Menyuburkan Kembali Rasa Malu
Menyuburkan Kembali Rasa Malu
Rabu, 01 Mei 2013 / 20 Jumadil Akhir 1434 H
Dari Abu Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiallahuanhu, ia berkata: Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam (SAW) telah bersabda: “Sesungguhnya
di antara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama
ialah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.”(Riwayat Bukhari, no. 3483)
Makna Hadits
Tentang Hadits tersebut, Ibnu Daqiqil ‘Ied dalam Syarah Arbaiin An-Nawawiyah menjelaskan, “Kalimat kenabian yang pertama” maksudnya ialah bahwa rasa malu selalu terpuji dan dipandang baik, selalu diperintahkan oleh setiap nabi dan tidak pernah dihapuskan dari syariat para nabi sejak dahulu.
Adapun sabdanya, “berbuatlah sekehendakmu” mengandung dua pengertian. Pertama, berarti ancaman dan peringatan keras, bukan merupakan perintah.
Kedua, hendaklah melakukan apa saja yang kamu tidak malu melakukannya, seperti halnya sabda Nabi SAW: “Malu itu sebagian dari iman”. Maksud malu disini adalah malu yang dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan keji dan mendorongnya berbuat kebajikan.
Demikian juga, bila malu dapat mendorong seseorang meninggalkan perbuatan keji kemudian melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka malu semacam ini sederajat dengan iman karena kesamaan pengaruhnya pada seseorang.
Adapun menurut Imam as-Suyuthi rahimahumullah maksud hadits di atas adalah “Apabila kamu tidak malu dari aib dan tidak takut cemar apa yang kamu kerjakan, maka kerjakanlah apa yang membisiki dirimu berupa kebaikan ataupun kejahatan.
Perkataan “maka perbuatlah” (fashna’} itu adalah untuk mengancam (littahdiid) dan di dalamnya ada peringatan bahwa yang menahan dari perbuatan buruk itu adalah rasa malu, maka apabila tercerabut rasa malunya, jadilah seperrti disuruh untuk berbuat segala hal yang sesat.” (As-Suyuthi, Syarah Sunan Ibnu Majah, Juz 1, halaman 308)
Tanda Keimanan
Rasa malu sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam an-Nawawi rahimahumullah dalam syarah Muslimnya sebagai “akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk dan mencegahnya dari kelalaian (meremehkan) dalam memenuhi hak para pemiliknya” merupakan akhlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
Sebab, sifat ini merupakan cabang keimanan yang paling penting. Jika seseorang tidak mempunyai sifat ini, maka lepaslah segala sifat baik dan mulianya. Bahkan, lepas pulalah nilai kemanusiaannya.
Sabda Nabi SAW; “Iman dan rasa malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Bila rasa malu tidak ada maka iman pun akan sirna”.(Riwayat Al Hakim).
Kokohkan Iman dan Rasa Malu
Sungguh menyedihkan realitas kehidupan umat manusia saat ini. Sifat ‘rasa malu’ kini semakin habis terkikis seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman. Kini, manusia pun tak lagi merasa malu untuk berbuat dosa dan maksiat, sekalipun sedang berada di tengah khalayak dan banyak orang yang menatapnya.
Perilaku maksiat yang dulu dianggap aib dan sangat dibenci seperti zina, mabuk-mabukan, korupsi dan sejenisnya, kini justru dianggap biasa dan bisa kita dapati dimana-mana.
Sungguh memalukan dan memilukan. Manusia tak lagi risih dengan perilaku dosa dan maksiat. Seolah-olah perilaku dosa dan maksiat itu dianggap sebagai hal biasa dan merupakan konsekuensi dari kemajuan zaman dan budaya.
Kondisi zaman yang tak lagi dominan dengan warna kebaikan dan akhlak mulia ini, sesungguhnya sangat berpotensi menyeret orang yang beriman pada kubang kehinaan. Untuk itu, di tengah krisis rasa malu yang makin tragis ini, orang beriman perlu mengokohkan iman dan menumbuhkan rasa malu dalam diri. Sehingga dengan rasa malu itulah, seseorang akan terhalang dari berbuat maksiat dan selamat dari kehinaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, Rasulullah SAW Bersabda: “Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman berada dalam surga, dan sikap terang-terangan (dalam perbuatan maksiat dan tidak memiliki rasa malu) adalah keburukan, dan keburukan berada di neraka.”(Riwayat At Tirmidzi)
Lebih Malu Kepada Allah
Adapun rasa malu yang harus dimiliki oleh orang beriman adalah rasa malu yang positif. Bukan rasa malu yang negatif, seperti malu untuk mengatakan kebenaran dan mengingkari kemungkaran atau malu untuk melakukan amalan-amalan saleh lainnya.
Dan bukan pula malu bertanya tentang perkara-perkara agama yang belum dia ketahui. Karena hakikat sifat malu adalah mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan, bukan untuk menghalanginya.
‘Aisyah Radhiallahu’anhu memuji para wanita Anshar yang memiliki sifat malu, namun mereka tidak malu untuk bertanya tentang ilmu agama dengan untaian doanya: ”Semoga Allah merahmati (mengasihi) wanita-wanita kaum Anshar. Rasa (sifat) malu tidak menghalangi mereka untuk mempelajari ilmu agama.”(Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
Malu yang harus ditumbuhkan dalam diri orang beriman adalah malu ketika hendak melakukan dosa dan maksiat. Ketika nafsu mengajak untuk melakukan kemaksiatan, di situlah orang beriman harus malu.
Tidak hanya malu karena dilihat manusa, melainkan juga malu kepada Allah Yang Maha Melihat sekalipun manusia berada dalam kesendirian dan di tempat gelap gulita.
Bahkan, orang beriman harus lebih malu kepada Allah SWT. Sebab, Dialah yang memberi kehidupan, memberi rezeki dan melimpahkan berbagai nikmat hidup ini kepada manusia.
Diibaratkan seorang hamba sahaya yang semua kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh tuannya, maka sudah semestinya dia lebih malu kepada tuannya daripada selainnya untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai oleh tuannya itu.
Begitu pula manusia, sudah semestinya lebih malu kepada Allah daripada malu kepada manusia. Alangkah tidak tahu dirinya bila manusia berbuat sekehendak nafsunya. Tidak mau taat kepada perintah Allah, tapi justru akrab dengan perbuatan yang sangat dibenci olehNya.
Memiliki sifat malu merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang beriman. Sebab, tiada yang muncul dari sifat malu ini selain kebaikan. Sebagaimana sabda Beliau SAW:”Sesungguhnya sifat malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.” (Riwayat Al Bukhari dan Muslim).
Sifat malu juga merupakan sifat yang dicintai Allah SWT, sebagaimana sabda Beliau SAW: ”Sesungguhnya Allah Maha Malu dan Maha Tertutup, Dia menyukai ketertutupan dan rasa malu.” (Riwayat Imam Abu Dawud dan Imam an Nasai)
Agar terbentengi dari perbuatan dosa dan maksiat yang bisa membawa kerugian, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat, maka sudah semestinya kita senantiasa menyuburkan sifat malu ini dalam diri kita dimanapun dan kapanpun. Allahu a’lam bish-showab.
Makna Hadits
Tentang Hadits tersebut, Ibnu Daqiqil ‘Ied dalam Syarah Arbaiin An-Nawawiyah menjelaskan, “Kalimat kenabian yang pertama” maksudnya ialah bahwa rasa malu selalu terpuji dan dipandang baik, selalu diperintahkan oleh setiap nabi dan tidak pernah dihapuskan dari syariat para nabi sejak dahulu.
Adapun sabdanya, “berbuatlah sekehendakmu” mengandung dua pengertian. Pertama, berarti ancaman dan peringatan keras, bukan merupakan perintah.
Kedua, hendaklah melakukan apa saja yang kamu tidak malu melakukannya, seperti halnya sabda Nabi SAW: “Malu itu sebagian dari iman”. Maksud malu disini adalah malu yang dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan keji dan mendorongnya berbuat kebajikan.
Demikian juga, bila malu dapat mendorong seseorang meninggalkan perbuatan keji kemudian melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka malu semacam ini sederajat dengan iman karena kesamaan pengaruhnya pada seseorang.
Adapun menurut Imam as-Suyuthi rahimahumullah maksud hadits di atas adalah “Apabila kamu tidak malu dari aib dan tidak takut cemar apa yang kamu kerjakan, maka kerjakanlah apa yang membisiki dirimu berupa kebaikan ataupun kejahatan.
Perkataan “maka perbuatlah” (fashna’} itu adalah untuk mengancam (littahdiid) dan di dalamnya ada peringatan bahwa yang menahan dari perbuatan buruk itu adalah rasa malu, maka apabila tercerabut rasa malunya, jadilah seperrti disuruh untuk berbuat segala hal yang sesat.” (As-Suyuthi, Syarah Sunan Ibnu Majah, Juz 1, halaman 308)
Tanda Keimanan
Rasa malu sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam an-Nawawi rahimahumullah dalam syarah Muslimnya sebagai “akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk dan mencegahnya dari kelalaian (meremehkan) dalam memenuhi hak para pemiliknya” merupakan akhlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
Sebab, sifat ini merupakan cabang keimanan yang paling penting. Jika seseorang tidak mempunyai sifat ini, maka lepaslah segala sifat baik dan mulianya. Bahkan, lepas pulalah nilai kemanusiaannya.
Sabda Nabi SAW; “Iman dan rasa malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Bila rasa malu tidak ada maka iman pun akan sirna”.(Riwayat Al Hakim).
Kokohkan Iman dan Rasa Malu
Sungguh menyedihkan realitas kehidupan umat manusia saat ini. Sifat ‘rasa malu’ kini semakin habis terkikis seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman. Kini, manusia pun tak lagi merasa malu untuk berbuat dosa dan maksiat, sekalipun sedang berada di tengah khalayak dan banyak orang yang menatapnya.
Perilaku maksiat yang dulu dianggap aib dan sangat dibenci seperti zina, mabuk-mabukan, korupsi dan sejenisnya, kini justru dianggap biasa dan bisa kita dapati dimana-mana.
Sungguh memalukan dan memilukan. Manusia tak lagi risih dengan perilaku dosa dan maksiat. Seolah-olah perilaku dosa dan maksiat itu dianggap sebagai hal biasa dan merupakan konsekuensi dari kemajuan zaman dan budaya.
Kondisi zaman yang tak lagi dominan dengan warna kebaikan dan akhlak mulia ini, sesungguhnya sangat berpotensi menyeret orang yang beriman pada kubang kehinaan. Untuk itu, di tengah krisis rasa malu yang makin tragis ini, orang beriman perlu mengokohkan iman dan menumbuhkan rasa malu dalam diri. Sehingga dengan rasa malu itulah, seseorang akan terhalang dari berbuat maksiat dan selamat dari kehinaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, Rasulullah SAW Bersabda: “Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman berada dalam surga, dan sikap terang-terangan (dalam perbuatan maksiat dan tidak memiliki rasa malu) adalah keburukan, dan keburukan berada di neraka.”(Riwayat At Tirmidzi)
Lebih Malu Kepada Allah
Adapun rasa malu yang harus dimiliki oleh orang beriman adalah rasa malu yang positif. Bukan rasa malu yang negatif, seperti malu untuk mengatakan kebenaran dan mengingkari kemungkaran atau malu untuk melakukan amalan-amalan saleh lainnya.
Dan bukan pula malu bertanya tentang perkara-perkara agama yang belum dia ketahui. Karena hakikat sifat malu adalah mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan, bukan untuk menghalanginya.
‘Aisyah Radhiallahu’anhu memuji para wanita Anshar yang memiliki sifat malu, namun mereka tidak malu untuk bertanya tentang ilmu agama dengan untaian doanya: ”Semoga Allah merahmati (mengasihi) wanita-wanita kaum Anshar. Rasa (sifat) malu tidak menghalangi mereka untuk mempelajari ilmu agama.”(Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
Malu yang harus ditumbuhkan dalam diri orang beriman adalah malu ketika hendak melakukan dosa dan maksiat. Ketika nafsu mengajak untuk melakukan kemaksiatan, di situlah orang beriman harus malu.
Tidak hanya malu karena dilihat manusa, melainkan juga malu kepada Allah Yang Maha Melihat sekalipun manusia berada dalam kesendirian dan di tempat gelap gulita.
Bahkan, orang beriman harus lebih malu kepada Allah SWT. Sebab, Dialah yang memberi kehidupan, memberi rezeki dan melimpahkan berbagai nikmat hidup ini kepada manusia.
Diibaratkan seorang hamba sahaya yang semua kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh tuannya, maka sudah semestinya dia lebih malu kepada tuannya daripada selainnya untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai oleh tuannya itu.
Begitu pula manusia, sudah semestinya lebih malu kepada Allah daripada malu kepada manusia. Alangkah tidak tahu dirinya bila manusia berbuat sekehendak nafsunya. Tidak mau taat kepada perintah Allah, tapi justru akrab dengan perbuatan yang sangat dibenci olehNya.
Memiliki sifat malu merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang beriman. Sebab, tiada yang muncul dari sifat malu ini selain kebaikan. Sebagaimana sabda Beliau SAW:”Sesungguhnya sifat malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.” (Riwayat Al Bukhari dan Muslim).
Sifat malu juga merupakan sifat yang dicintai Allah SWT, sebagaimana sabda Beliau SAW: ”Sesungguhnya Allah Maha Malu dan Maha Tertutup, Dia menyukai ketertutupan dan rasa malu.” (Riwayat Imam Abu Dawud dan Imam an Nasai)
Agar terbentengi dari perbuatan dosa dan maksiat yang bisa membawa kerugian, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat, maka sudah semestinya kita senantiasa menyuburkan sifat malu ini dalam diri kita dimanapun dan kapanpun. Allahu a’lam bish-showab.
Masrokah
Pengajar di Pesantren Hidayatullah Kendari
Pengajar di Pesantren Hidayatullah Kendari
Suara Hidayatullah Edisi 02 | Juli 2012 | Sya’ban 1433, Hal 90 – 91
No comments