Hidup Semakin Tak Berkah
Hidup Semakin Tak Berkah
عَنْ اَبِِىْ هُرَ ْيرَ ةَ اَنَّ رَسُوْ لَ الله صَلَّ الله عَلَيهِ
وسَلَّمَ َمرَّ عَلَي ُصبْرَ ةِ طَعَا مٍ فَاَ د خَلَ يَدَ هُ فِيهَا، فَنا
لتْ ا صَا بِعُهُ بَللاً فقا ل ؛ ما هذا يا صا حِبَ الطّعَا ؟ قا ل اصا
بتهُ السّما ءُ يَا رَ سُو لَ الله ، قا ل؛ اَ فَلَا جَعَلْتَهُ فَوْ ٠قَ
الطَّعَا مِ كَي يَرَ ا هُ النٌا سُ ، مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مَنَّيْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu bahwa, Rasulullah SAW pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya; "Apa ini wahai pemilik makanan?" Dia menjawab; "Makanan tersebut terkena air hujan, wahai Rasulullah." Beliau bersabda; "Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya? Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku." (Riwayat Muslim no 102)
Muqadimmah
Sejak reformasi bergulir dengan sistem demokrasi
sebagai rujukan utamanya, beragam kemungkaran tumbuh dan bermunculan.
Realitas ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan.
Sebab, hal itu telah menjadi akibat logis berpalingnya manusia dari
Al Qur'an dan Sunnah. Salah satu kemungkaran yang marak terjadi
belakangan ini adalah curang.
Model dan bentuknya sangat beragam. Dari nyontek dalam ujian,
manipulasi atau memalsukan data, hingga korupsi, kolusi dan lainnya. Tak
jarang kemungkaran ini dilakukan secara bersama-sama, terorganisir dan
mendapat restu dan persetujuan atasan.
Yang membuat kita miris, pelaku dan penggemar praktek ini tak
jarang adalah orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad
Shallahu Alaihi Wassalam (SAW).
Sungguh ironi. Sebab, Rasulullah SAW sebagai panutan kita tak kenal
kompromi dengan yang namanya kecurangan. Tidak hanya kepada sesama
Muslim, kepada non Muslim sekalipun Rasulullah SAW melarang keras
umatnya berlaku curang.
Makna Hadits
Hadits di atas termasuk dalam kategori Hadits waid atau ancaman. Ancaman ditujukan kepada mereka yang melakukan gisy. Makna gisy adalah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang disembunyikan. (Lihat al-Qamus Al-Fiqhi, DR. Saad Abu Habib).
Makna ini sangat sesuai dengan Hadits di atas. Rasulullah SAW
menghukumi sikap pedagang yang menampakkan sesuatu yang berbeda dengan
yang disembunyikan sebagai praktek gisy atau kecurangan.
Meski konteks Hadits di atas adalah jual beli, namun cakupan hukumnya bersifat umum. Maksudnya, menipu dan berlaku curang yang diancam tidak terbatas dalam jual beli.
Semua bentuk tipu menipu masuk di dalamnya. Hal ini sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh; Al-ibratu biumumillafdz la bikhususi sabab (pelajaran diambil dari keumuman lafadz, bukan pada kekhususan sebab).
Karenanya, praktek curang tidak saja terjadi pada jual beli.
Praktek curang bisa dijumpai dalam politik, ekonomi, pendidikan dan
lainnya. Adapun lafadz falaisa minni (bukan dari golonganku, edt.) adalah salah satu bentuk uslub yang kerap digunakan oleh Rasulullah SAW dalam mengancam.
Terkait dengan lafadz ini para ulama memberikan penjelasan, falaisa
minni bisa bermakna keluar dari golonganku jika ia melakukan praktek
gisy dengan meyakininya sebagai sesuatu yang halal.
Kenapa? Sebab ia telah menghalalkan yang haram. Sedangkan jika
tidak meyakini kehalalannya, maka makna gisy adalah tidak berada di atas
petunjuk dan jalanku, namun tetap dihukumi sebagai seorang Muslim.
Makna ini semakin menegaskan bahwa praktek curang adalah dosa besar. Karena pengertian dosa besar sendiri sebagaimana dinukil Ibnu Hajar; "Setiap
dosa dicap oleh Al Qur'an, Hadits atau ijma bahwa ia dosa besar atau
disebutkan ancamannya yang sangat keras atau ada had-nya di dunia atau
diingkari dengan pengingkaran yang sangat tegas." (Lihat Fathul Bari Bab Ramyul Muhshanat).
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa praktek curang sangat
berbahaya dan tak bisa dianggap enteng. Ancamannya tidaklah ringan.
Perbuatan curang bisa mengancam keimanan.
Tidak Berkah
Di sekitar kita cukup banyak perilaku yang mengerus keberkahan
hidup kita. Kealfaan kita dalam menegakkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW
adalah salah satu di antaranya.
Jika penggerus keberkahan ini berkumpul dan mengepung kehidupan
kita, maka hidup ini tak ubahnya sebagai mukaddimah sebelum mencicipi
ancaman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (SWT).
Setan memang makhluk yang lihai dan juga licik. Terkadang
kita diajak fokus pada tujuan, tetapi dilalaikan dalam hal proses
mencapai tujuan. Sehingga tak jarang, bermodalkan tujuan yang baik
proses menuju kepada kebaikan tak lagi dirisaukan.
Inilah kaidah orang zionis, yang mengatakan tujuan menghalalkan segala cara. Hasrat menghalalkan segala cara kadang menyelinap dalam pikiran tanpa disadari.
Saat kita terdesak dengan sesuatu yang sangat kita butuhkan,
pikiran kita langsung bekerja mencari jalan pintas dan praktis meski
melabrak ketentuan Al Qur'an dan sunnah.
Boleh jadi kita mendapatkan banyak hal dari kecurangan yang kita
lakukan. Uang banyak kita miliki, jabatan prestisius bisa kita duduki
atau nilai ujian yang tinggi.
Namun, kita tanpa sadar telah berbohong dan menipu banyak orang.
Orang yang kita bohongi adalah termasuk orang yang kita zalimi. Lantas
apa arti itu semua yang kita capai jika tidak diperoleh dengan cara yang
tidak halal?
Jelas tidak ada artinya karena telah kehilangan keberkahan. Dalam
satu Hadits Rasulullah SAW pernah mengingatkan pentingnya jujur dan
bahaya melakukan kecurangan.
"Jika ia jujur dan transparan dalam jual belinya maka ia
diberkahi. Sebaliknya, jika ia dusta dan menyembunyikan maka
keberkahannya akan dimusnahkan oleh Allah." [Muttafaqun Alaih]
Curang Membuat Bangkrut
Jika para salafussalih sangat takut dan berusaha menjauhi jabatan,
zaman sekarang sebaliknya, orang berebut untuk menjadi pejabat. Yang
lebih menyedihkan lagi karena diajang rebutan ini sering disertai dengan
praktek curang.
Celakanya lagi, hasrat berbuat curang itu kadang sulit reda. Bahkan
ketika jabatan sudah diraih, keinginan berbuat curang semakin
menjadi-jadi. Tepat sekali jika kemudian Rasulullah SAW mengeluarkan
ancaman secara khusus kepada pejabat yang berlaku curang,
"Tidaklah seorang hamba di antara kalian diberikan tanggung
jawab mengurusi umat, lalu kemudian ia mencurangi rakyatnya kecuali
Allah akan mengharamkan baginya surga." (Muttafaqun Alaih)
Berlaku curang adalah maksiat yang terkait dengan hak Allah SWT dan
sesama manusia, maka proses bertobatnya tidaklah mudah. Sebab,
pelakunya mesti mendapat maaf dari orang yang dicuranginya.
Jika tidak, maka perbuatan zalimnya akan ditebus dengan pahala
kebaikannya. Jika pahalanya telah habis maka ia harus rela memikul dosa
orang yang dizaliminya.
Inilah yang sangat ditakutkan oleh salafussalih. Sehingga mereka
berusaha berlari sekuat mungkin dari segala hal yang bisa
menjerumuskannya pada kecurangan. Bagaimana dengan kita?
Ahmad Rifai
Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah, Balikpapan
Suara Hidayatullah Edisi Juni 2012, Hal 90-91
Dikutip Ulang dari @ArdyErlangga
No comments