Breaking News

SDIT Berkurikulum Plus, Plus, Plus

SDIT Berkurikulum Plus, Plus, Plus
20 Juli 2010 / 9 Sya’ban 1431 H


Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bu Erma yang dirahmati Allah, saya selalu membaca hampir konsultasi pendidikan di tabloid Suara Islam (SI) yang Ibu asuh. Ibu, saya mau menanyakan tentang anak saya yang tahun ini akan masuk SD.

Saya bingung mau masukkan ke sekolah SD yang biasa (dekat rumah) tapi saya sama sekali tidak tertarik karena agamanya Cuma sedikit. Akhirnya saya masukkan ke (***) Islamic School di Jaksel yang menggunakan kurikulum Cairo.

Saya tertarik karena ada program tahfidznya dengan target 18 juz, serta berbahasa pengantar Arabic & Inggris. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana pendapat Ibu tentang sekolah tersebut & apakah saya terlalu memaksakan anak untuk masuk sekolah yang sesuai keinginan abinya. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih atas jawaban Ibu.

Wassalam.
H.Khoiry, Jaksel
HP.+62815139****

Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bapak Khoiry yang dirahmati Allah, pertama saya ingin menyampaikan apresiasi kepada Anda yang sangat peduli dengan pendidikan anak. Biasanya para Bapak “agak teledor” yakni menyerahkan semua urusan pendidikan anak kepada istri.

Ini merupakan beban yang sangat berat untuk dipikul sendirian oleh para istri walau sesungguhnya menjadi beban pula bagi para Bapak di kemudian hari (akhirat), jika sang istri tidak memberikan pendidikan anak yang sesuai dengan Islam.

Mengenai pertanyaan Bapak, saya rasa lebih tepat jika ditanyakan sebelum Bapak memilih/mendaftarkan anak ke sekolah yang bersangkutan. Oleh karenanya, saya akan lebih banyak mengupas beberapa tips yang bisa bapak lakaukan untuk mendapatkan manfaat maksimal dari keputusan yang sudah Bapak ambil.

Saya memahami sekolah yang Bapak maksud dengan cukup baik, sebab anak saya pernah bersekolah di sana. Latar belakang pemikiran kami pada saat itu adalah bahasa pengantar Inggris dan Arab, berhubung anak kami (saat itu) belum cakap dalam berbahasa Indonesia.

Sayangnya, pada prakteknya, sekolah tidak menggunakan bahasa pengantar Inggris dan Arab, sehingga kemampuan anak kami dalam kedua bahasa tersebut malah menurun drastic.

Namun, kekecewaan yang sama tidak dirasakan oleh orang tua murid lainnya, dikarenakan putra-putri mereka pada awalnya tidak berbahasa Inggris/Arab sehingga betul terjadi kenaikan.

Artinya, jika dibandingkan dengan sekolah biasa, tentu saja kualitas sekolah ini masih jauh di atas. Tentunya akan lebih bijak jika sekolah-sekolah semacam ini tidak mengatakan “berbahasa pengantar Inggris dan Arab” tapi cukup mengatakan “membiasakan penggunaan bahasa Inggris dan Arab”.

Bagaimana dengan kurikulum plus, plus, plusnya, yakni Kurikulum Nasional plus Cairo plus Singapore plus Cambridge? Apakah tidak terlalu berat? Jawabannya ya dan tidak. Ya, terlalu berat, jika seluruh standard kompetensi dari masing-masing kurikulum ingin dicapai, apalagi jika metode pengajaran dari tiap-tiap kurikulum disamakan.

Kita tahu bahwa standar kompetensi dari Kurikulum Nasional saja sudah sangat padat dan berat, apalagi ditambah dengan tiga kurikulum lainnya. Namun, tidak terlalu berat Insya Allah jika sekolah pandai dalam memilih dan memilah mana yang perlu diajarkan dan mana yang layak dibuang, serta bisa melatih guru-gurunya untuk menggunakan metode pengajaran yang sesuai.

Sayangnya, masih banyak sekolah yang memadukan kurikulum ini secara serampangan. Walhasil, saya mendapati cukup banyak teman-teman anak saya dulu yang nilai tesnya berkisar antara 3-4 (saya bandingkan dengan nilai anak saya yang amper 10 semua mendekati 10). Lalu, sebagai orang tua, bagaimana menyiasati hal ini?

Pertama, Bapak perlu menekankan kepada putra Bapak bahwa dia tidak wajib menguasai seluruh pelajaran di sekolah melainkan berdasarkan skala prioritas yang Bapak tetapkan. Misalnya, prioritas utama adalah tahfidz, prioritas kedua Bahasa Arab, dan seterusnya. Hal ini Insya Allah bisa menurunkan tingkat stresss anak.

Kedua, Bapak perlu melihat nilai secara lebih arif. Ketika putra Bapak pulang dengan angka 3, maka jangan buru-buru memarahinya/menyalahkannya. Siapa tahu gurunya kurang bisa mengajarkan materi yang bersangkutan dengan baik.

Di sisi lain, jika nilainya bagus, Bapak harus bandingkan dengan penilaian Bapak sendiri. Misal, nilai matematikanya 9 tetapi dalam keseharian dia kesulitan untuk melakukan perhitungan sederhana.

Atau, nilai tahfidznya 9, tetapi dia gagap dalam menghafal surat yang sudah diajarkan. Jika hal-hal seperti ini terjadi, Bapak perlu mendiskusikan dengan gurunya. Jangan sampai guru memberi nilai bagus hanya untuk memuaskan customer (orang tua) walau tidak sesuai fakta.

Ketiga, Jangan suruh putra Bapak belajar di malam ujian. Belajar di malam ujian memungkinkan anak mendapatkan nilai bagus tanpa benar-benar memahami ilmunya. Di sisi lain bisa menimbulkan stress pada anak akibat tekanan untuk mendapatkan nilai bagus.

Biarkan dia bermain/istirahat di malam ujian sehingga nilai yang didapatkannya benar-benar sesuai dengan pemahamannya. Dari nilai tersebut, Bapak bisa melakukan evaluasi untuk menyusun strategi yang lebih baik bagi pendidikan putra Bapak.

Keempat, Bapak perlu ikut menyimak buku-buku yang dipakai. Berdasarkan pengalaman saya, sekolah yang Bapak maksud menggunakan buku-buku umum (dalam pelajaran nasional) yang masih mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.

Misalnya, dongeng yang mengandung unsur kesyirikan diajarkan dalam Bahasa Indonesia. Atau, adab yang tidak Islami diajarkan dalam pelajaran PKKN. Seyogyanya, sekolah Islam bisa memakai buku yang Islami, minimal menjelaskan kesalahan ajaran yang tidak Islami. Jika terpaksa memakai buku-buku umum.

Insya Allah selama Bapak (orang tua) terus memantau perjalanan dan perkembangan sekolah putra-putrinya, maka anak-anak kita bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik. Namun, jika orang tua hanya melepaskan anak-anaknya lantaran merasa puas menitipkan anaknya di sekolah Islam, maka jangan kaget jika hasilnya tdak sesuai harapan.

Wallahu’alam

****

Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 94 tanggal 16 Juli – 6 Agustus 2010 M / 4 - 25 Sya’ban 1431 H, Hal 19



View Index Konsultasi Dunia Pendidikan

No comments