Demokrasi Dan Syuro
Demokrasi Dan Syuro
Senin, 19 Oktober 2009 / 30 Syawwal 1430فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran (3) : 159)
Menurut beberapa riwayat, ayat ini turun ketika kaum Muslimin khawatir tidak diajak lagi bermusyawarah oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wa Salam (SAW) setelah pasukan Islam mengalami kekalahan dalam perang Uhud.
Seperti diketahui, sebelum perang Uhud, Rasulullah SAW mengajak kaum Muslimin bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut mayoritas peserta menghendaki agar pasukan Muslim menyongsong kedatangan pasukan kafir di luar kota, sedangkan pendapat Rasulullah SAW sendiri adalah menunggu kedatangan mereka sampai kota Madinah.
Saat itu, Rasulullah SAW memilih pendapat mayoritas, yaitu menyongsong musuh diluar kota. Setelah perang usai ternyata strategi yang disepakati mayoritas itu salah, terbukti dengan kekalahan di pihak pasukan Islam.
Di tengah kekhawatiran tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menurunkan ayat di atas untuk mempertegas bahwa musyawarah adalah bagian penting dan strategi dalam membangun kehidupan sosial yang Islami. Sebuah jamaah atau komunitas Islam tidak boleh meninggalkan musyawarah hanya karena alasan bahwa keputusan syuro bisa salah atau bahkan kesalahan tersebut akan membawa petaka, berupa kekalahan.
Pilihan Rasulullah SAW untuk mengikuti pendapat mayoritas adalah sebuah qudwah sekaligus uswatun hasanah bagi umat dibelakangnya. Beliau sendiri menegaskan; “Dua orang lebih baik daripada seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah).” (Riwayat Anas Bin Malik).
Tentu saja tidak semua keputusan harus didasarkan pada suara terbanyak. Dari tiga jenis keputusan, hanya satu yang bisa dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Tiga jenis keputusan itu adalah:
Menurut beberapa riwayat, ayat ini turun ketika kaum Muslimin khawatir tidak diajak lagi bermusyawarah oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wa Salam (SAW) setelah pasukan Islam mengalami kekalahan dalam perang Uhud.
Seperti diketahui, sebelum perang Uhud, Rasulullah SAW mengajak kaum Muslimin bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut mayoritas peserta menghendaki agar pasukan Muslim menyongsong kedatangan pasukan kafir di luar kota, sedangkan pendapat Rasulullah SAW sendiri adalah menunggu kedatangan mereka sampai kota Madinah.
Saat itu, Rasulullah SAW memilih pendapat mayoritas, yaitu menyongsong musuh diluar kota. Setelah perang usai ternyata strategi yang disepakati mayoritas itu salah, terbukti dengan kekalahan di pihak pasukan Islam.
Di tengah kekhawatiran tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menurunkan ayat di atas untuk mempertegas bahwa musyawarah adalah bagian penting dan strategi dalam membangun kehidupan sosial yang Islami. Sebuah jamaah atau komunitas Islam tidak boleh meninggalkan musyawarah hanya karena alasan bahwa keputusan syuro bisa salah atau bahkan kesalahan tersebut akan membawa petaka, berupa kekalahan.
Pilihan Rasulullah SAW untuk mengikuti pendapat mayoritas adalah sebuah qudwah sekaligus uswatun hasanah bagi umat dibelakangnya. Beliau sendiri menegaskan; “Dua orang lebih baik daripada seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah).” (Riwayat Anas Bin Malik).
Tentu saja tidak semua keputusan harus didasarkan pada suara terbanyak. Dari tiga jenis keputusan, hanya satu yang bisa dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Tiga jenis keputusan itu adalah:
- Keputusan yang berkaitan dengan hukum syariah. Terhadap keputusan ini, tidak harus dilakukan dengan suara terbanyak tetapi diserahkan kepada ahlinya. Siapa yang dapat menyampaikan dalil yang paling rajih, maka pendapat itulah yang harus diikuti.
- Keputusan yang berkaitan dengan disiplin ilmu dan segal hal yang berkaitan dengan masalah akademis. Terhadap keputusan ini, otoritasnya ditangan para pakar dan orang-orang yang ahli dibidangnya.
- Keputusan yang berkaitan dengan dengan melaksanakan tindakan seperti memilih wakil umat, kepala negara atau ketua organisasi. Terhadap keputusan jenis ini, yang paling afdhal adalah melalui suara terbanyak. Jenis keputusan ini tidak berkaitan dengan benar atau salah, halal atau haram juga tidak berkaitan dengan baik atau buruk.
Inilah yang membedakan antara syuro dengan demokrasi. Dalam demokrasi, ketiga jenis keputusan di atas bisa didasarkan pada suara terbanyak, karena suara mayoritas (rakyat) itulah yang paling berdaulat. Sedang dalam syuro, kedaulatan tertinggi tetap di tangan Allah SWT.
Ustadz Abdurrahman Muhammad
Pimpinan Umum Hidayatullah
Pimpinan Umum Hidayatullah
Suara Hidayatullah | Juni 2009 | Jumadil Tsani 1430 hal 12
Note:
246: Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya
No comments