Mengalahkan Dingin di Ranupane
Mengalahkan Dingin di Ranupane
Suka duka berdakwah di Gunung Semeru
Siang itu Ahmad Sofyan Hadi (34) baru saja pulang dari ladang. Ia punya sepetak tanah hasil sewa tahunan. Kini, tanah itu ia tanami kentang. Hasilnya, memang tak seberapa, tapi katanya, cukup untuk menopang hidupnya sebagai dai di Ranupane, Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sofyan, begitu biasa dipanggil, hidup bersama seorang istri dan seorang anak di Ranupane.Ia mengontrak sebuah rumah kecil berlantai tanah. Ruang tamunya pun menjadi satu dengan dapur. Saat ada tamu, ya di dapur itu pula.
Sofyan menemuinya sambil menyalakan tungku untuk menghangatkan badan. Maklum, sepanjang hari suhu udara di Ranupane memang dingin. Apalagi jika malam, dinginnya terasa menembus tulang. Bahkan, kata Sofyan, pada bulan Juli dan Agustus suhu udara bisa mencapai di bawah nol derajat.
Berada di ketinggian 2.200 di atas permukaan air laut, Ranupane terletak di antara Gunung Semeru dan Gunung Bromo, keduanya obyek wisata yang terkenal di Jawa Timur. Setiap pendaki yang hendak naik ke Semeru, pasti melewati Ranupane.
Desa ini memang menjadi salah satu pos penjagaan gunung merapi yang masih aktif itu. Dari Senduro sebenarnya jaraknya tidak jauh, cuma 27 kilometer. Tetapi karena medannya berat, jarak tempuhnya jadi lama, sekitar dua jam naik mobil.
Disamping sebagian besar rusak berat, jalannya mendaki dan sempit. Jika bersimpangan dengan mobil lain, salah satu harus rela berhenti. Tidak ada kendaraan umum, kecuali ojek. Sofyan datang ke Ranupane tahun 2007 dengan membawa sebongkah idealisme.
Pekerjaannya sebagai tukang las ia tinggalkan. Ia punya keprihatinan mendalam terhadap keadaan umat Islam di daerah penghasil kentang itu. Walau Muslim, masih banyak di antara mereka yang menjalankan tradisi ajaran Hindu.
Dulunya, semua penduduk Ranupane beragama Hindu, namun sejak salah satu tokohnya masuk Islam, satu persatu mereka mengikuti jejak panutannya, masuk Islam. Dalam perkembangannya kini umat Islam jadi mayoritas. Tetapi secara kualitas masih sangat memprihatinkan.
Memang pernah ada dai dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertugas di sini, namun pada tahun 2000 pindah tugas ke daerah lain. Nah, Sofyan datang untuk meneruskan dakwah dai terdahulu itu.
Memakmurkan Masjid
Awalnya, Sofyan sempat kebingungan. Pasalnya, meski Ranupane berada dalam satu kecamatan dengan desa kelahirannya, Senduro, tak ada satu pun orang yang ia kenal. Lalu ia datang ke rumah salah satu aparat desa untuk minta izin, sekaligus numpang tinggal.
Di Ranupane, khususnya di Dusun Bangkalan, waktu itu sudah ada masjid, meskipun kecil. Hanya saja masjid itu sedang "mati suri". Sofyan mencoba menghidupkan kembali dengan mengadakan shalat Jumat. Betapa kagetnya Sofyan, jamaah yang hadir hanya segelintir.
"Hanya satu orang, itu pun seorang sales yang datang dari tempat lain," tegas Sofyan, yang ditemui di rumah kontrakannya akhir Maret lalu. Jadilah santri lulusan sebuah pesantren di Jember ini memborong semuanya.
"Ya muadzin, ya Khatib, ya Imam," kata Sofyan sambil tertawa. Agar masjid lebih hidup lagi, Sofyan membuka pengajian sore dan malam untuk anak-anak. Mulanya hanya beberapa anak, lalu terus bertambah hingga kini.
"Alhamdulillah, sekarang kalau masuk semua, ada 80 anak," katanya. Karena warga Ranupane masih awam soal agama Islam, Sofyan juga pernah diminta mengajar di sebuah Taman Kanak-kanak Islam. Dialah satu-satinya guru TK yang pria, sedangkan yang lainnya wanita.
Selain TK Islam tersebut, ada juga TK lainnya, tetapi TK Kristen. Ini barangkali agak aneh. Dari 500 Kepala Keluarga (KK), umat Kristennya cuma 7 KK, tapi mereka punya TK dan membangun gereja.
Fasilitas pendidikan lain yang ada hanya sekolah dasar milik pemerintah. Jika lulus SD dan ingin melanjutkan ke SMP, paling dekat harus pergi ke Senduro. Mungkin karena kendala jarak inilah mereka enggan melanjutkan sekolah.
Sehingga mayoritas warga Ranupane hanya lulusan SD. Dakwah Sofyan tak hanya lewat masjid, TK, ia juga sering datang ke rumah warga. Kadang untuk mengambil hati obyek dakwahnya, Sofyan tak segan turun ke ladang membantu para petani mencangkul atau menyemai tanaman sayuran.
"Saat istirahat saya selipkan nasehat-nasehat agama," kata Sofyan yang tiap bulan mendapat tunjangan hidup dari Badan Dakwah Pertamina Surabaya.
Nyaris Frustasi
Kerikil-kerikil dalam perjalanan dakwah tentu saja selalu ada. Demikian pula yang dialami Sofyan. Pada masa awal berdakwah ia nyaris pulang kampung. "Saya tak tahan hawa dinginnya," katanya. Namun, ia terus memohon bantuan-Nya, agar urusannya dimudahkan.
Sofyan juga pernah akan diusir. Tak jelas apa alasannya. Kemungkinan, katanya, ada yang tak suka dengan dakwahnya. "Ngomong langsung ke saya sih tidak, tapi saya mendengar dari orang lain," ujar Sofyan.
Suatu saat, Sofyan pernah pula dilabrak orang. Ceritanya, ia melihat seorang anak tak mau sekolah. Sebagai guru, perasaannya tersentuh. Ia datangi orangtuanya, lalu ia mengajak masuk ke TK di mana ia mengajar.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba ia didatangi seseorang, Dia bilang; 'Jangan mengajak anak yang sudah sekolah', Sofyan menirukan perkataan orang tersebut. Belakangan ia baru tahu bahwa anak yang tak mau sekolah itu murid TK Kristen.
Mungkin, Sofyan dianggap menyerobot sehingga mereka marah. Kini, lima tahun sudah Sofyan menyalakan tungku Islam di Ranupane. Adakalanya ia merasa lelah dan bahkan nyaris frustasi. "Ada perasaan gagal, karena dakwah saya begini-begini saja," ucap Sofyan.
Jika sudah begitu, rasanya ia ingin pulang kampung menjadi tukang las lagi. Tetapi bila mengingat kembali keadaan umat Islam di Ranupane, semangatnya menyala lagi. Betapa tidak, dimana-mana bila shalat Jum'at Masjid penuh dengan jamaah.
Tapi di Ranupane masjidnya sepi. "Paling banyak empat shaf," katanya. Keadaan umat seperti itu tentu saja terus membutuhkan pembinaan. Nah, Sofyan ingin melahirkan kader yang bisa meneruskan dakwahnya. Kini, anak-anak yang mengaji padanya baru menginjak usia remaja. "Kelak, merekalah yang meneruskan dakkwah saya," kata Sofyan berharap. Semoga Allah mengabulkan harapannya.
Cerita Abah Amin
Orang yang berjasa atas perkembangan Islam di Senduro, di antaranya adalah Abah Amin (90). Ia tokoh yang membuka Ranupane menjadi pemukiman seperti sekarang. Proses masuk Islamnya unik. Sebagai tokoh yang kerap kedatangan tamu, Ia selalu bingung bila tamunya hendak shalat.
Demi menghormati tamu, ia kemudian membangun Mushalla di sebelah rumahnya. "Waktu itu saya masih Hindu" katanya. Tak mudah bagi Abah membangun mushalla. Ia, katanya hampir dikeroyok warganya sendiri.
"Mereka tak setuju, karena dianggap akan merusak agama Hindu," kata Abah yang ketika itu masih beragama Hindu. Setelah Mushalla berdiri, atas dorongan beberapa kiai di Lumajang, Abah lalu berangkat haji pada 1993.
Tentu saja sebelum berangkat mesti membaca doa kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam. Setelah pulang Haji, Abah gigih mengajak warganya masuk Islam, sehingga kini Islam di Ranupane menjadi mayoritas. *Bambang Subagyo
Suara Hidayatullah | Juni 2012/ Rajab 1433, Hal 30 - 31
Dikutip ulang dari Kultwit @ArdyErlangga (Follow me ya)
No comments