Mengoptimalkan Program Imtak
Selasa, 06 April 2010 / 21 Rabiul Akhir 1431


Assalamu’alaikum Wr. Wb

Saya ingin bertanya, bagaimana pandangan Ibu tentang fenomena kegiatan IMTAK di sekolah-sekolah? Ada anggapan bahwa lebih banyak formalitas daripada substansi sehingga tidak menghasilkan kesadaran agama.

Adakah bentuk-bentuk yang praktis (yang mendidik) yang bisa diterapkan di sekolah agar menimbulkan kesan yang mendalam dalam jiwa anak.

Sekian dan terima kasih atas jawabannya.

Wassalam,


Muhammad Sufiyan-Mataram, Lombok NTB


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semaraknya kegiatan IMTAK harus kita sambut dengan baik. Ini menunjukkan kesadaran dari para pejabat pendidikan dan guru bahwa jawaban dari rusaknya moral para pelajar adalah penguatan iman.

Apakah hasilnya sudah memuaskan? Ini tentunya membutuhkan riset tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik. Misalnya: setelah program IMTAK, berapa % pelajar yang masih meninggalkan shalat, masih terlibat tawuran, masih membuka auratnya, masih pacaran dll.

Adakah perbedaan hasil dari sekolah-sekolah yang melaksanakan program ini? Jika ada, actor apa saja penyebabnya? Ini akan menjadi kajian riset yang sangat menarik.

Intinya, saya mendukung program IMTAK. Saran atau usulan saya dibawah ini hanyalah tambahan pemikiran yang sekiranya bisa memperkaya khazanah, tanpa bermaksud mengecilkan program-program yang sudah berjalan.

Pertama; Perlunya sinkronisasi antara pendidik, orang tua dan pelajar. Pendidik dan orang tua harus bisa memberikan contoh perilaku Islami. Jangan seperti orang Barat yang melarang anak-anaknya “tidur” dengan pacarnya, tetapi si orang tua sendiri “hidup bersama” pacarnya tanpa ikatan pernikahan.

Hasilnya bisa kita duga, anak tidak menggubris nasehat orang tuanya. Oleh karena itu, program IMTAK harus diberlakukan juga kepada guru dan orang tua. Undang mereka untuk mengikuti pelatihan IMTAK agar pola iker dan perilakunya searah dengan apa yang diharapkan dari anak-anak.

Saya pernah berdiskusi dengan salah satu pejabat dinas pendidikan di daerah tentang perselingkuhan guru. Sang pejabat ini menganggap enteng perselingkuhan / pejabat pendidikan, padahal beliau cukup berapi-api saat bicara mengenai perbaikan moral mahasiswa.

Kedua; Program IMTAK harus dibangun dari pemikiran mendasar, yakni akidah. Jangan artikan akidah sebagai penghafalan rukun Iman seperti yang selama ini diberikan lewat pelajaran agama.

Akidah adalah perubahan pemikiran tentang arti hidup dan tujuan hidup, tentang ajal dan hisab di akhirat. Tanpa akidah yang lurus, maka moral tidak akan memiliki landasan yang kuat.

Mengapa saya harus berpakaian sopan? Oh, karena adat ketimuran. Lho, mengapa saya harus taat pada adat ketimuran? Apa manfaatnya? Kalau jadi model bikini malah bisa menjadi kaya.

Dengan kekayaan itu khan bisa membangun panti asuhan. Nah? Mengapa saya tidak boleh pacaran? Oh, nanti kamu bisa hamil. Lho, khan sudah ada kondom, jadi bisa mencegah kehamilan. Nah?

Ketiga; Agar ilmu bisa membekas di hati, maka ilmu harus dibenturkan dengan fakta. Ini berlaku untuk semua ilmu, baik matematika maupun akidah. Misalnya, ketika belajar Allah itu Ar Razzaq (Sang Pemberi Rizki) maka anak-anak harus di ajak berdiskusi tentang korupsi, penipuan, pelacuran, pelepasan jilbab demi pekerjaan, dll yang bertentangan dengan keimanan kepada Allah Ar Razzaq.

Kita juga belajar tentang Allah Al Hadi (Sumber Petunjuk), Al Adil (Maha Adil) dan Al Alim (Paling Berilmu) tetapi kok kita masih meragukan manfaat dari hukum Allah? Kita masih kuatir jika hukum Islam tidak bisa adil kepada umat beragama lain. Pesan ganda seperti ini membingungkan anak/umat.

Keempat; Sekolah harus pula mensikronkan program IMTAK ini dengan kurikulum secara umum. Jangan sampai anak-anak kita beriman dan bertakwa tapi di sisi lain buku-buku diktat mengajarkan hal-hal yang berlawanan.

Misalnya, dongeng-dongeng syirik yang di adopsi dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Atau, pelajaran PKN (PPKN, edt) yang menanamkan bahwa semua agama itu sama (lalu mengapa anak-anak Muslim harus bersusah-susah shalat, puasa, berjilbab, dan menahan diri dari godaan berpacaran?).

Demikian juga dengan Teori Asal Mula Kehidupan yang diajarkan dalam pelajaran Biologi, yang sama sekali tidak menyertakan peran Allah sebagai Sang Pencipta. Saya bahkan yakin, apabila kurikulum sekuler yang sekarang digunakan (di sekolah umum dan sekolah Islam) dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan kurikulum Islam, Insya Allah kemajuan dunia pendidikan, baik dari sisi iptek, akhlaq, dan pembangunan ekonomi tidak akan terelakkan.

Hal ini jelas mengancam dominasi penjajahan Barat yang selama ini menikmati hasil pembodohan umat via kurikulum sekuler. Maka jangan heran, jika upaya Islamisasi kurikulum ini akan mendapat tantangan dan penggembosan yang sangat besar.

Demikian sedikit masukan dari saya. Semoga bermanfaat.


Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 63, Tanggal 20 Maret – 3 April 2009 M / 23 Rabiul Awwal – 7 Rabiul Akhir 1430 H, Hal 23