Breaking News

Jiwa-jiwa merdeka di Penjara Raksasa

Jiwa-jiwa merdeka di Penjara Raksasa

  Sudah lima tahun ini Jalur Gaza dikepung. Makanan sulit. Harga BBM selangit. Obat-obatan habis. Listrik sekarat. Air beracun. Rumah sakit kritis. Masjid, rumah, dan sekolah dibom.

   Orang-orang mati diperbatasan karena dilarang berobat ke luar Gaza. Mesir belum membuka total pintu Rafah karena masih terikat janji "damai" dengan Zionis Israel.

   Sejak 2005, Jalur Gaza satu-satunya wilayah Palestina yang merdeka. Ruh ibadah, ruh Al Qur'an, ruh jihad yang telah mengantarkan kemerdekaan Gaza tidak boleh menyebar ke wilayah lain. Karena itu Gaza dikepung, diteror, diserang, kalau perlu dihabisi.

   Dalam suasana itulah misi "Amanah Indonesia Untuk Gaza dan Al Aqsha" diuncurkan oleh Sahabat Al-Aqsha, jaringan silaturrahim keluarga Indonesia-Palestina. Dengan izin Allah kami berangkat ke Jalur Gaza.

   Seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri Palestina di Gaza yang menjemput kami di perbatasan berkata; "Kami sudah menunggu kalian sejak dua tahun yang lalu."

    Ya, tepat dua tahun yang lalu dua relawan Sahabat Al-Aqsha, bersama sepuluh relawan Indonesia lainnya, bersama sekitar 600an relawan dari 32 negara hampir sampai ke pantai Gaza. Tapi terhambat.

   Allah menakdirkan mereka semua yang tergabung dalam Armada Kebebasan (Freedom Flotilla) yang dipimpin kapal Mavi Marmara, tidak sampai ke Gaza.

   Subuh, 31 Mei 2010, kapal-kapal itu diserang dan dibajak, dibunuhi, diborgol, dijemur setengah hari di bawah terik mentari Laut Tengah, lalu digiring ke Asdod, diinterogasi, lalu dipenjara.

   Namun apa yang dialami oleh ratusan relawan itu, tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang dialami rakyat Gaza.
   Kami menyaksikan sendiri, rakyat Gaza praktis hidup di dalam sebuah penjara raksasa. Wilayah seluas 360 kilometer per segi itu (kira-kira sebesar Jakarta Pusat) dikepung dengan tembok setinggi 8-10 meter, atau pagar listrik bertegangan mematikan, diawasi menara-menara dimana para penembak jitu (sniper).

   Para petaninya bekerja setiap hari di bawah bidikan para penembak itu. Para nelayannya diteror agar tidak melaut lebih dari 3 mil dari garis pantai (sekitar 4,8 kilometer).

   Tak ada tangkapan ikan yang cukup layak dimakan rakyat Gaza. Bahkan untuk 50 ribu anggota keluarga nelayan pun tak cukup.

   Beberapa kali dalam kunjungan di tempat-tempat dekat perbatasan, pesawat-pesawat pengintai tanpa awak (drone) milik Zionis Israel melayang-layang di atas kepala kami. Menurut informasi, sesekali pesawat semacam itupun menjatuhkan bom, membunuh dan melukai warga Gaza. Seenaknya saja.

Madrasah Raksasa

    Tetapi, sesudah lima tahun dikepung oleh musuh Islam  dan umat Islam, nampaknya rakyat dan para pemimpin Gaza lulus ujian. Penjara raksasa yang mengepung mereka sekarang pun sudah menjadi madrasah raksasa.

   "Jalur Gaza adalah madrasah raksasa untuk kami," kata Ummu Bilal, seorang ibu dari enam anak yang suaminya seorang pejabat tinggi di pemerintahan di bawah Perdana Menteri Ismail Haniyah.

    Madrasah raksasa itu telah melahirkan jenis manusia yang cinta shalat berjamaah luar biasa. Bahkan mereka tetap shalat di masjid yang sudah hancur dan belum mampu dibangun kembali.

    Manusia-manusia yang cinta Al Qur'an sehingga setiap tahun melahirkan ribuan huffazh Al Qur'an. Tim Relawan Sahabat Al Aqsha menjumpai anak-anak yang sangat menikmati menghafal Al Qur'an, sampai bisa menuntaskan hafalannya dalam waktu 60 hari.

    Manusia-manusia yang taat kepada Allah dan tidak takut kecuali kepada Allah. Kami bertanya kepada seorang kakek berusia 83 tahun bernama Muhammad, bagaimana rasanya hidup di dalam kepungan Zionis Israel. Ia menjawab dengan logat Gaza yang sangat kental, hanya pas diterjemahkan dengan logat Betawi.

   "Engkong, gimane rasanye hidup dikepung Israel?". "Siapa nyang dikepung?! Kite makan enak, tidur nyenyak...  Kagak suseh... Itu tuh, Zionis yang pusing mikirin kite, sampe pade suseh tidur !! Jadi siape yang dikepung coba?!"

    Engkong Muhammad masih sesekali ikut ribath menjaga perbatasan Utara Gaza, menyandang senapan AK-47. Bukan hanya yang sudah berusia senja, Alaa', 15 tahun, salah satu remaja yang selesai menghafal Al Qur'an dalam waktu 60 hari pun dimatangkan akal dan hatinya  oleh kepungan ini.

   Waktu kami mewawancarainya, pertanyaan ditutup dengan sebuah tawaran menarik. "Alaa', kalau kami ingin mengundang kamu, kamu boleh memilih negara mana saja di seluruh dunia. Yang paling ingin kamu kunjungi. Boleh di Eropa, Amerika, Asia, Australia, mana saja. Silahkan..".

   Jawaban remaja murah senyum itu sangat cepat, "Aku nggak kepingin kemana-mana sebelum ikut membebaskan Masjidil Aqsha. Shalat berjama'ah didalamnya sesudah merdeka,  baru habis itu aku pergi haji...".

   Sejak Agustus 2005, Jalur Gaza bersih dari tentara Zionis Israel. Meskipun dikepung, Gaza adalah harapan

    "Hari ini Gaza telah merdeka, besok Masjidil Aqsha akan merdeka, dan seluruh tanah suci Palestina akan merdeka," demikianlah syiar yang selalu disampaikan rakyat Gaza yang kami jumpai.

Susah, tapi sabar dan berani

   Beberapa menit sesudah melewati pintu perbatasan, hari masih sore, mobil yang menjemput Tim Sahabat Al Aqsha berhenti di sebuah bundaran di kota Rafah (di sisi Gaza. Rafah terbagi dua, sisi Mesir dan sisi Gaza).

   Sejurus kemudian, tiga orang bocah kecil melintas di dekat mobil itu. Bocah perempuan yang paling besar, kira-kira berumur 6 tahun, menggenggam sebatang ranting pohon yang dedaunannya masih terlihat hijau segar.

    Ia memimpin dua orang bocah, satu lelaki satu perempuan, yang lebih kecil, seraya meneriakkan yel-yel, "Listrik... Mati... Kami perlu listrik...!!!" Ketiganya berjalan gagah berbaris seperti sedang berdemonstrasi. 

   Sejak tiga bulan silam, Jalur Gaza mengalami krisis listrik parah. Sambil sesekali menembakkan bom ke arah rumah-rumah di Gaza, Zionis Israel pun mengetatkan perdagangan bahan bakar minyak antara perusahaan-perusahaan Israel dan Gaza.

   Warga Gaza yang jumlahnya kini sekitar 1,7 juta jiwa, harus melawan hawa berat musim dingin yang baru lalu, sering tanpa listrik. Memasuki musim semi ini hawa sudah agak menghangat.

   Pagi saat kami baru sehari di Gaza suhu 18 derajat, malamnya sekitar 13 derajat celcius. Listrik hanya menyala antara empat sampai delapan jam sehari, dengan tempat yang bergiliran di seluruh wilayah jalur Gaza.

    Berbagai himpitan terus mendera rakyat Gaza sejak dikepung oleh Zionis Israel tahun 2007. "Sebenarnya pengepungan itu sudah dimulai sejak 2006, yaitu sejak Hamas dengan izin Allah memerdekakan Gaza," jelas seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri Palestina di Gaza kepada Sahabat Al-Aqsha.

   "Namun Zionis secara resmi mengumumkan kepada dunia internasional, mengepung Gaza sejak 2007. Dan sampai hari ini negara-negara dunia mendiamkan kezhaliman ini berlangsung..."

   Selama perjalanan melintasi Jalur Gaza kemarin sore, seorang penjemput Tim kita menunjukkan, semua barang keperluan rakyat Gaza terpaksa masuk lewat terowongan.

   Sebuah trailer besar mengangkut ratusan sak semen melintas. Tumpukan generator listrik di pinggir jalan. Alat-alat rumah tangga. Sayur mayur. "Semua itu masuk lewat terowongan yang jumlahnya lebih dari seribu..." katanya.

   "Akibatnya banyak rakyat Gaza yang tak mampu beli apa-apa, karena harga-harga melangit," tukasnya lagi.

    Kenapa harus lewat terowongan? "Karena pemerintah Mesir masih terikat perjanjian 'damai' dengan Zionis," jelasnya.

    Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Zionis Israel Menachem Begin, dimediasi Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, menyepakati perjanjian Camp David pada tahun 1978.

   Meskipun tahun lalu rakyat Mesir, dengan izin Allah, telah menjungkalkan Presiden Husni Mubarak, saat ini pemerintah transisi Mesir masih terpaksa menjalankan perjanjian 'damai' itu.

   Akibatnya, aliran manusia yang keluar masuk lewat perbatasan Rafah masih sangat dipersulit. Contohnya, 25 ribu ton solar bantuan dari pemerintah Qatar untuk Gaza, sampai ketika tim kita melintas pelabuhan Al-Arish, Mesir, masih tertahan di sana.

   Akibatnya krisis listrik dan BBM masih belum terselesaikan. Di tengah berbagai kezaliman internasional yang menderanya, rakyat Gaza masih teguh, sabar, dan berani. *Sahabat Al-Aqsha

Suara Hidayatullah | Juni 2012/ Rajab 1433, Hal 20 - 22

No comments