Menangani Anak Aktif
Selasa, 16 Maret 2010 / 30 Rabiul Awwal 1431
Assalamu’alaikum, Ibu Erma.
Saya mau bertanya: Bagaimana sebaiknya sekolah yang tepat buat anak yang belum bisa mencapai target pembelajaran (kognitif, psikomotorik dan afaktif)? Anaknya lelaki kelas 1 SD.
Selama ini ortu berasumsi bahwa ia normal seperti yang lain. Padahal jika di kelas, si anak tidak bisa tenang dan tidak konsentrasi terhadap pelajaran, bergerak terus, pekerjaan tidak pernah selesai, sering mengantuk dan badannya gemuk.
Menurut info di rumah nge “drug” oleh ortu. Mohon dijelaskan. Terus terang saya kewalahan belum bisa menemukan cara menanganinya. Mau diangkat sisi positif, belum kelihatan.
Semester 1, ada kecendrungan jiwa sosialnya. Setelah libur kemarin, kondisinya lebih memprihatinkan.
Jazakillah khair.
Umu Jundi dari lembaga Pendidikan ALFAGAMA, Rowokele-Kebumen.
Umu Jundi yang dirahmati Allah, saya kurang paham apa maksud Ibu tentang “ngedrug” oleh ortu. Apakah “ngedrug bersama ortu” ataukah “diberi drug oleh ortu”? Jika yang pertama, maka hal ini perlu dilaporkan kepada pihak yang berwajib karena orang tua anak ini telah melakukan tindak pidana.
Jika yang kedua, maka perlu diteliti lebih lanjut apakah anak ini memang sudah dinyatakan dokter menderita penyakit mental, autis, hyperactive, atau yang lain. Jika ya, maka pembinaannya harus melibatkan banyak pihak secara lebih serius.
Seorang ahli harus mengevaluasi kondisi si anak dan menentukan apakah masih memungkinkan untuk belajar bersama dengan murid “biasa”, atau butuh pendamping khusus di kelas, atau bahkan harus dipisahkan dari rekan sekelasnya.
Keterbukaan dari orang tua si anak sangat diperlukan. Apabila orang tua tidak menunjukkan sikap positif, ibu perlu mengajak manajemen sekolah untuk duduk bersama mencari jalan keluar.
Namun, jika info penggunaan obat tersebut hanya gossip yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, maka kita akan berasumsi bahwa anak ini normal dan akan kita perlakukan normal.
Untuk itu, silahkan Ibu terapkan beberapa teknik pengajaran untuk anak aktif berikut ini:
Pertama: Jika kegemukannya sudah mengkuatirkan, maka keaktifan sang anak (yang Ibu sebutkan dengan “bergerak terus”) bagus sebagai penyeimbang. Bahkan, Ibu perlu memikirkan kegiatan-kegiatan tambahan agar anak ini punya kesempatan lebih banyak untuk membakar kalorinya.
Misalnya, diberi tugas untuk menghapus papan, mengambilkan buku dari kantor guru, mengatur meja-kursi kelas, dan sebagainya. Ibu juga perlu bekerja sama dengan guru olahraga.
Terkadang guru olahraga enggan memotivasi anak-anak gemuk dan cenderung membiarkan mereka bermalas-malasan. Hal ini tidak tepat. Walaupun pada awalnya sulit, harus diingat bahwa guru olah raga juga bertanggung jawab terhadap pertumbuhan fisik anak.
Menurut Ibnu Sina, pendidikan fisik menempati posisi yang tidak kalah penting dibandingkan pendidikan kognitif bagi anak-anak usia 6-14 tahun. Keduanya, ditambah pendidikan karakter, merupakan tiga sisi segitiga yang akan membentuk pendidikan yang utuh.
Kedua, Mengingat anak ini masih kelas 1 SD, sebaiknya Ibu lebih memfokuskan kepada pembinaan karakternya dan mengurangi target pencapaian kognitif. Ibu jelaskan kepadanya apa saja perbuatan-perbuatan yang Ibu sukai dan apa-apa yang Ibu benci.
Setiap kali si anak melakukan perbuatan baik, berilah dia hadiah (berupa pujian, pelukan, dll, tetapi jangan makanan). Ketika sebaliknya, ingatkan kembali tentang apa-apa yang Ibu benci.
Jika anak ini berbuat nakal untuk mencari perhatian, maka abaikan kenakalannya. Pada saat yang sama, pujilah anak lain yang berbuat baik. Selama dia tidak membahayakan temannya, Ibu tidak perlu bertindak berlebihan.
Ketiga, Tampaknya metode belajar yang cocok untuknya adalah belajar sambil bermain. Apakah Ibu sudah melakukannya? Belajar sambil bermain artiannya Ibu mengurangi penggunaan buku dan memperbanyak aktivitas.
Aktivitas ini bisa berupa belajar outdoor (diluar kelas) atau belajar dengan alat peraga. Contoh: gunakan alat bantu batang korek api atau batu kerikil untuk belajar perkalian.
Anak ini bisa mendapat tambahan tugas untuk mencari batu kerikil dan membaginya kepada teman-temannya.
Keempat, Beberapa anak menjadi hiper setelah makan coklat. Untuk itu, tolong Ibu perhatikan, apakah faktor makanan (dan makanan apa saja) yang mempengaruhi level keaktifan anak ini. Diskusikan hal ini dengan orang tuanya.
Terakhir, jangan biarkan anak-anak saling mengolok-olok. Hal ini penting, agar mereka –terutama anak ini – tidak menarik diri dari kehidupan sosialnya.
Semoga Allah memudahkannya untuk Umu Jundi dan mencatatnya sebagai pahala yang berlimpah. Amin.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 83, Tanggal 5 – 19 Februari 2010 M / 20 Shafar – 5 Rabi’ul Awwal 1431 H, Hal 19
No comments