Kurikulum Nasional Vs Kurikulum AS
Selasa, 04 Mei 2010 / 20 Jumadil Awwal 1431
Assalamu’alaikum Wr Wb,
Saya senang sekali membaca Suara Islam yang menampilkan profil Bu Erma karena saya menemukan Muslimah yang jarang ada padahal kehadirannya sangat diperlukan Umat Islam.
Jika berkenan, saya ingin tahu pendekatan seperti apa yang Ibu gunakan dalam mendidik siswa-siswi Ibu di sekolah.
Saya juga penasaran tentang pendidikan yang Ibu ambil di Boston. Setelah Ibu menyelesaikan kuliah di sana, kemudian mengajar di sini (tanah air), apa kira-kira pendapat Ibu mengenai kurikulum pendidikan di tanah air kita ini?
Saya juga sering berpikir soal kurikulum yang sebagiannya tidak jelas targetnya, di ulang-ulang di setiap jenjang pendidikan dan tidak tepat sasaran untuk anak-anak.
Semoga Allah senantiasa membantu Bu Erma menjalankan aktivitas sehari-hari dan memajukan pendidikan di Indonesia. Amien.
Wassalamu’alaikum Wr Wrb.
Rina, Depok.
Wa’alaykum salam Warahmatullahi Wabarakatuh, terima kasih atas doa Bu Rina. Saya juga senang berkenalan dengan Bu Rina.
Menjawab pertanyaan Ibu yang pertama, saya menggunakan pendekatan personal. Salah satu cara saya adalah berkomunikasi via jurnal. Di setiap pertemuan, anak-anak menyerahkan jurnal berisi apapun yang ingin mereka ceritakan.
Beberapa manfaatnya saya bisa menyelami kebutuhan dan perasaan mereka, mereka memiliki tempat curhat, mereka bisa mengasah Bahasa Inggrisnya dan berlatih mengeluarkan pikiran melalui tulisan.
Memang pelaksanaannya cukup berat ya, Bu, karena saya harus membaca dan menulis balik kepada mereka tetapi alhamdulillah hasilnya cukup baik. Murid-murid saya meminta nasehat tentang keluarganya, pacarnya, teman-temannya dan saya jawab berdasarkan Islam. Respon mereka cukup positif; mereka makin terbuka dan perilakunya pun membaik.
Mengenai kurikulum sekolah, ada beberapa perbedaan antara AS dengan Indonesia. Saya sempat mengajar di AS mulai tingkat SD hingga SMA, mulai guru pendamping hingga guru kelas.
Salah satu perbedaan yang saya amati terletak pada jumlah pelajaran.
Untuk tingkat SD, penekanan diberikan kepada matematika dan bahasa Inggris. Porsi sains dan ilmu sosial cukup sedikit. Tidak ada pelajaran moral. Wow, tentu buruk ya jika anak-anak tidak belajar moral.
Percaya atau tidak, dalam batasan moral yang umum, anak-anak Amerika bisa dibilang lebih beradab. Mereka tidak sembarangan dalam meludah, membuang sampah, maupun kencing.
Ketika kami baru pulang ke Indonesia, anak saya shock berat melihat orang-orang Indonesia seenaknya buang sampah, meludah dan kencing di pinggir jalan.
Nah, kok bisa ya sementara tidak ada pelajaran moral? Jawabannya sederhana sekali. Buku bahasanya sangat bermutu dan ideologis. Di dalamnya, siswa belajar tentang ilmu sosial, sains, moral, sejarah, tata kota, tata negara, bahkan tata dunia.
Semuanya disajikan berdasarkan nilai ideologi mereka. Penekannya bukan “spelling” atau “grammar” tetapi pembentukan pola pikir.
Kalau saya bandingkan dengan isi buku bahasa kita, waduh….
Saya prihatin sekali!
miskin ilmu dan miskin karakter.
Bacaannya sebatas
“Ibu Budi pergi ke pasar.” Bagus kalau kemudian bercerita tentang pasar tertentu, letaknya, sejarahnya, kehidupan para pedagangnya yang berjuang untuk hidup secara Islam di tengah himpitan ekonomi.
Dengan begitu, di samping belajar berbahasa, anak-anak kita juga mulai terbentuk pola pikir Islami. Tetapi ini kan tidak. Buku malah membahas suara kucing meong-meong, suara anjing guk-guk-guk, prang bunyi gelas pecah (padahal kalau jatuhnya di karpet mungkin
“duk” lebih tepat ya
).
Padahal informasi ini bisa diberikan dalam bentuk cerita berhikmah Islam. Misalnya cerita tentang Ihsan yang tetangganya memelihara anjing. Bagaimana Ihsan harus bersikap sebagai Muslim, bagimana dia mencuci diri ketika terjilat anjing tetangga.
Konfliknya tentu bisa di buat lebih seru seperti Ihsan menuduh anjing tersebut telah mencuri sepatunya, dsb. Jadi di samping belajar bahasa yang mengasyikkan, anak-anak juga belajar nilai-nilai Islam.
Tidak heran kan kalau ada yang mengatakan bahwa orang Amerika itu lebih islami (tentu dalam konteks perilaku tertentu). Mereka belajar moral setiap hari (dalam pelajaran Bahasa), sedang kita?
Akibat pembatasan ilmu yang terlalu banyak dalam kurikulum Indonesia, maka muatan masing-masing pelajaran menjadi terbatas. Walhaasil, terjadilah apa yang Bu Rina sebutkan sebagai “materinya diulang-ulang”.
Berhubung tempatnya terbatas, saya harus berhenti di sini dulu, ya Bu. Semoga bisa kita gali lebih lanjut dalam diskusi-diskusi berikutnya.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 59, Tanggal 16-29 Januari 2009 M / 19 Muharram – 2 Shafar 1430 H, Hal 33
*******************
Setelah membaca artikel Bu Erma di atas, saya jadi teringat dengan mantan boz saya. Boz saya ini pernah mengatakan kalo anaknya yang masih kecil, kalo meludah tidak mau sembarang tempat, hanya mau di toilet, tidak sembarang tempat.
Dan suka aneh jika memergoki ada yang buang air kecil sembarangan
tapi kayaknya kekaguman saya mulai mendapat jawabannya, kenapa anak kecil aja bisa paham kalo buang ludah atawa buang air kecil tidak boleh sembarang tempat. Kembali kepada bagaimana orang tua disekitar anak-anak tersebut mengajarinya.
Dan yang lebih global lagi perubahan isi materi buku pelajaran seperti yang dikemukakan ibu Erma di
View Index Konsultasi Dunia Pendidikan
No comments