Anak Perempuan Tidak Mau Sekolah
Selasa, 06 Juli 2010 / 24 Rajab 1431
Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ibu, saya punya seorang anak perempuan. Sekarang usianya sudah 13 tahun dan dia tidak mau sekolah. Kebetulan saya sekeluarga ikut mertua dan mereka selalu mengabulkan keinginan anak saya, termasuk ketika dia tidak mau sekolah lagi.
Dia hanya ingin kursus membuat anak kue. Saya kuatir, anak saya tidak akan memiliki masa depan yang baik jika hanya berijazah SD. Bagaimana Bu, apa sebaiknya saya biarkan dia ikut kursus atau saya paksa agar melanjutkan sekolah?
Wassalam,
Ira-Solo
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ibu Ira yang dirahmati Allah, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Dalam hal ini, Ibu ingin memberikan pendidikan setinggi mungkin bagi putri Ibu, tetapi di sisi lain putri Ibu, didukung oleh kakek-neneknya, ingin menempuh jalan yang lain. Pertentangan ini tentu saja menimbulkan situasi yang kurang menyenangkan.
Ibu Ira, barangkali di balik keengganan putri Ibu bersekolah, dia pernah memiliki trauma atau pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolah. Semisal, di olok-olok temannya, dikucilkan, dimarahi/dihukum guru secara berlebihan, di ganggu anak laki-laki, atau malu akibat terlambat membayar uang sekolah. Coba Ibu cari penyebabnya, dan bantulah dia menemukan jalan keluar.
Namun, apabila dia meyakini bahwa kursus membuat kue lebih bermanfaat daripada belajar di sekolah, maka saya putri tidak ada salahnya jika putri Ibu menekuni dunia membuat kue.
Pada faktanya, pelajaran-pelajaran yang diberikan di tingkat SMP dan SMA umum saat ini memang kurang bisa langsung dirasakan manfaatnya, kecuali bagi yang ingin melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
Pelajaran-pelajaran tersebut sering gagal membentuk anak didik yang berkepribadian sesuai nilai-nilai Islam, seperti ketaqwaan kepada Allah, kemandirian, kreativitas, dan tanggung jawab.
Hal ini bisa dilihat dari maraknya kecurangan pada Ujian Nasional, kenakalan remaja, dan sebagainya. Sementara itu, belajar membuat kue juga merupakan ilmu yang bermanfaat.
Menurut Ibn Taymiyah dan para Ulama lainnya, ilmu-ilmu yang bermanfaat tetapi tidak vital hukumnya sunnah untuk dipelajari. Jadi, seorang pembuat kue yang memasak kue-kue dari bahan-bahan yang halal, sehat, dan nikmat, Insya Allah akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Hanya saja, selain ikut kursus membuat kue, Ibu wajib mengirimnya untuk belajar agama. Kebodohan tentang Islam pasti membawa kesesatan, sebab kita adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan petunjuk dari Sang Pencipta.
Oleh karena itu, fardlu’ain hukumnya untuk mematuhi aturan halal dan haram dalam setiap aspek kehidupan, baik terkait urusan diri sendiri (kebersihan, kesehatan), hubungan dengan manusia (pergaulan, perdagangan), maupun urusan hubungan dengan Allah SWT (ibadah ritual).
Jadi, bukan sekedar belajar melafalkan Al Qur’an, tetapi belajar memahami ilmu-ilmu kehidupan seperti memahami bahan-bahan masakan kue yang halal dan haram, memahami cara memasarkan kue yang halal, memahami cara mendapatkan modal yang halal, memahami cara bergaul yang halal baik dengan laki-laki, tetangga maupun orang tua, memahami cara membersihkan diri, dan lingkungannya, memahami cara shalat yang sesuai ajaran Rasulullah SAW, dan sebagainya.
Termasuk dalam salah satu kewajibannya sebagai anak perempuan adalah belajar hukum-hukum agama tentang pernikahan dan pengasuhan anak. Dalam sebuah jurnal berbahasa Inggris disebutkan bahwa Ibn Taimiyah ra berkata:
| |
| |
|
| “Motherhood is the noblest vocation in this life; if women are to be trained it should be for this task” (Artinya: “Menjadi ibu adalah pekerjaan paling mulia. Jika wanita akan di didik, seharusnya untuk tugas ini.”) |
|
| |
| |
Rasulullah Muhammad SAW pernah berpesan kepada putrinya:: “Ya Fatimah, perempuan yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisiri rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala –seperti- orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan –seperti- memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang.”
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa setiap hisapan ASI dihitung sebagai satu kebaikan di sisi Allah.
Dengan bekal agama yang baik, Insya Allah putri Ibu akan sukses dunia akhirat. Siapa tahu kelak dia bisa mengembangkan bisnis kue yang halal, sehat dan nikmat, serta bisa mengendalikan bisnisnya dari rumah tanpa melupakan keluarga dan anak-anaknya.
Jika pun tidak bisa berbisnis, Insya Allah kuenya bisa dinikmati oleh suami dan anak-anaknya, serta tetangga sekitarnya. Ini pun merupakan ladang pahala yang tidak boleh disepelekan.
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 93 tanggal 2 - 16 Juli 2010 M / 19 Rajab – 4 Sya’ban 1431 H, Hal 19
View Index Konsultasi Dunia Pendidikan
No comments