Menyalahkan atau Menginspirasi
Menyalahkan atau Menginspirasi
Rabu, 26 September 2012/10 Zulqaidah 1433 H
Seorang anak perempuan kecil
kehilangan bandul kalung bermata safir biru. Ia tidak paham semahal apa permata
itu, namun ia tahu batu mulia tersebut sangat berharga. Disingkapnya selimut
dan seprei tempat tidurnya. Ia mencari di setiap sudut kamarnya, tetapi
perhiasan itu tidak juga tampak. Dengan rasa khawatir anak tersebut bercerita
pada ibunya. Ia kaget dengan kata-kata yang diucapkan ibunya.
“Sudah,
tidak apa-apa. Kalau sebuah benda hilang, artinya itu bukan milikmu lagi. Tidak
perlu risau,” ujar sang Bunda. Alih-alih marah atau ceramah panjang lebar
tentang betapa mahalnya permata tersebut atau menyalahkan kecerobohannya,
kata-kata si ibu malah begitu menenangkan hati si anak.
“Kalau
Allah berkehendak, nanti akan balik lagi. Tapi jika tidak, ya sudah bukan
milikmu lagi, Sayang!” ujar ibunya. Si anak yang tadinya nyaris tenggelam
dalam perasaan bersalah, kini malah tumbuh sebuah keyakinan bahwa semua milik
Allah SWT dan suatu saat akan diambilNya kembali.
Beberapa hari kemudian bandul kalung
bermata batu safir itu ditemukan menggantung di sapu. Si anak perempuan begitu
kaget, ia tidak menyangka benda berharga itu akan kembali padanya. “Berarti safir biru ini masih milikku,”
ujarnya gembira.
Bertahun-tahun kemudian, gadis kecil itu
sudah dewasa. Ketika seorang lelaki yang berjanji akan menikahinya pergi entah
ke mana, ia berkata pada dirinya, “Dia
berarti bukan milikku.” Begitu pula saat ia sudah berumah tangga, saat
hartanya hilang, pembantu rumah tangganya pergi, atau guru di sekolah miliknya
keluar, ia tak risau. Kata-kata dan sikap ikhlas yang ditunjukkan ibunya saat
batu mulianya hilang begitu membekas di hatinya dan memuliakan cara berpikir
dan bersikapnya.
Kisah lain terjadi. Seorang anak
kehilangan sepeda barunya. Ayahnya memarahinya bahkan menghukumnya. Si anak
kemudian sering melawan ayahnya sehingga dianggap bermasalah. Kepada psikolog
yang menanganinya, anak tersebut bercerita bahwa kenakalannya berawal dari tragedi
sepeda.
“Sesungguhnya,
akulah yang paling marah, sedih, dan merasa kehilangan karena sepeda yang sudah
lama kuinginkan akhirnya hilang. Namun ayah sama sekali tak memahami
perasaanku, yang ada di pikiran ayah bahwa aku anak ceroboh, tidak kasihan pada
ayah yang sudah banting tulang,” ujarnya. Perasaan kehilangan saja sudah menjadi hukuman,
ditambah lagi hukuman fisik dan kata-kata yang menyakitkan membuat si anak
berontak.
Dikisahkan Anas Ibn Malik ra bahwa
suatu kali Rasulullah SAW menyuruhnya untuk suatu keperluan. Di tengah jalan
ada anak-anak sedang bermain, lalu ia pun bergabung. Saat asyik bermain,
tiba-tiba Rasulullah SAW memegang pundaknya. Lalu, sambil tersenyum berkata: “Hei Unais, kerjakan perintahku!”
Alih-alih marah, Nabi Muhammad SAW malah
memanggil dengan nama kesayangannya: “Unais.
Sejarah kemudian mencatat, Anas ra sebagai sahabat yang meriwawatkan 2.286
Hadits. Anas ra berkata: “Lima belas tahun melayani
Nabi SAW, belum pernah sekali pun beliau membentak, baik di dalam maupun di
luar rumah.”
Saat anak
menghilangkan barang, merusak, atau melakukan kesalahan lainnya, Anda dapat
memilih sikap antara menyalahkannya atau menginspirasinya. Bagaimana kemudian
perilaku anak, bergantung pada respon Anda sebagai orang tua
Ida. S. Widayanti
Penulis Buku
Suara Hidayatullah Juli 2012/Sya’ban
1433, Hal 67
No comments