Kiat Menyuburkan Iman Kepada Allah
Kiat Menyuburkan Iman Kepada Allah
29 Mei 2013 / 19 Rajab 1434 H
Manusia di dunia ini tunduk pada fenomena penciptaan (zhahiratul khilqah). Ia pasti menjalani fase-fase hidupnya. Mulai dari janin, menginjak masa balita (shobiy), anak-anak (thifl), remaja (murahiq), dewasa (kuhulah) dan syaikh (usia 40 tahun ke atas).
Tapi, menurut ahli kepribadian, yang paling menentukan arah (wijhah) kehidupan seseorang adalah masa remaja (kira-kira usia 15 tahun) sampai dewasa (kira-kira 30 tahun ke atas).
Ahli hikmah mengatakan, “Siapa yang tumbuh pada masa mudanya di atas akhlak, orientasi, kepribadian, karakter tertentu, maka rambutnya memutih dalam keadaan ia memiliki akhlak seperti itu.”
Mengelola masa remaja agar memiliki semangat (ghirah) ber-Islam yang baik merupakan perjuangan yang keras dan sulit. Mengendalikan masa yang penuh gelora dan vitalitas itu agar tunduk kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) tidak mudah dan sederhana.
Ini karena kita menghadapi dua kenyataan yang antagonistik. Di satu sisi kita ingin menjadi baik, tapi di sisi lain setan pun berusaha membelokkan dan menyesatkan ke jalan sesat dan maksiat. Pada usia ini terjadi sebuah pertarungan dan pertentangan yang berat.
Orang-orang besar kebanyakan sukses mengelola masa remajanya. Abul A’la al-Maududi dan Hasan al-Banna hanya tidur dua sampai empat jam per hari. Keduanya betul-betul memanfaatkan masa mudanya dengan prestasi. Pantaslah jika beliau berdua menjadi pembaharu Islam tingkat dunia.
Begitu pula orang-orang besar lainnya, rata-rata hanya tidur empat jam sehari. Mereka berhasil mengisi masa remajanya dengan kebajikan.
Bagaimana dengan kita? Semakin kita kalah dengan godaan pada usia muda, seperti itulah akhir kehidupan kita. Sebaliknya, semakin sering kita berhasil menghadapi berbagai godaan, demikian itulah akhir kehidupan kita.
Muhasabah
Melihat kenyataan di atas, betapa pentingnya kita untuk selalu bermuhasabah, menghitung diri, berdialog dengan diri sendiri, melihat secara lebih dekat ke dalam diri, serta meneliti sisi gelap dan sisi terang diri kita. Evaluasi diri ini penting sebagai modal untuk melangkah menuju kondisi yang lebih baik.
Peristiwa terpenting dalam perjalanan hidup kita adalah ketika kita memberi ruang yang luas untuk pengembangan kepribadian kita. Sedang peristiwa terburuk dalam perjalanan kehidupan kita adalah ketika kita menutup diri dari peningkatan mutu, sehingga membuat kita lemah dalam merespon perubahan internal serta lingkungan sosial.
Inilah yang terjadi pada orang-orang kafir. Mereka sulit memperoleh petunjuk dari Allah SWT karena meng-cover dirinya sendiri dari hidayah dan kebenaran.
Umar bin Khaththab mengajarkan kepada kita untuk memiliki sikap mental dan kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga kita terampil dalam mencermati segala kelemahan diri sebelum meneliti sisi gelap orang lain.
Salah satu pernyataan beliau yang sagat terkenal adalah, “Intropeksilah diri kalian sebelum segala perbuatan kalian diperhitungkan. Timbanglah amal kalian (di dunia ini) sebelum amal kalian ditimbang (di akhirat).
Persiapkanlah diri kalian untuk menghadapi pembeberan amal kalian. Pada hari itu, amal kalian akan dibeberkan (semua), tidak ada yang ketinggalan walau sesamar apa pun.”(Riwayat Imam Ahmad)
Karakter Keimanan
Iman kita rupanya bisa mengalami pasang surut. Iman kita bersifat fluktuatif. Ada saat iman itu datang dan pergi, muncul dan tenggelam, naik dan turun, serta jatuh dan bangun.
Ibnu Mas'ud mengatakan: ”Sesungguhnya jiwa kita memiliki saat-saat yang berbeda. Ada saat yang kuat kecenderungan-kecenderungan untuk beribadah, dan pada saat-saat yang lain enggan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tiada seorang pun di dunia ini yang merasa aman dari keimanannya.”
Sesungguhnya ukuran kebaikan seseorang tidaklah dihitung pada awal kehidupannya dan pertengahannya, tetapi akhir kehidupannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Boleh jadi di antara kalian ada yang melakukan amal-amal ahli surga. Tetapi dalam takdir Allah SWT ia akan masuk ke dalam neraka. Dan boleh jadi di antara kalian melakukan amal-amal ahli neraka, tetapi dalam ilmu Allah kelak, ia masuk surga. Dalam keadaan demikian ia meninggal dunia.” (Riwayat Bukhari)
Itulah sebabnya teladan (uswah), panutan (qudwah), dan imam kita mengajarkan doa kepada kita, “Ya Allah jadikanlah usiaku yang terbaik adalah penghujungnya, amalku yang paling baik adalah akhirnya, hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saat bertemu dengan-Mu.”
Oleh karena itu kita harus selalu merenung dan bermuhasabah. Kita perlu sungguh-sungguh mencermati faktor-faktor yang menjadikan iman kita bisa bertahan (stabil).
Kita juga harus berusaha serius memahami apa saja yang membuat iman mengalami pasang surut. Apalagi ketika saat ini kita hidup di tengah badai kemaksiatan, syubhat, dan syahwat yang semakin menggurita.
Menyuburkan Keimanan
Mengapa Allah SWT menurunkan syariat untuk mendidik manusia sepanjang hayat, baik yang bersifat harian (yaumiyyah), mingguan (usbu’iyyah), bulanan (syahriyyah), tahunan (amiyyah), dan sekali seumur hidup (marrotan fil ‘umri)?
Sehari semalam kita diwajibkan shalat lima waktu. Dalam seminggu kita diwajibkan shalat Jumat dan dianjurkan puasa Senin dan Kamis. Dalam sebulan kita dianjurkan berpuasa pada hari-hari purnama.
Begitu pula dalam setahun, kita diwajibkan puasa Ramadhan dan disunnahkan Shalat Iedul Fithri dan idul Qurban. Sekali seumur hidup kita wajib menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Agaknya, Allah SWT sengaja membuat siklus di mana kita berputar dalam kondisi ibadah secara konstan.
Dalam rangka menyuburkan keimanan, kita perlu membuat standar ibadah. Dalam sehari-hari, paling tidak ada tujuh jenis standar ibadah kita.
Pertama: shalat fardhu di masjid secara berjamaah.
Kedua: shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah, sebagaimana Rasulullah SAW secara berkesinambungan selalu menjalankan shalat sunnah 12 rakaat.
Ketiga: membaca al-Qur`an sebanyak satu juz sehari. Sebab, sesungguhnya hati-hati itu bisa berkarat sebagaimana besi. Cara menghilangkannya, kata Rasulullah SAW, bacalah al-Quran dengan menghadirkan hati.
Keempat: wirid secara berkesinambungan (mudawamah) dan konsisten (istiqomah).
Kelima: shalat sunnah Dhuha.
Keenam: shalat Tahajud.
Dan, ketujuh: besedekah, walaupun hanya sedikit.
Demi menjaga ritme dan stamina spiritual kita, ibadah harian yang bersifat rutin itu perlu dipertahankan dengan sikap istiqamah serta membiasakan diri dan menyediakan waktu khusus untuk bermuhasabah.
Dalam sepekan siapkanlah waktu untuk bertafakkur, menganalisa kembali diri kita selama sepekan silam. Adakah pikiran dan amalan yang menyimpang, apa saja akhlak negatif yang masih melekat, yang sulit ditinggalkan. Kita kontrol gerak-gerik kita setiap waktu, sebagaimana setan selalu mengintai setiap celah kelemahan kita.
Jika kita tergelincir dan melakukan kekhilafan, kita harus segera bangkit dengan tiga cara.
Pertama: sebagaimana dijelaskan dalam Surah Ali Imran ayat 135, jika terjebak dalam perbuatan yang fahsya atau zalim, segeralah sadar dan langsung beristighfar. Jadi mekanisme kesadaran perlu dijaga setiap saat.
Cara kedua: lebih praktis. Setiap melakukan kejahatan atau keburukan, susullah dengan kebaikan yang baru untuk menutupinya. Mengapa? Karena setiap kita melakukan kejahatan, maka kejahatan itu akan mengajak saudaranya yang lain.
Kejahatan itu beranak pinak. Jika kaki suka melangkah menuju tempat maksiat, pasti mengajak pelanggaran berikutnya.
Ketiga: berilah sanksi (iqab) terhadap diri dengan amalan baik, seperti infaq dan lain-lain. Pada saat yang sama, kita tunjukkan penyesalan di hadapan-Nya bahwa kita tidak akan mengulangi kejahatan yang sama.
Jika kita sedang semangat melakukan ibadah, lakukanlah ibadah sebanyak mungkin, baik secara kuantitas ataupun kualitas. Lompat dari yang wajib menuju yang sunnah. Jika terjadi stagnasi, futur (malas setelah giat), minimal pertahankan yang fardhu ‘ain.
Tapi, menurut ahli kepribadian, yang paling menentukan arah (wijhah) kehidupan seseorang adalah masa remaja (kira-kira usia 15 tahun) sampai dewasa (kira-kira 30 tahun ke atas).
Ahli hikmah mengatakan, “Siapa yang tumbuh pada masa mudanya di atas akhlak, orientasi, kepribadian, karakter tertentu, maka rambutnya memutih dalam keadaan ia memiliki akhlak seperti itu.”
Mengelola masa remaja agar memiliki semangat (ghirah) ber-Islam yang baik merupakan perjuangan yang keras dan sulit. Mengendalikan masa yang penuh gelora dan vitalitas itu agar tunduk kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) tidak mudah dan sederhana.
Ini karena kita menghadapi dua kenyataan yang antagonistik. Di satu sisi kita ingin menjadi baik, tapi di sisi lain setan pun berusaha membelokkan dan menyesatkan ke jalan sesat dan maksiat. Pada usia ini terjadi sebuah pertarungan dan pertentangan yang berat.
Orang-orang besar kebanyakan sukses mengelola masa remajanya. Abul A’la al-Maududi dan Hasan al-Banna hanya tidur dua sampai empat jam per hari. Keduanya betul-betul memanfaatkan masa mudanya dengan prestasi. Pantaslah jika beliau berdua menjadi pembaharu Islam tingkat dunia.
Begitu pula orang-orang besar lainnya, rata-rata hanya tidur empat jam sehari. Mereka berhasil mengisi masa remajanya dengan kebajikan.
Bagaimana dengan kita? Semakin kita kalah dengan godaan pada usia muda, seperti itulah akhir kehidupan kita. Sebaliknya, semakin sering kita berhasil menghadapi berbagai godaan, demikian itulah akhir kehidupan kita.
Muhasabah
Melihat kenyataan di atas, betapa pentingnya kita untuk selalu bermuhasabah, menghitung diri, berdialog dengan diri sendiri, melihat secara lebih dekat ke dalam diri, serta meneliti sisi gelap dan sisi terang diri kita. Evaluasi diri ini penting sebagai modal untuk melangkah menuju kondisi yang lebih baik.
Peristiwa terpenting dalam perjalanan hidup kita adalah ketika kita memberi ruang yang luas untuk pengembangan kepribadian kita. Sedang peristiwa terburuk dalam perjalanan kehidupan kita adalah ketika kita menutup diri dari peningkatan mutu, sehingga membuat kita lemah dalam merespon perubahan internal serta lingkungan sosial.
Inilah yang terjadi pada orang-orang kafir. Mereka sulit memperoleh petunjuk dari Allah SWT karena meng-cover dirinya sendiri dari hidayah dan kebenaran.
Umar bin Khaththab mengajarkan kepada kita untuk memiliki sikap mental dan kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga kita terampil dalam mencermati segala kelemahan diri sebelum meneliti sisi gelap orang lain.
Salah satu pernyataan beliau yang sagat terkenal adalah, “Intropeksilah diri kalian sebelum segala perbuatan kalian diperhitungkan. Timbanglah amal kalian (di dunia ini) sebelum amal kalian ditimbang (di akhirat).
Persiapkanlah diri kalian untuk menghadapi pembeberan amal kalian. Pada hari itu, amal kalian akan dibeberkan (semua), tidak ada yang ketinggalan walau sesamar apa pun.”(Riwayat Imam Ahmad)
Karakter Keimanan
Iman kita rupanya bisa mengalami pasang surut. Iman kita bersifat fluktuatif. Ada saat iman itu datang dan pergi, muncul dan tenggelam, naik dan turun, serta jatuh dan bangun.
Ibnu Mas'ud mengatakan: ”Sesungguhnya jiwa kita memiliki saat-saat yang berbeda. Ada saat yang kuat kecenderungan-kecenderungan untuk beribadah, dan pada saat-saat yang lain enggan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tiada seorang pun di dunia ini yang merasa aman dari keimanannya.”
Sesungguhnya ukuran kebaikan seseorang tidaklah dihitung pada awal kehidupannya dan pertengahannya, tetapi akhir kehidupannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Boleh jadi di antara kalian ada yang melakukan amal-amal ahli surga. Tetapi dalam takdir Allah SWT ia akan masuk ke dalam neraka. Dan boleh jadi di antara kalian melakukan amal-amal ahli neraka, tetapi dalam ilmu Allah kelak, ia masuk surga. Dalam keadaan demikian ia meninggal dunia.” (Riwayat Bukhari)
Itulah sebabnya teladan (uswah), panutan (qudwah), dan imam kita mengajarkan doa kepada kita, “Ya Allah jadikanlah usiaku yang terbaik adalah penghujungnya, amalku yang paling baik adalah akhirnya, hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saat bertemu dengan-Mu.”
Oleh karena itu kita harus selalu merenung dan bermuhasabah. Kita perlu sungguh-sungguh mencermati faktor-faktor yang menjadikan iman kita bisa bertahan (stabil).
Kita juga harus berusaha serius memahami apa saja yang membuat iman mengalami pasang surut. Apalagi ketika saat ini kita hidup di tengah badai kemaksiatan, syubhat, dan syahwat yang semakin menggurita.
Menyuburkan Keimanan
Mengapa Allah SWT menurunkan syariat untuk mendidik manusia sepanjang hayat, baik yang bersifat harian (yaumiyyah), mingguan (usbu’iyyah), bulanan (syahriyyah), tahunan (amiyyah), dan sekali seumur hidup (marrotan fil ‘umri)?
Sehari semalam kita diwajibkan shalat lima waktu. Dalam seminggu kita diwajibkan shalat Jumat dan dianjurkan puasa Senin dan Kamis. Dalam sebulan kita dianjurkan berpuasa pada hari-hari purnama.
Begitu pula dalam setahun, kita diwajibkan puasa Ramadhan dan disunnahkan Shalat Iedul Fithri dan idul Qurban. Sekali seumur hidup kita wajib menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Agaknya, Allah SWT sengaja membuat siklus di mana kita berputar dalam kondisi ibadah secara konstan.
Dalam rangka menyuburkan keimanan, kita perlu membuat standar ibadah. Dalam sehari-hari, paling tidak ada tujuh jenis standar ibadah kita.
Pertama: shalat fardhu di masjid secara berjamaah.
Kedua: shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah, sebagaimana Rasulullah SAW secara berkesinambungan selalu menjalankan shalat sunnah 12 rakaat.
Ketiga: membaca al-Qur`an sebanyak satu juz sehari. Sebab, sesungguhnya hati-hati itu bisa berkarat sebagaimana besi. Cara menghilangkannya, kata Rasulullah SAW, bacalah al-Quran dengan menghadirkan hati.
Keempat: wirid secara berkesinambungan (mudawamah) dan konsisten (istiqomah).
Kelima: shalat sunnah Dhuha.
Keenam: shalat Tahajud.
Dan, ketujuh: besedekah, walaupun hanya sedikit.
Demi menjaga ritme dan stamina spiritual kita, ibadah harian yang bersifat rutin itu perlu dipertahankan dengan sikap istiqamah serta membiasakan diri dan menyediakan waktu khusus untuk bermuhasabah.
Dalam sepekan siapkanlah waktu untuk bertafakkur, menganalisa kembali diri kita selama sepekan silam. Adakah pikiran dan amalan yang menyimpang, apa saja akhlak negatif yang masih melekat, yang sulit ditinggalkan. Kita kontrol gerak-gerik kita setiap waktu, sebagaimana setan selalu mengintai setiap celah kelemahan kita.
Jika kita tergelincir dan melakukan kekhilafan, kita harus segera bangkit dengan tiga cara.
Pertama: sebagaimana dijelaskan dalam Surah Ali Imran ayat 135, jika terjebak dalam perbuatan yang fahsya atau zalim, segeralah sadar dan langsung beristighfar. Jadi mekanisme kesadaran perlu dijaga setiap saat.
Cara kedua: lebih praktis. Setiap melakukan kejahatan atau keburukan, susullah dengan kebaikan yang baru untuk menutupinya. Mengapa? Karena setiap kita melakukan kejahatan, maka kejahatan itu akan mengajak saudaranya yang lain.
Kejahatan itu beranak pinak. Jika kaki suka melangkah menuju tempat maksiat, pasti mengajak pelanggaran berikutnya.
Ketiga: berilah sanksi (iqab) terhadap diri dengan amalan baik, seperti infaq dan lain-lain. Pada saat yang sama, kita tunjukkan penyesalan di hadapan-Nya bahwa kita tidak akan mengulangi kejahatan yang sama.
Jika kita sedang semangat melakukan ibadah, lakukanlah ibadah sebanyak mungkin, baik secara kuantitas ataupun kualitas. Lompat dari yang wajib menuju yang sunnah. Jika terjadi stagnasi, futur (malas setelah giat), minimal pertahankan yang fardhu ‘ain.
Wallahu a’lam bish-Shawab ***
Suara Hidayatullah | Edisi 02 | Juni 2012/ Rajab 1433, Hal 16 - 17
No comments