Jakarta Sekuler?
Jakarta Sekuler?
Situs berita antaranews.com, pada 21 Juni 2012 lalu menurunkan berita berjudul "Pemikiran sekuler Jokowi-Ahok". Disebutkan, bahwa Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Pemuda Nusantara (Gema Nusantara); Jay Mulyadi, menilai, pemikiran sekuler pasangan Jokowi - Ahok (Gubernur dan Wakil Gubernur DKI -red), yang memisahkan agama dengan konstitusi merupakan wacana yang baik bagi negara pluralis seperti Indonesia.
"Pemikiran Jokowi-Ahok seharusnya menjadi wacana yang bagus di negara yang pluralis seperti ini", Kata Jay dalam diskusi Bedah Pemikiran Jokowi-Ahok di Jakarta. Dikatakan Jay, pemikiran untuk memisahkan antara agama dan konstitusi bukan barang haram.
"Pemikiran sekuler yang memisahkan dengan tegas antara agama dan konstitusi itu tidak haram," Katanya menandaskan. Jay mendukung pernyataan Ahok yang menyebut; "Kita harus lebih patuh pada ayat konstitusi daripada ayat suci" dan juga "Kalau membandingkan kehidupan manusia dari zaman jahiliyah, memang berpegang pada ayat suci. Tetapi, kalau hidup bernegara, tentu memakai ayat konstitusi."
Pernyataan Ahok itu, menurut Jay, lebih pada konteks bernegara. Pernyataan itu menyulut kontroversi akibat pemahaman yang dangkal karena dipenggal kata-katanya. Gagasan sekulerisasi menjadi sangat populer di dunia Internasional.
Menyusul diterbitkannya buku Harvey Cox; The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perpective, (New York: The Macmillan Company, 1967). Dalam bab "The Biblical Source of Secularization", dikutip pendapat teolog Jerman; Friedrich Gogarten: "Secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history."
Sekulerisasi, menurut Cox, adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bibel terhadap sejarah. Menurut pakar teologi AS ini, sekulerisasi adalah "Pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari 'dunia lain' menuju dunia kini. Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum Kristen tidak sepatutnya menolak sekulerisasi.
Sebab sekulerisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bibel. Maka, tugas seorang Kristen adalah menyokong dan memelihara sekulerisasi. Dalam bukunya, Christianity in World History; Arend Theodor van Leeuwen menyebutkan bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekulerisasi.
Kata Leeuwen, Kristenisasi dan sekulerisasi adalah saling menjalin dalam relasi dialektis. Maka, menurutnya persentuhan antara kultur sekuler Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekulerisasi.
Sebab, kultur sekuler adalah hadiah Kristen kepada dunia. (Christianity's gift to the world). (Lihat, Mark Juergensmeyer, The New Cold War? (London: University of California Press, 1993).
Jika kultur sekuler sangat akrab dengan Kristen, maka tradisi sekuler justru sangat asing dan problematik bagi kaum Muslim sepanjang sejarahnya. Itu karena sifat ajaran Islam yang Integral dan perjalanan sejarah umat Islam yang sulit memisahkan antara aspek negara dengan agama.
Orientalis terkenal; Prof Bernard Lewis cukup jeli mengamati perbedaan karakteristik Islam dan Kristen soal sekulerisasi ini. Menurut Lewis, alasan kenapa kaum Muslim tidak mengembangkan dan menolak keras gerakan sekuler disebabkan perbedaan kontras antara pengalaman sejarah Islam dan Kristen. (Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and 29. Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).
Bagaimana pun Jokowi adalah Muslim, putra seorang hajjah yang berjilbab. Dan seorang Muslim mustahil menerima sekulerisasi sebagaimana didefinisikan Harvey Cox: "Pembebasan manusia dari asuhan agama!"
Dr Adian Husaini
Suara Hidayatullah Edisi Nopember 2012/Dzulhijjah 1433 Hal 83
No comments