Breaking News

Syariat di Mimbar Jum’at


Syariat di Mimbar Jum’at
Senin, 5 Jumadil Akhir 1437 H - 14 Maret 2016


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Qs. Al Ahzab (33) : 36)

  Setiap Jum’at menjelang tengah hari, masjid-masjid di negeri ini selalu penuh dengan jama’ah. Kalau pun tidak penuh, setidaknya, jumlah jama’ah ketika itu jauh lebih banyak ketimbang waktu-waktu shalat fardhu. Rasanya patut kita bersyukur atas fenomena ini meski masih jauh dari rasa sempurna.

  Lalu coba simak materi ceramah yang disampaikan Khatib pada setiap Jum’at yang dipenuhi Jama’ah tersebut. Tentang apa mereka berbicara? Pernahkah mereka berbicara soal syariat? Pernahkah mereka berucap tentang kewajiban Jihad? Pernah pulakah mereka bertutur tentang hukum hudud?

Jarang! Bahkan amat sangat Jarang

  Penelitian ilmiah memang belum kita dengar mengenai hal ini. Namun, data empiris bisa kita dapatkan dengan mudah. Bukankah kita sendiri sering melakukan shalat Jum’at?

  Lalu, tentang apa para Khatib itu lebih banyak berbicara? Jawabnya, tentang peningkatan Taqwa dan implementasinya dalam beribadah.

  Memang, pesan Taqwa menjadi salah satu rukun Khutbah Jum’at. Namun, bukan berarti persoalan Syariah tak boleh disampaikan pada saat Khutbah Jum’at. Apalagi saat ini kesempatan paling efektif untuk menyampaikan persoalan syariat kepada masyarakat justru ada pada Khutbah Jum’at.

   Lalu mengapa para Khatib tersebut seolah-olah enggan berbicara Syariat di mimbar Jum’at? Kita berbaik sangka bahwa bukan tanpa sebab mereka melakukan itu. Bukan mereka tak mau, tapi masyarakatlah yang tak siap secara Aqidah menerima materi tersebut.

   Masyarakat Muslim di negeri ini entah disengaja atau tidak terkondisi untuk menerima ajaran agama yang terasa bersahabat dengan mereka. Mereka tak suka terlalu banyak dilarang, tak pula suka terlalu dibebani oleh kewajiban.

  Kondisi seperti ini jauh berberbeda dengan keadaan masyarakat semasa Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam dan para Shahabat. Ketika perintah datang, kaum Muslim saat itu bergegas melaksanakannya meski dalam kondisi darurat.

   Ketika perintah menutup aurat datang, misalnya, para wanita Muslim segera melaksanakannya meski harus menyobek tirai-tirai jendela rumah mereka. Begitu juga ketika larangan meminum khamar turun, semua Muslim bergegas menumpahkan seluruh minuman memabukkan tersebut di jalan-jalan meski sebenarnya mereka amat menyukainya.

Lalu bagaimana dengan kita sekarang?

   Inilah persoalan yang mesti kita retas. Para dai harus bekerja keras menyiapkan Aqidah kaum Muslim di negeri ini agar siap menerima Syariat dengan segala konsekuensinya sebagaimana masyarakat Islam pada masa lalu.

   Jika tidak mereka akan mencari ideologi lain yang seolah-olah sempurna padahal menggelincirkan. Naudzubillahi min dzalik! Wallahu a’lam

Suara Hidayatullah Desember 2012 – Muharram 1434 H, Hal 3

No comments