Breaking News

Jangan Jadi Manusia Rongsokan

Jangan Jadi Manusia Rongsokan
28 Mei 2013 / 18 Rajab 1434 H

    Setiap pengguna telepon seluler (handphone) pasti tahu, benda itu dikatakan bagus bukan karena casing (selubung)-nya, fiturnya, atau ketahanan baterainya saja. Tetapi, ada aspek lain yang justru menjadi penentu kualitas yang sebenarnya, yaitu kemampuannya menangkap sinyal.

     Walaupun berfitur sangat lengkap, bentuknya spektakuler, bahkan baterainya bisa tahan hingga setahun, jika tidak mampu menangkap sinyal, siapa pun sepakat akan menyebutnya sebagai handphone rusak. Kalau pun masih baru, itu adalah produk gagal.

     Begitu pula semua produk yang mensyaratkan koneksivitas tinggi, seperti televisi dan radio, bila gagal terkoneksi, pasti akan kehilangan nilainya. Lazimnya, orang akan menamainya sebagai barang rongsokan.

Ukuran Kualitas

    Ilustrasi ini terasa tepat dipakai sebagai pendekatan untuk memahami relasi antara manusia dengan Allah SWT. Sejak mula keberadaannya, manusia –sebagaimana seluruh makhluk lainnya— bergantung penuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT).

   Apakah ia lahir atau tidak, tergantung kehendak Allah SWT. Apakah ia menjadi pria atau wanita, terserah Allah SWT. Apakah ia berfisik normal atau cacat, sepenuhya juga hak Allah SWT. Tak selembar rambut pun disumbangkan manusia untuk dirinya sendiri, bahkan satu lubang pori-pori pun tidak.

    Dengan demikian, mustahil jika manusia pada masa hidupnya bisa mandiri dari Allah SWT. Fisiknya tidak dapat mandiri dari rezeki Allah SWT. Ruhaninya pun tidak boleh putus untuk selalu terkoneksi dengan Allah SWT. Nah, perihal koneksi inilah yang menentukan kualitas manusia.

    Manusia sejatinya adalah paduan fisik dan ruh yang tugasnya mengabdi kepada Allah SWT. Agar bisa mengabdi dengan baik maka manusia harus terkoneksi dengan Allah SWT melalui “sinyal” iman. Tanpa mengimani Allah SWT, mustahil manusia akan mengabdi kepada-Nya.

    Jika tidak meyakini bahwa Allah SWT yang menciptakan seluruh jagad raya –termasuk dirinya-, Maha Memberi rezeki, Maha Kuasa, Maha Adil, bagaimana mungkin dia bisa patuh kepada-Nya.

    Bila masih menyimpan rasa ragu bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah, sangat mungkin dia akan menaruh harapan dan ketakutan kepada selain-Nya. Itulah perbuatan syirik. Na’udzu billah!

Sangat Urgen

Ada beberapa sebab mengapa beriman kepada Allah SWT adalah penting, yaitu:

Pertama, kunci beriman kepada rukun yang lain.

   Tidak terbayang bagaimana seseorang bisa beriman kepada rukun yang lain tanpa terlebih dahulu beriman kepada Allah SWT. Beriman kepada rukun yang lain itu wajib karena dinisbatkan kepada Allah SWT.

    Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam (SAW) diyakini terjamin kebenaran ucapan dan tindakannya karena dipilih Allah SWT. Suatu kitab dianggap suci dari kesalahan dan kesesatan sebab diyakini berasal dari Allah SWT.

     Malaikat yang tidak tampak, diyakini keberadaan dan segala tugas serta sifatnya, berdasar informasi dari Rasul dan kitab Allah SWT.

     Atas dasar itulah para ulama mengatakan bahwa kewajiban pertama dan seagung-agungya kewajiban adalah beriman kepada Allah SWT. (Al-Huwali, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, I/961)

Kedua, semua isi al-Qur`an bicara keimanan.

Hal ini terbagi dalam dalam beberapa kategori, yaitu:

a. Terkait secara langsung dengan Allah SWT, yaitu dzat-Nya, nama, sifat dan perbuatan-Nya. Misalnya, ayat Kursyi dan surat Al-Ikhlas.

b. Berisi ajakan untuk beribadah hanya kepada Allah SWT dan membebaskan diri dari perilaku syirik.

c. Perintah untuk menaati Allah SWT dan larangan untuk bermaksiat kepada-Nya, yang merupakan konsekuensi dari iman kepada-Nya.

d. Berita tentang orang-orang yang beriman, kemuliaan mereka di dunia dan kebahagiaan tak terhingga yang disediakan Allah SWT di akhirat. Ini adalah balasan bagi orang beriman.

e. Berbicara mengenai orang yang ingkar untuk beriman –alias kafir- azab Allah SWT kepada mereka di dunia dan nasib mereka nanti di akhirat.

     Selain membicarakan keimanan, al-Qur`an juga menempatkan Allah SWT sebagai tema sentral. Ini terbukti ada 2.699 kali nama Allah SWT diulang-ulang dalam al-Qur`an, di antara 77.439 kata yang terkandung di dalamnya.

Ketiga, ruh juga dapat lapar dan dahaga, sebagaimana perut dan kerongkongan.

    Sudah maklum bahwa urusan memenuhi rasa lapar tidak dapat digunakan prinsip “yang penting kenyang”. Sebab, yang dibutuhkan tubuh adalah kandungan gizinya.

    Alangkah menjijikkan bila seseorang memakan makanan yang busuk, menyantap bangkai, atau meminum racun, hanya karena ingin kenyang. Alangkah berbahaya pula jika manusia memakan semen, pasir, dan batu, hanya supaya kenyang.

    Karena itu, perut sebaiknya jangan asal isi. Harus betul-betul diperhatikan makanan apa yang betul-betul bermanfaat bagi tubuh.

    Begitu juga dengan ruhani yang lapar. Sebaiknya kita jangan sembarang isi . Sebab. akibatnya akan fatal.

    Hanya ada satu resep pemuas hati (quut al-qulub) dan pengenyang jiwa yang penuh dengan gizi, yaitu zikir kepada Allah SWT. Itulah resep yang tak mungkin salah karena berasal dari pencipta manusia itu sendiri.

   Allah SWT berfirman:
ِ ...بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ


 “Ingatlah, dengan berzikir kepada Allah hati menjadi tenang.”(QS. Al-Ra’d [13]: 28)

     Namun, resep sederhana itu, efektifitasnya menuntut satu syarat, yaitu beriman kepada Allah SWT. Sebab, tidak mungkin orang berzikir kepada-Nya dengan menumpahkan seluruh dorongan fitrah pengagungan, ketundukan, dan kecintaan tanpa didasari keyakinan atas keberadaan Allah SWT dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.

     Selain tiga hal di atas, iman kepada Allah SWT memberikan manfaat yang sangat besar kepada pelakunya, baik secara individu maupun masyarakat.

      Secara individu, iman tersebut memberi kerelaan hati untuk menerima takdir Allah SWT, baik hasil dari ikhtiar menusia -seperti hasil dari bertani- maupun sama sekali tidak terkait dengan ikhtiarnya.

      Misalnya, terlahir sebagai laki-laki atau wanita; baik takdir tersebut sesuai dengan keinginannya maupun tidak.

     Manusia beriman akan tegar menghadapi kondisi apapun. Ia bebas dari perasaan tertekan (stress), depresi, apalagi bunuh diri.

     Ini bukan sekadar dogma, tetapi kenyataan yang telah dibuktikan oleh penelitian. Dua psikolog kawakan Henry Link dan A.A. Brill pada akhir penelitian panjangnya berkesimpulan bahwa jika seseorang benar-benar beriman kepada Tuhan, maka dia tidak akan sakit jiwa.

    Bahkan sejarawan Inggris, Toynbee, menyatakan, ”Krisis yang dialami masyarakat Eropa pada zaman modern ini disebabkan oleh kemiskinan spiritual. Tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya kecuali kembali kepada agama.”(Muhammad Akrom, Zikir Obat Hati, halaman 63).

    Adapun secara sosial, iman memberi keteladanan dan kepekaan hati dalam merealisasikan akhlak bermasyarakat, seperti semangat berkorban dan mendahulukan orang lain, serta amar ma’ruf dan nahi munkar.

Wallahu a’lam bish-Shawab.***

Suara Hidayatullah | Edisi 02 | Juni 2012/ Rajab 1433, Hal 14 - 15  

Liat Juga:

Tiada Nikmat Melebihi Iman Kepada Allah

No comments