Breaking News

[Adab] Berbakti Kepada Orang Tua Setelah Meninggal


Berbakti Kepada Orang tua setelah Meninggal
Jum'at, 05 Oktober 2012/19 Zulqaidah 1433 H



Berbakti kepada orang tua tidak sebatas ketika mereka masih hidup. Sebagai anak yang shaleh, pintu birr al walidain (bakti kepada orangtua) tetap terbuka, meski mereka telah meninggal dunia. Berikut ini beberapa adab yang terkait dengan orangtua yang telah meninggal:

Tak Meratapi Kepergiannya

      Diriwayatkan dari Abu Malik al Asy’ari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) Bersabda: “Pada umatku ada empat perkara jahiliyyah yang tidak mereka tinggalkan. Berbangga dengan kedudukan orangtua, mencela nasab keturunan, minta hujan dengan perantara bintang, dan berbuat niyahah (meratap).

     Nabi berkata; “Wanita yang meratap, jika ia tak bertaubat sebelum matinya maka ia dibangkitkan pada hari Kiamat dengan memakai pakaian dari ter dan baju dari kudis” (Riwayat Muslim).

Bersedih Boleh Asal…

      Lain halnya ketika seorang anak menangis karena perasaan sedih semata. Hal tersebut boleh-boleh saja dan tak termasuk kategori meratap. Sabda Nabi SAW ketika berpisah dengan putranya, Ibrahim; “Sesungguhnya mata ini berlinang dan dan hati ini sedih. Namun kami tidak berkata melainkan yang diridhai Rabb kami, dan sungguh kami merasa sedih karena berpisah denganmu wahai Ibrahim”. (Riwayat Bukhari).

Memohonkan Ampun dan Rahmat

      “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang shaleh di surga. Lalu dia bertanya: “Wahai Rabbku, darimana aku mendapatkan segala hal ini?’ Maka Allah menjawab: ‘Dengan istigfar anakmu (di dunia) untukmu”. (Riwayat Ahmad, dengan sanad hasan).

Segera Melunasi Hutangnya

      Hal pertama yang harus dikerjakan anak sepeninggal orangtua adalah melunasi hutangnya. Terlebih jika mereka meninggalkan harta warisan. Hutang tersebut harus lunas dibayarkan dari harta tersebut sebelum warisan itu dibagi.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT):

يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيماً
      Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan272; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua273, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
     Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
     Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
      (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.  (QS. An Nisa’ (4) : 11)
Menunaikan Nadzarnya

      Diceritakan dari Abdullah bin Abbas, seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi SAW, ia berkata: “Sesungguhnya ibuku pernah bernadzar untuk menunaikan haji namun ibuku belum sempat melaksanakannya hingga ia meninggal. Apakah aku boleh menghajikannya?”

       Nabi menjawab: “Ya hajikanlah. Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, karena Allah lebih berhak untuk ditunaikan hakNya”. (Riwayat Bukhari).

      Dalam riwayat lain, Nabi Bersabda; “Barangsiapa meninggal dunia dan masih memiliki hutang puasa, maka walinya (ahli waris atau keluarganya) berpuasa untuknya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Menjalin Silaturahmi dengan Sahabatnya

     Suatu hari Abdullah bin Umar berada di atas keledai dalam perjalanan menuju Makkah. Tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang badui. Ibnu Umar bertanya: “Bukankah engkau fulan bin fulan?”

      Orang itu berkata: “Benar”. Mendengar hal itu, Ibnu Umar langsung menyerahkan keledai itu beserta imamahnya (sorban) yang ia pakai, “Naiklah kendaraan ini”, katanya. Sebagian sahabat lalu berkata: “Semoga Allah SWT mengampuni Anda, kenapa Anda memberi orang Badui ini keledai yang tadinya Anda tunggangi dan imamah yang Anda pakai tadi?”

      Abdullah bin Umar lalu menjawab, “Aku mendengar Rasulullah SAW Bersabda; “Sesungguhnya termasuk birr al walidain yang paling baik adalah seseorang menjalin hubungan dengan keluarga orang yang dicintai bapaknya setelah meninggal”. Dan sesungguhnya bapak orang ini adalah teman ayahku, Umar bin Khaththab (Riwayat Muslim).

Stop Mencela

     Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya termasuk dosa besar yang paling besar adalah melaknat (mencela) kedua orang tuanya. Diantara sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seorang anak mencela orangtuanya? Nabi menjawab, ‘Anak itu mencela bapak seseorang lalu dia balas mencela bapaknya. Anak itu mencela ibu seseorang lalu dia balas mencela ibunya’. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

*Masykur / Suara Hidayatullah

Suara Hidayatullah | Februari 2009 / Shafar 1430, Hal 50

No comments