Gush Katif: Contoh Sempurna Sebuah Futuhat
Gush Katif: Contoh Sempurna Sebuah Futuhat
Dikutip ulang dari @ArdyErlangga
Suara Hidayatullah / Juni 2012 /Rajab 1433, Hal 27 - 28
Apa yang akan dilakukan para Mujahidin Palestina kalau seluruh
wilayah tanah suci ini berhasil dibebaskan (futuh) dari penjajahan?
Jawabannya bisa dikira-kira kalau kita berkunjung ke Gush Katif.
Ini sebuah kawasan Gaza yang dulunya seratus persen dikuasai oleh
Zionis Yahudi sejak tahun 1967. Pada bulan Agustus 2005, Perdana Menteri
Zionis Ariel Sharon memutuskan menarik mundur semua pemukim Yahudi di tanah subur itu.
Jumlah mereka seluruhnya hanya sekitar 9000 orang. Saat menarik
mundur pemukim Yahudi dari wilayah ini, para tentara Sharon
diperintahkan menghancurkan semua rumah-rumah tinggal mewahnya, supaya
tak bisa ditempati tinggal oleh rakyat Palestina.
Sejak itu, pemerintah Gaza yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ismail Haniyah menjadikan Gush Katif sebagai salah satu sumber kesejahteraan ekonomi bagi rakyat Gaza yang kini berjumlah 1,7 juta jiwa.
Lihat perbandingannya, dari yang tadinya hanya bisa dinikmati 9000
orang, kini oleh 1,7 juta. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk Universitas Al
Aqsa untuk 17 ribu mahasiswa dan mahasiswi plus sekitar 200an orang
dosen, sebuah komplek rekreasi bernama Madinatul 'Azda seluas sekitar 50
hektar, dan perkebunan subur seluas lebih dari 500 hektar.
Tim kita diajak oleh seorang Komisaris Besar Polisi Gaza untuk berkeliling di kawasan Gush Katif dan Neve Dekalim. "Dulu waktu orang Yahudi menguasai kawasan ini, tidak satu orang Palestina pun dibolehkan lewat atau masuk di sini," kata Kombes Polisi Abu Muhammad, sengaja tidak disebut nama aslinya.
Saat berkunjung di Madinatul 'Azda, kami menjumpai belasan bus
berisi ratusan anak sekolah dari wilayah Gaza yang lain, berekreasi ke
tempat yang lanskapnya indah itu.
Gabungan antara dataran pasir yang menjorok ke pantai dan
perbukitan pasir. Di situ ada taman ria dengan peralatan yang sudah tua
berwarna-warni cerah. Ada kebun binatang yang tak seberapa besar.
Ada kolam rekreasi air lengkap dengan perosotan raksasa
warna-warni. Ada perbukitan pasir yang di sana-sini ditumbuhi berbagai
jenis pohon dan semak-semak hijau, dan di sana-sini ada gazebo tempat
orang duduk santai sambil menikmati secangkir kopi arab, kurma dan
kebab.
Karena bersama dua perwira polisi, kami digratiskan masuk oleh
penjaga di depan pintu gerbangnya. Di bawah sebuah gazebo beratap daun
kurma kering, Abu Muhammad menjelaskan, "Sejak bangkitnya Intifadhah
pertama tahun 1987, tidak henti-hentinya para Mujahidin menyerang
tentara Yahudi yang menjaga kawasan ini..."
Salah seorang anggota Tim sahabat al aqsha menimpali, "kawasan ini mirip dengan yang dipakai pembuatan film 'Imad Aqil ya...?" "Yaaa betul," kata Abu Muhammad, "Di sinilah memang pembuatan filmnya. Dan memang di sini jugalah salah satu daerah operasi Jihad 'Imad Aqil."
Di Universitas Al Aqsha yang komplek bangunannya indah, kami di sambut oleh Dr Hamid Moammar, dosen ilmu Tarbiyah lulusan Sudan, "Selamat
datang... bangunan rektorat ini dulunya kantor kecamatan Neve Dekalim,
pusat pemerintahan bagi 17 kawasan pemukiman Yahudi di Gush Katif ini," jelasnya.
Di dekat tempat kami ngobrol, dua bis tua siap mengangkut para
mahasiswi pulang ke rumahnya. Kawasan ini memang terletak agak jauh dari
pusat-pusat pemukiman rakyat Gaza seperti Rafah, Khan Yunis, maupun
kota Gaza.
"Seluruh komplek ini, dipertahankan bentuknya sebagaimana dulu kami mengambil alih dari Yahudi Zionis," jelas Abu Muhammad. Tiba-tiba saja, Abu Yunus, seorang pengawal Tim kita yang sangat pendiam, berkata sambil tersenyum, "Saya ikut membebaskan Gush Katif."
Saat ditanya lebih jauh apa saja pengalamannya ketika itu, Abu
Yunus hanya senyam-senyum dan kembali menjadi pendiam. Sampailah kami di
perkebunan Gush Katif yang sangat terkenal.
Dengan nada penuh kebanggaan, Abu Muhammad mengajak kami mengunjungi salah satu mata air. "Ada
dua alasan kenapa Yahudi Zionis mati-matian mempertahankan tempat ini,"
katanya, "pertama, garis pertahanan militer yang sangat strategis
menghadapi Mesir jika sewaktu-waktu terjadi perang lagi; kedua, karena
di seluruh kawasan ini terdapat 30 mata air kaya. Satu-satunya di Gaza
yang kualitas airnya melimpah dan tidak perlu dimasak lagi untuk
diminum."
Abu Muhammad mengajak kami singgah di sumur air no.23, berpagar
beton, yang dijaga oleh seorang pria yang ramah. Sebuah papan
bertuliskan "Otorita Palestina" dan berlambang burung elang terpasang dengan nomor sumur yang tertera.
Sebuah mesin pompa tua berwarna hitam berteriak-teriak bising
memompakan ribuan galon air setiap hari ke kebun-kebun di sekitarnya.
Abu Muhammad meminta pria itu mencopot sebuah selang hitam, dan menyuruh
salah seorang anggota Tim kita meminum airnya.
Mmmm... Bening dan segar. Sesudah inspeksi mendadak di sumur itu,
kami diajak berkeliling melihat-lihat kebun yang sebagian besar tak
terurus. Ada pepohonan kurma.
Gandum. Dedaunan mint yang hijau segar. Ada juga jambu dan pepaya.
Jambu dan pepaya? Ya jambu dan pepaya. Menurut Abu Muhammad, pengepungan
militer-ekonomi-politik yang dilakukan Israel atas Gaza mengakibatkan
ratusan hektar perkebunan tak bisa dikelola dengan baik.
"Selain modal asing dicegah untuk masuk, kalaupun panen kami
dicegah untuk masuk, kalaupun panen kami dicegah untuk menjualnya
keluar..." Tukasnya.
Di dalam mobil yang meluncur ke arah Rafah, Abu Muhammad menutup pembicaraan kami tentang Gush Katif. "Jangan khawatir, selama jihad masih berlangsung, hanya tinggal tunggu waktu saja..." *Sahabat Al-Aqsha.
Dikutip ulang dari @ArdyErlangga
Suara Hidayatullah / Juni 2012 /Rajab 1433, Hal 27 - 28
No comments