Kekuatan Amerika Adalah Ideologi
Rabu, 09 Juni 2010 / 26 Jumadil Akhir 1431
Yang pernah mempelajari / mengalami sekolah di SD, SMP atau SMA akan mengakui bahwa kurikulum AS itu tidak sesulit Indonesia. Ilmu pengetahuan yang detil dan mendalam baru digenjot habis-habisan di Universitas, tentu saja sesuai bidangnya masing-masing (betapa efisien!).
Sebagai contoh, di Massachusetts (salah satu negara bagian di AS), kelas 2 SD masih menggunakan kurikulum yang sama dengan TK. Lalu kelas 3-5 menggunakan kurikulum yang sama pula.
Mata pelajaran yang wajib dikuasai (basic skills) SD-SMA hanya Matematika dan kemampuan bahasa (memahami, berpikir dan berekspresi). Itupun tanpa tes kenaikan kelas (kecuali untuk mendapatkan ijazah SMA).
Untuk masuk Community College (Universitas kecil) pun sangat mudah asal bisa membaca dan berhitung. Hal ini dialami oleh anak teman saya di Texas. Dua tahun di Community College, biasanya bisa melanjutkan ke Universitas.
Maka tidak heran jika Sarah Palin; Calon Wapresnya McCain, tidak tahu bahwa Afrika itu sebuah benua. Di tahun 2002, the National Geograpic pernah mensurvei generasi muda AS usia 18-24 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 67 % dari partisipan itu tidak tahu mencari arah Barat Laut (Northwest) dalam peta, 11 % bahkan tidak bisa menemukan letak Amerika Serikat di peta !.
Toh, “kebodohan” ini tidak menggeser AS dari posisi super power. Dalam analisa saya, ini disebabkan AS bisa membedakan ilmu wajib dengan ilmu detail. Ilmu wajib harus dikuasai seluruh rakyatnya, sedangkan ilmu detail harus dikuasai sebaik-baiknya oleh orang-orang tertentu sesuai bidangnya.
Ilmu wajib yang dimaksud di sini adalah basic skills yang meliputi penanaman pola berpikir sebagai seorang American; yakni manusia yang bisa berpikir bebas tanpa batasan agama (alias sekuler).
Sejarah Perang Sipil menunjukkan bahwa agama sebaiknya tidak ikut campur urusan kemasyarakatan. Dalam perang tersebut, kelompok selatan yang ingin mempertahankan perbudakan berdalih bahwa menurut ajaran Kristen orang kulit hitam sudah ditakdirkan sebagai budak.
Penanaman ideologi tak hanya terjadi di bangku sekolah. Media AS sering menayangkan cerita-cerita tentang penderitaan bangsa lain atau “kacaunya” umat Islam karena berpegang teguh pada ajaran Islam (fitnah terhadap jihad, isu terorisme, dll).
Walhasil, rakyat AS tidak punya pilihan lain kecuali percaya bahwa AS-lah negara terideal walaupun angka kriminalitas, kemiskinan, anjloknya moral dan pengangguran meroket di dalam negeri.
Umat Islam pun terjebak. Kita kagum dengan kemajuan AS dan bosan melihat keadaan Umat Islam yang terpuruk. Maka, kita ikut menyimpulkan bahwa sekulerismelah solusi bagi Umat Islam atau menguasaan sainstek lah solusinya.
Kita melupakan sejarah bahwa Umat Islam dulu berjaya KARENA berpegah teguh kepada Islam dan terpuruk KARENA meninggalkan Islam. Kita menyamakan Islam dengan Kristen Barat, padahal ajaran dan sejarahnya jelas-jelas berbeda.
Kita juga kagum dengan “kebaikan” AS yang memberi kesempatan Umat Islam untuk beribadah (bayangkan, seorang imigran Palestina yang biasa sholat di bawah senjata Israel tiba-tiba bisa sholat dengan aman di rumah barunya di AS).
Sejatinya, bagi AS Islam itu sama saja dengan atheisme, yakni sama-sama sebuah kepercayaan individu. Dan ini hanya berlaku untuk Islam ritual yang memang sejalan dengan konsep sekulerisme, sedangkan untuk ajaran Islam yang utuh (Islam ideologis), maka AS menganggapnya sebagai musuh (lantarab bisa mengancam dominasinya).
Syekh Anwar Awlaki adalah warga negara AS keturunan Yaman yang banyak mengeritik AS dan menawarkan ajaran Allah yang Maha Rahman dan Rahim sebagai alternatif hidup. Walhasil, AS melalui pemerintahan bonekanya di Yaman menangkapnya sewaktu beliau berlibur ke Yaman.
Umat Islam juga terjebak untuk melihat apa yang AS propagandakan. Keberhasilan Obama menjadi Presiden dianggap luar biasa. Padahal Nabi SAW ribuan tahun silam sudah bersabda: “Taatilah pemimpinmu meskipun dia bekas budak hitam.”
Bagaimana mungkin Umat Islam terkesima dengan AS yang butuh waktu 400 tahun untuk mengakui bahwa orang kulit hitam juga berhak menjadi pemimpin? (itupun banyak gereja warga kulit hitam yang dibakar massa).
Kita juga terbius oleh birokrasi AS yang sangat mudah, tentu jika dibandingkan dengan negeri-negeri Muslim (seperti Indonesia). Tetapi, kalau kita bandingkan dengan birokrasi Umar bin Khattab ra, maka AS jadi tidak ada artinya.
Padahal Umar bin Khattab itu pemimpin seluruh tanah Arab, mulai dari Yaman, Saudi, Palestina, hingga Irak. Tapi siapapun bisa menemui dan menyampaikan keluhan dengan mudah.
Seorang Yahudi tua yang rumahnya dirubuhkan untuk -menjadi red- Masjid pernah mengeluh kepada Umar dan langsung mendapatkan keadilan (dan para sekuleris bicara tentang Islam yang tidak toleran terhadap pemeluk agama lain?)
Sayangnya, kurikulum pendidikan Umat Islam tidak membahas Islam Ideologis (Islam yang utuh) dan keunggulan peradaban Islam. Akibatnya, Umat Islam mudah terkesima, terbius, dan tertipu oleh para pengemban sekulerisme yang berpura-pura menyebarkan kebaikan atas nama demokrasi, pluralisme dan HAM.
Apalagi yang tampak di depan mata adalah kemajuan peradaban AS. Padahal peradaban AS itu tidak dihasilkan tanpa darah dan air mata bangsa lain. Berbeda dengan peradaban Islam yang mengayomi bangsa-bangsa lain.
Mesir dan Palestina telah menorehkan bangsa-bangsa lain. Mesir dan Palestina telah menorehkan sejarah bagaimana Umat Kristen dan Yahudi menunggu-nunggu kedatangan pasukan Islam untuk membebaskan mereka dari penguasa tirani sebelumnya.
Setiap negeri yang dibebaskan menjadi bagian dari Khilafah Islamiyah dengan hak dan kewajiban yang sama. Apakah rakyat Irak senang dengan kehadiran AS? Apakah rakyat Indonesia senang dengan kehadiran Freeport, Exxon, Mobile, Shells, dkk?
Apakah Irak, Indonesia, Afghanistan dan negara-negara jajahan AS lainnya mendapatkan fasilitas hidup sebaik di AS?
Terakhir, kita pun perlu sadar bahwa kemajuan sainstek AS tidak murni hasil kehebatan ilmuwan AS. Menurut sebuah laporan (http://www.workpermit.com/), 60 % gelar doctor AS di bidang sains itu diberikan kepada orang asing, terutama dari negara-negara berkembang.
Untuk bidang Matematika dan komputer mencapai 50%. AS tidak perlu memiliki banyak ilmuwan karena AS bisa merekrut ilmuwan-ilmuwan dari penjuru dunia. Professor Yohanes Surya dulu bekerja di lembaga nuklir AS.
Profesor Nelson Tansu, juara Olimpiade Fisika, sekarang menjadi dosen di Lehight University AS. Belum lagi pelajar-pelajar Indonesia yang dulu dikirim dengan hutang LN (uang rakyat) dan sekarang menikmati gaji sebagai ilmuwan di AS.
Dan, di antara para ilmuwan AS, cukup banyak yang Muslim entah dari Indonesia, Malaysia ataupun negara-negara Timur Tengah. Semoga mereka siap dipanggil untuk memajukan negara Khilafah ketika saatnya tiba.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 56 tanggal 5 - 19 Desember 2008 M / 7 Jumadil Awwal – 21 Dzulhijjah 1429 H, Hal 11
*******************
View Index Konsultasi Dunia Pendidikan
No comments