan istilah ‘adil, kebalikan dari fasiq. Orang fasiq adalah orang yang gemar melakukan perbuatan maksiat. Orang seperti itu tidak boleh dipilih menjadi pemimpin. Terlebih jika mencintai kekufuran daripada Islam.
Berkenaan dengan larangan tersebut dapat dijumpai dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya adalah Firman Allah SWT dalam At Taubah ayat 23.
Pilih Kufur, Tidak Boleh Diangkat Jadi WaliSetiap menjelang Pemilu, pilpres, dan Pilkada, suhu perpolitikan selalu meningkat. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin berkuasa. Karena demokrasi mengharuskan suara terbanyak sebagai pemenang, upaya membujuk pemilih pun gencar dilakukan.
Mulai memasang gambar dan slogan di jalan-jalan hingga memenuhi iklan di televisi. Semuanya menjanjikan perbaikkan kehidupan bagi rakyat. Seolah, semua masalah bisa selesai ketika mereka berkuasa.
Kendati obral janji itu tak pernah menjadi kenyataan, anehnya masih ada saja yang tertipu. Juga belum membersitkan kesadaran bahwa banyak orang bahwa yang bermasalah dalam kepimpinan di negeri ini bukan hanya person, namun juga ideologi yang diterapkan, yakni Sekularisme-Kapitalisme-Liberalisme.
Karena ideologinya bobrok, siapa pun yang memimpin akan mengalami nasib yang sama, yakni kegagalan.
Sebenarnya kaidah dalam kepemimpinan baik sistem maupun pemimpinnya dalam Islam sudah jelas. Syariah adalah system yang mutlak harus dijalankan; pemimpin yang harus dipilih juga yang taat terhadap syariah.
Dalam istilah fiqh dikenal dengan istilah ‘adil, kebalikan dari fasiq. Orang fasiq adalah orang yang gemar melakukan perbuatan maksiat. Orang seperti itu tidak boleh dipilih menjadi pemimpin. Terlebih jika mencintai kekufuran daripada Islam.
Berkenaan dengan larangan tersebut dapat dijumpai dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya adalah Firman Allah SWT dalam At Taubah ayat 23.
Allah SWT Berfirman: Ya ayyuha al-ladzina amanu la tattakhidzu abaakum wa ikhwanakum awliyaa (hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu).
Ada beberapa riwayat mengenai sabab al nuzhul ayat ini. Al Khazin dan al Baghawi dalam tafsir mereka mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas yang menyatakan: Ketika Nabi SAW memerintahkan orang-orang untuk berhijrah, di antara mereka yang memiliki hubungan dengan keluarga dan anak-anak berkata;
“Kami menyumpah engkau agar engkau tidak menelantarkan kami”. Lalu mereka berkasih sayang dan tinggal bersama. Mereka pun tidak pergi berhijrah. Kemudian turunlah ayat ini.
Di samping itu, keduanya juga menukil riwayat Muqatil yang berkata; “Ayat ini turun berkenaan dengan sembilan orang yang murtad dari Islam dan kembali bergabung dengan kaum Musyrik di Makkah. Kemudian Allah SWT melarang kaum Mukmin menjadikan mereka sebagai wali”.
Patut ditegaskan, kendati sabab al-nuzulnya begitu, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani dalam Fath al Qadir, seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin secara keseluruhan. Dengan demikian, ayat ini berlaku untuk seluruh kaum Mukmin.
Kata al-awliya’ merupakan bentuk jamak dari kata al-waliyy. Menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, kata al-waliyy digunakan untuk menunjukkan kedekatan antara dua pihak atau lebih, baik dari segi tempat, segi nasab, segi agama, maupun segi pertemanan, pertolongan, dan keyakinan.
Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawai’ al-Bayan memaparkan, al-waliyy secara bahasa bermakna al nashir wa al-mu’in (Penolong dan pembantu).
Dalam ayat ini ditegaskan, kaum Mukmin dilarang mengangkat bapak atau saudara mereka sebagai al waliyy. Larangan tersebut berlaku apabila orang dekat mereka itu lebih memilih kekufuran. Allah SWT berfirman: in stahabbu al-kufr ‘ala al-iman (jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan).
Al-Samarqandi dan al-Baghawi memaknai istahabbu dengan ikhtaru (memilih). Artinya, mereka lebih memilih kekufuran daripada keimanan. Terhadap orang tua dan saudara semacam itu, Islam bersikap tegas: Mereka tidak boleh diangkat sebagai waliyy.
Dalam Al Qur’an, cukup banyak ayat memberikan ketentuan serupa. Seperti Firman Allah SWT:
Ada beberapa riwayat mengenai sabab al nuzhul ayat ini. Al Khazin dan al Baghawi dalam tafsir mereka mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas yang menyatakan: Ketika Nabi SAW memerintahkan orang-orang untuk berhijrah, di antara mereka yang memiliki hubungan dengan keluarga dan anak-anak berkata;
“Kami menyumpah engkau agar engkau tidak menelantarkan kami”. Lalu mereka berkasih sayang dan tinggal bersama. Mereka pun tidak pergi berhijrah. Kemudian turunlah ayat ini.
Di samping itu, keduanya juga menukil riwayat Muqatil yang berkata; “Ayat ini turun berkenaan dengan sembilan orang yang murtad dari Islam dan kembali bergabung dengan kaum Musyrik di Makkah. Kemudian Allah SWT melarang kaum Mukmin menjadikan mereka sebagai wali”.
Patut ditegaskan, kendati sabab al-nuzulnya begitu, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani dalam Fath al Qadir, seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin secara keseluruhan. Dengan demikian, ayat ini berlaku untuk seluruh kaum Mukmin.
Kata al-awliya’ merupakan bentuk jamak dari kata al-waliyy. Menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, kata al-waliyy digunakan untuk menunjukkan kedekatan antara dua pihak atau lebih, baik dari segi tempat, segi nasab, segi agama, maupun segi pertemanan, pertolongan, dan keyakinan.
Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawai’ al-Bayan memaparkan, al-waliyy secara bahasa bermakna al nashir wa al-mu’in (Penolong dan pembantu).
Dalam ayat ini ditegaskan, kaum Mukmin dilarang mengangkat bapak atau saudara mereka sebagai al waliyy. Larangan tersebut berlaku apabila orang dekat mereka itu lebih memilih kekufuran. Allah SWT berfirman: in stahabbu al-kufr ‘ala al-iman (jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan).
Al-Samarqandi dan al-Baghawi memaknai istahabbu dengan ikhtaru (memilih). Artinya, mereka lebih memilih kekufuran daripada keimanan. Terhadap orang tua dan saudara semacam itu, Islam bersikap tegas: Mereka tidak boleh diangkat sebagai waliyy.
Dalam Al Qur’an, cukup banyak ayat memberikan ketentuan serupa. Seperti Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali [368] dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”(QS. An Nisaa (4) : 144)
[368] Wali jamaknya auliyaa : berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong.
Ayat itu memberikan larangan yang tegas. Ancaman siksa Allah bagi orang yang tetap melanggar ketentuanNya menjadi qarinah yang amat jelas. Demikian juga di dalam beberapa ayat lainnya.
Di dalam Surat Ali Imran [3]: ayat 28, dinyatakan bahwa orang yang mengangkat kaum kafir sebagai wali sebagai orang yang terlepas dari pertolongan Allah. Di dalam Surat Al Maidah [5] ayat 51; orang-orang yang bersikukuh menjadikan kaum Yahudi dan kaum Nasrani sebagai wali disebut fainnahu minhum(Maka mereka termasuk dalam golongan mereka).
Semua itu menjadi qarinah yang jelas dan pasti bahwa larangan mengangkat kaum kafir sebagai wali itu sampai derajat haram.
Menurut Fakhruddin al Razi, ayat ini menjadi jawaban bagi syubhat ketika ada yang menyatakan bahwa berlepas diri dengan kaum kafir adalah sesuatu yang tidak mungkin. Alasannya, ada seorang Muslim yang bapaknya kafir; seorang kafir yang bapak atau saudaranya kafir.
Realitas ini bisa menjadi uzur untuk melaksanakannya. Maka dalam ayat ini, Allah SWT menghilangkan syubhat tersebut. Sekalipun mereka adalah bapak atau saudara, ketentuan itu tetap berlaku. Tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk melanggarnya.
Serupa dengan ayat ini adalah Firman Allah SWT:[368] Wali jamaknya auliyaa : berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong.
Ayat itu memberikan larangan yang tegas. Ancaman siksa Allah bagi orang yang tetap melanggar ketentuanNya menjadi qarinah yang amat jelas. Demikian juga di dalam beberapa ayat lainnya.
Di dalam Surat Ali Imran [3]: ayat 28, dinyatakan bahwa orang yang mengangkat kaum kafir sebagai wali sebagai orang yang terlepas dari pertolongan Allah. Di dalam Surat Al Maidah [5] ayat 51; orang-orang yang bersikukuh menjadikan kaum Yahudi dan kaum Nasrani sebagai wali disebut fainnahu minhum(Maka mereka termasuk dalam golongan mereka).
Semua itu menjadi qarinah yang jelas dan pasti bahwa larangan mengangkat kaum kafir sebagai wali itu sampai derajat haram.
Menurut Fakhruddin al Razi, ayat ini menjadi jawaban bagi syubhat ketika ada yang menyatakan bahwa berlepas diri dengan kaum kafir adalah sesuatu yang tidak mungkin. Alasannya, ada seorang Muslim yang bapaknya kafir; seorang kafir yang bapak atau saudaranya kafir.
Realitas ini bisa menjadi uzur untuk melaksanakannya. Maka dalam ayat ini, Allah SWT menghilangkan syubhat tersebut. Sekalipun mereka adalah bapak atau saudara, ketentuan itu tetap berlaku. Tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk melanggarnya.
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kamu tak
akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang
telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan [1463]
yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah
ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (QS. Al Mujaadila (58): 22 )
[1463] Yang dimaksud dengan "pertolongan" ialah kemauan bathin, kebersihan hati, kemenangan terhadap musuh dan lain lain.
Ayat-ayat ini menunjukkan, ikatan yang shahih adalah ikatan yang didasarkan kepada Islam, bukan kepada sukuisme, nasionalisme, kepentingan, maupun ideologi-ideologi selain Islam.
Termasuk Perbuatan Dzalim[1463] Yang dimaksud dengan "pertolongan" ialah kemauan bathin, kebersihan hati, kemenangan terhadap musuh dan lain lain.
Ayat-ayat ini menunjukkan, ikatan yang shahih adalah ikatan yang didasarkan kepada Islam, bukan kepada sukuisme, nasionalisme, kepentingan, maupun ideologi-ideologi selain Islam.
Selanjutnya Allah SWT mencela orang-orang yang melanggar larangan-Nya. Allah SWT Berfirman: Wa man yatwallahum minkum faulaika hum al-zhalimun (dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim).
Secara bahasa, kata al-zhulm berarti wadh’al-syay’fi ghayri mawdhi’hi(menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). Demikian penjelasan Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab. Perbuatan menjadikan orang-orang yang lebih memilih kekufuran daripada Islam sebagai wali jelas dapat dikatakan zalim.
Sebab, ketika mereka lebih memilih kekufuran, mereka akan menolak Islam. Apalagi terhadap penerapan syariah dalam kehidupan.
Karena lebih memilih kekufuran, mereka tak akan ridha jika Islam dan pengembannya berkuasa. Sebaliknya, mereka akan merasa senang jika Islam dilecehkan dan direndahkan; umatnya dengan mudah dapat dipecundangi.
Dalam QS al-Baqarah [2]: 217 diberitakan, kaum Musyrik senantiasa memerangi kaum Muslim hingga murtad dari agamanya. Sementara kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana dinyatakan dalam QS al Baqarah [2]: 120 tidak akan merasa senang kepada kaum Muslim hingga mengikuti agama mereka.
Semua itu menunjukkan bahwa mereka telah memposisikan diri mereka sebagai musuh Islam. Sudah sepatutnya kaum Muslim memperlakukan mereka sebagai musuh. Apabila tidak, terlebih mengangkat mereka sebagai pemimpin berarti telah menempatkan kaum kafir itu tidak pada tempatnya. Pantaslah jika pelakunya disebut ayat ini sebagai orang-orang yang zalim.
Selain ayat ini, penyebutan zhalim atas tindakan tersebut juga disampaikan dalam Firman Allah SWT:
Secara bahasa, kata al-zhulm berarti wadh’al-syay’fi ghayri mawdhi’hi(menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). Demikian penjelasan Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab. Perbuatan menjadikan orang-orang yang lebih memilih kekufuran daripada Islam sebagai wali jelas dapat dikatakan zalim.
Sebab, ketika mereka lebih memilih kekufuran, mereka akan menolak Islam. Apalagi terhadap penerapan syariah dalam kehidupan.
Karena lebih memilih kekufuran, mereka tak akan ridha jika Islam dan pengembannya berkuasa. Sebaliknya, mereka akan merasa senang jika Islam dilecehkan dan direndahkan; umatnya dengan mudah dapat dipecundangi.
Dalam QS al-Baqarah [2]: 217 diberitakan, kaum Musyrik senantiasa memerangi kaum Muslim hingga murtad dari agamanya. Sementara kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana dinyatakan dalam QS al Baqarah [2]: 120 tidak akan merasa senang kepada kaum Muslim hingga mengikuti agama mereka.
Semua itu menunjukkan bahwa mereka telah memposisikan diri mereka sebagai musuh Islam. Sudah sepatutnya kaum Muslim memperlakukan mereka sebagai musuh. Apabila tidak, terlebih mengangkat mereka sebagai pemimpin berarti telah menempatkan kaum kafir itu tidak pada tempatnya. Pantaslah jika pelakunya disebut ayat ini sebagai orang-orang yang zalim.
Selain ayat ini, penyebutan zhalim atas tindakan tersebut juga disampaikan dalam Firman Allah SWT:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Mumtahana (60) : 9)
Adanya celaan terhadap orang yang mengangkat kaum kafir sebagai orang zhalim itu merupakan bukti jelas yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Bagi kaum Muslim, tidak ada pilihan lain kecuali taat terhadap ketentuan tersebut.
Tidak akan mengangkat kaum kafir sebagai wali sekalipun mendapat bujuk rayu, obral janji, atau kucuran uang. Jika lebih memilih ide kufur, seperti Sekularisme – Kapitalisme – Liberalisme, Pluralisme, HAM, demokrasi, dan berbagai ideologi lainnya tidak layak diplih menjadi wali, siapapun orangnya.
Adanya celaan terhadap orang yang mengangkat kaum kafir sebagai orang zhalim itu merupakan bukti jelas yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Bagi kaum Muslim, tidak ada pilihan lain kecuali taat terhadap ketentuan tersebut.
Tidak akan mengangkat kaum kafir sebagai wali sekalipun mendapat bujuk rayu, obral janji, atau kucuran uang. Jika lebih memilih ide kufur, seperti Sekularisme – Kapitalisme – Liberalisme, Pluralisme, HAM, demokrasi, dan berbagai ideologi lainnya tidak layak diplih menjadi wali, siapapun orangnya.
Turut Dimintai Pertanggungjawaban
Perlu dicamkan, di akhirat kelak kita tidak hanya dihisab atas
perbuatan yang kita kerjakan sendiri. Tetapi juga segala kejadian yang
terjadi sebagai dampak perbuatan yang kita kerjakan.
Tatkala kita memilih seseorang menjadi pemimpin, sementara kita tahu sejak awal dia menolak syariah dan lebih memilih ideologi kufur, dan setelah menjadi pemimpin – atas dukungan kita pemimpin itu menerapkan sistem kufur dalam kehidupan, kita pun akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.
Termasuk ketika para pemimpin itu menyerahkan kekayaan dan kedaulatan negaranya kepada asing; membuat kebijakan yang menindas dan menyengsarakan rakyatnya; dan membiarkan kemaksiatan dan kemungkaran kian merajalela.
Sangat adil jika para pemilihnya juga dimintai pertanggungjawaban. Sebab, seseorang tidak akan menjadi pemimpin jika tidak dipilih rakyatnya.
Tatkala kita memilih seseorang menjadi pemimpin, sementara kita tahu sejak awal dia menolak syariah dan lebih memilih ideologi kufur, dan setelah menjadi pemimpin – atas dukungan kita pemimpin itu menerapkan sistem kufur dalam kehidupan, kita pun akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.
Termasuk ketika para pemimpin itu menyerahkan kekayaan dan kedaulatan negaranya kepada asing; membuat kebijakan yang menindas dan menyengsarakan rakyatnya; dan membiarkan kemaksiatan dan kemungkaran kian merajalela.
Sangat adil jika para pemilihnya juga dimintai pertanggungjawaban. Sebab, seseorang tidak akan menjadi pemimpin jika tidak dipilih rakyatnya.
Allah SWT Berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
Sesungguhnya
Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah
mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yaa Siin (36):12)
Wahai kaum Muslim, berhati-hatilah dalam memilih pemimpin!
WaLlah a’lam bi al shawab.
Rokhmat S. Labib, M.E.I
Suara Islam Edisi 50, Tanggal 15 Agustus – 4 September 2008 M / 13 Sya’ban – 4 Ramadhan 1429 H | Hal 25
No comments