Dongeng Berbau Syirik Dalam Kurikulum

Selasa, 26 Januari 2010 / 11 Safar 1431


Pertanyaan ini dilontarkan ke sebuah milis. Atas ijin penanya, saya akan mengulasnya dalam forum ini. Semoga bisa membawa manfaat lebih luas, terutama kepada para orang tua yang putra-putrinya masih duduk di bangku sekolah.

Dongeng-dongeng di Indonesia sepertinya banyak yang berbau syirik. Saya ingat dulu buku kumpulan dongeng isinya cerita seputar dewa-dewi yang diberi latar budaya daerah setempat. Apakah dongeng-dongeng itu harus dihilangkan dari kurikulum sekolah atau bagaimana?

Rasanya anak-anak sudah diajarkan sejak awal bahwa yangn namanya dongeng itu hanya sekedar cerita khayal yang tidak nyata, atau sekedar kepercayaan orang-orang zaman dulu. Jadi bukan untuk diyakini tapi untuk diketahui saja. Sama halnya ketika mempelajari keyakinan animisme dan dinamisme tempo dulu yang pernah berekembang di tanah air.

Mohon penjelasannya, Syukron


Proses belajar akan menghasilkan kesuksesan ketika ilmu-ilmu yang diajarkan saling mendukung. Inilah yang di dunia pendidikan modern disebut pendidikan integral. Sebaliknya, jika saling menafikan, maka perkembangan otak anak bisa terganggu. Anak menjadi bingung kecerdasannya menurun, dan yang lebih parah lagi dia akan kesulitan untuk membedakan yang haq dan bathil.

Tiap anak lahir dalam keadaan bersih ibarat kertas putih. Semua informasi yang didapatkan pertama kali akan dianggap benar karena dia belum memiliki informasi pembanding. Hal ini ditegaskan Nabi SAW, “Anak-anak dilahirkan dalam keadaan bersih. Orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Keberadaan dongeng syirik bisa membawa tiga kemungkinan:

Pertama; Apabila pendidikan akidah Islamiyah lemah, maka dongeng-dongeng itu akan menempel kuat di benak anak-anak sebagai suatu kebenaran. Kita lihat kan betapa banyak orang dewasa Muslim yang masih percaya kepada kesyirikan dan betapa sulitnya mencabut keyakinan tersebut. Ada anak kejatuhan batu petir saja langsung dianggap sakti mandraguna.

Kedua; Apabila pendidikan akidahnya seimbang dengan pengaruh dongeng-dongeng tersebut, maka anak menjadi bingung dan apatis terhadap kebenaran yang hakiki. Anak-anak ini bisa berakhir menjadi orang yang menolak semua hal-hal ghaib (tidak bisa diindera), menuhankan sains, dan terjerumus ke perangkap sekulerisme.

Dalam pendidikan di negara Barat sekuler, dongeng-dongeng fantasi memang diajarkan sejak kelas 1 SD, diimbangi diskusi mengapa disebut fantasi. Misalnya fable (binatang berbicara) dianggap karena pada kenyataan sehari-hari tidak ada hewan yang berbicara.

Hal ini mudah bagi akidah sekuler yang menafikan informasi-informasi agama. Jika model ini diadopsi dalam pendidikan Islam, salah-salah kisah Nabi Sulaiman yang berbicara dengan hewan akan dianggap fantasi. Demikian pula kisah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dan kisah-kisah mukjizat lainnya.

Ketiga; Apabila pendidikan akidah Islamiyah kuat disertai bimbingan yang terus-menerus (yakni orang tua/guru bisa menjelaskan kesalahan dongeng-dongeng tersebut secara meyakinkan dan siap menjawab mengapa cerita-cerita mukjizat dalam Al Qur’an bukan fantasi), barulah akidah anak-anak bisa terjaga.

Untuk menjalankan yang ketiga ini sangat berat terutama jika kita pun harus melawan pengaruh dari sekolah, guru, tetangga, teman, TV dan lain-lain. Terkadang, sekolah Islam pun tidak memfilter atau menjelaskan kesalahan dongeng-dongeng berbau syirik ini (pengalaman anak saya). Padahal, akidah adalah masalah terpenting dan paling mendasar. Tentunya kita tidak ingin bertaruh dalam masalah akidah.

Idealnya, segala dongeng berbau syirik/kufur dibuang dari kurikulum sekolah, terutama TK-SD-SMP. Untuk tingkat SMA, dengan asumsi bahwa mereka sudah baligh dan akidahnya sudah terasah dengan kuat, maka cerita/ilmu/informasi yang bertentangan dengan Islam boleh disampaikan, yakni untuk didiskusikan kesalahan-kesalahannya. Pada masa ini, jika gurunya seorang musyrik sekalipun, diharapkan siswa mampu mendebat pemikiran salah sang guru dengan cerdas.

Di samping berbahaya untuk diri sendiri, pengaruh pemikiran-pemikiran non Islam juga menghambat terbentuknya masyarakat Islam. Dengan pendidikan sekolah yang menanamkan ide-ide kufur dan syirik, Islam pun menjadi kian asing bagi masyarakat kita.

Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 61, Tanggal 20 Februari-6 Maret 2009 M/ 24 Shafar-9 Rabiul Awwal 1430 H, Hal 23