Keputusan Allah Versus Keputusan Presiden
Keputusan Allah Versus Keputusan Presiden
Ahad 16 Rajab 1437 H | 24 April 2016
“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka
tunggulah kehancuran itu.” (Riwayat Bukhari)
Awal tahun ini (2012, edt) masyarakat dikejutkan oleh keinginan Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) mencabut peraturan daerah (perda) tentang pelarangan minuman keras
yang diterbitkan oleh Sembilan pemerintah daerah.
Alasan Pak
Menteri sederhana saja. Ia menganggap Sembilan perda tersebut bertentangan
dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan
pengendalian minuman beralkohol yang levelnya berada di atas perda-perda
tersebut.
Keppres
tersebut menjelaskan bahwa minuman beeralkohol golongan A (dengan kadar etanol 0-5 persen)
diperbolehkan untuk diproduksi, diedarkan dan dijualbelikan.
Jadi,
menurut pak Menteri, jika ada perda yang melarang pengedaran minuman beralkohol
dengan kadar berapapun, itu bertentangan dengan Keppres yang justru membolehkan
minuman beralkohol golongan A.
Nah, sebagai
abdi Negara, Pak Menteri merasa wajib meluruskan perda-perda yang “nakal” ini. Keputusan Presiden baginya
lebih patut dituruti ketimbang peraturan daerah. Begitulah logikanya.
Rencananya
Pak Menteri ini rupanya bukan sekedar wacana. Bahkan, sejak beberapa bulan
sebelum isu miras ini menghangat, ia sudah mengambil tindakan.
Pada kasus
Tangerang, Banten, misalnya, Republika
Online melaporkan bahwa sejak pertengahan tahun 2011, Pak Menteri telah
berkirim surat kepada Walikota agar menghentikan pelaksanaan perda nomor 7
tahun 2005 tentang pelarangan peredaran dan penjualan minuman beralkohol di
kota ini.
Aksi Pak
Menteri ini tentu saja menuai reaksi keras dari umat Islam di daerah tersebut.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang bersama 11 Organisasi Masyarakat
(Ormas) Islam Kota Tangerang sepakat menolak rencana pencabutan ini.
Pak
Menteri, lewat juru bicaranya ketika itu, tetap tak bergeming. Katanya, “Itu
sudah ketentuan!”
Ketentuan
siapa? Tentu ketentuan Presiden, “majikan” Pak Menteri. Bukankah ketentuan Sang
Khaliq yang levelnya jauh lebih tinggi ketimbang Presiden.
Kemarahan
Presiden agaknya lebih ditakuti Pak menteri ketimbang kemurkaan Sang Khaliq,
sehingga ia rela menafikan aturan Sang Penciptanya yang mengharamkan minuman
beralkohol meski kadarnya sangat kecil.
Pak Menteri
rupanya memilih untuk mengambil keputusan “amat berani”. Keputusan itu kelak
akan ia pertanggungjawabkan ke hadapan Sang Khaliq di pengadilan akhirat.
Bagi siapa
saja yang ingin menjadi pejabat Negara sebagaimana Pak menteri, cerita ini amat
menarik untuk dijadikan bahan renungan.
Pilihan
sebagaimana dihadapkan kepada Pak Menteri akan kerap kita temui. Siapkah kita
memilih, lalu mempertanggungjawabkan pilihan itu kepada Sang Pencipta?
Sungguh
naïf jika jabatan tersebut justru akan menghantarkan kita kepada Neraka
Jahannam yang amat menakutkan.
Ada baiknya
kita luruskan niat terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menjadi
pejabat public. Tanyakan kepada hati kecil apa yang ingin kita cari dengan
jabatan tersebut?
Apakah
ridha Allah, atau sekedar memuaskan nafsu semata?
Semoga Pak
Menteri mau memikirkan kembali rencana pencabutan perda miras itu. Wallahu a’lam
Suara Hidayatullah | Februari
2012 | Rabiul Awal 1433, Hal 4
No comments