Inkompetensi Guru = Maraknya Kecurangan Ujian Nasional
Selasa, 02 Maret 2010 / 16 Rabiul Awwal 1431


Assalamu’alaikum Wr. Wb Bu Erma,

Saya mau bertanya, bagaimana mengubah budaya guru yang memberikan jawaban kepada siswa dalam Ujian Nasional?

Terima Kasih


HP.+62812610****


Wa’alaikum salam Wr. Wb.

Sangat menyedihkan, mendengar berita-berita tentang kecurangan yang terjadi dalam Ujian Nasional (UN). Bahkan, lebih miris lagi, kita disuguhi berita kecurangan yang terorganisir, seperti kasus Kepala Sekolah yang membentuk tim guru penjawab soal untuk dibagikan sebelum / selama UN.

Guru dan Kepala Sekolah tentu bangga bila murid-muridnya lulus 100 % dan merasa malu bila sedikit yang lulus. Guru takut dianggap bodoh, sedangkan Kepala Sekolah kuatir disebut tidak becus.

Jika jumlah kejadian seperti ini sedikit, maka bisa kita katakan ini adalah “kasus”. Namun, apabila jumlahnya banyak (kasus, kasus, kasus…), maka kita harus mewaspadai sistemnya, yakni Ujian Nasional itu sendiri.

Sebagaimana saya bahas dalam dua edisi sebelum ini, seharusnya pemerintah membentuk Badan Kajian Evaluasi Belajar Nasional. Badan inilah yang akan meneliti metode evaluasi apa yang terbaik untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia.

Mereka juga harus terjun ke pedalaman untuk melihat fakta standar pendidikan di luar Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sebagai contoh: beberapa guru matematika di Papua ternyata belum bisa menjumlahkan 32+3 (mereka jawab 65).

Mereka juga menjawab 0,10 ketika diminta untuk melengkapi deret bilangan 0,7 ; 0,8 ; 0,9… tak perlu jauh-jauh ke Papua, seorang guru di Jawa Timur mengajarkan bahwa 2/3 lebih besar daripada 3/4.

Masih banyak lagi contoh-contoh inkompetensi guru di negeri ini. Silahkan perhatikan, berapa guru Bahasa Indonesia yang bisa menulis (artikel, cerita, sastra). Banyak guru Bahasa Indonesia yang bahkan masih kebingungan soal penggunaan EYD.

Di sebuah sekolah setingkat SMA di Jawa Tengah, hanya ada satu guru Bahasa Indonesia yang berkomunikasi dengan bahasa Indonesia kepada murid-muridnya. Selebihnya, memilih berbahasa jawa, meskipun sedang menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia !.

Hal serupa terjadi di hampir setiap kelas Bahasa Inggris di seluruh penjuru negeri, yakni guru-gurunya sendiri belum mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Padahal, materi Listening (memahami percakapan melalui pendengaran) mengambil 40% dari soal-soal UN Bahasa Inggris.

Dalam bidang sains tak jauh beda. Pnegalaman saya dalam sebuah training untuk kurang lebih 40 guru SD di Jawa Tengah, ternyata hanya satu guru yang tahu bahwa Pluto tidak lagi termasuk planet dalam Tata Surya.

Mayoritas guru (bahkan mayoritas buku!) masih menyebut ikan untuk paus dan lumba-lumba.

Nah, jika kemampuan para gurunya seperti ini, mengapa murid-muridnya yang harus menanggung akibatnya (yakni gagal dalam UN?)

Di sini lah kita lihat pentingnya peningkatan mutu guru, sebelum kita bicara tentang menguji siswa secara nasional. Guru harus digembleng terlebih dahulu agar mantap keilmuannya dan sahih perilakunya.

Perilaku yang wajib diamalkan para guru ada dua, yakni Perilakunya terhadap murid (cara mengajar) dan Perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Guru yang mantap ilmu tetapi tidak bisa mentransferkan ilmunya sama saja dengan guru yang tidak paham ilmu, dikarenakan murid-muridnya sama-sama tidak paham terhadap ilmu tersebut.

Guru yang mantap ilmu dan pandai mengajar tetapi perilaku sehari-harinya banyak maksiat, maka akan merusak agama dan perkembangan jiwa anak didiknya.

Untuk itu, dalam rangka menghapuskan budaya curang dalam UN, langkah-langkah yang harus diambil adalah:

  1. Pemantapan akidah dan kajian syariat Islam agar guru-guru memahami kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai suri teladan bagi masyarakat (khusunya murid-muridnya).
  2. Penyetaraan Kompetensi guru secara nasional, melakukan pendidikan profesi dan ujian penguasaan materi.
  3. Menunda pelaksanaan UN (jika harus ada) sampai penyetaraan kompetensi guru bisa dituntaskan.
  4. Guru dan Sekolah hendaknya menjadikan hasil ujian siswa sebagai alat intropeksi diri, yakni sejauh mana kemampuan guru/sekolah bersangkutan untuk mendidik siswa sesuai standar.

Apabila ternyata tidak ada peningkatan setelah berkali-kali, maka barangkali profesi guru bukanlah pilihan terbaik baginya. Insya Allah ada profesi lain yang lebih cocok dan dia bisa menjadi hebat dalam profesi tersebut.

Di riwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW Bersabda: “Jika suatu urusan sudah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka nantikan saat tibanya (kehancuran/kiamat).”

Wallahu’alam bishowab.

Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 82, Tanggal 22 Januari – 5 Februari 2010 / 6-20 shafar 1431 H, Hal 19