Memetakan Jalan Pendidikan Anak
Selasa, 25 Mei 2010 / 11 Jumadil Akhir 1431
Pendidikan anak merupakan prioritas bagi para orang tua. Kita menginginkan yang terbaik sehingga rela bekerja hingga larut malam untuk membayar biaya pendidikan terbaik itu. Hanya saja, sudah tepatkah definisi “pendidikan terbaik” yang ada di benak kita?
Salah satu keluarga dekat saya saat ini sedang kebingungan memilih SD yang tepat buat anaknya. Ada dua faktor yang mereka utamakan, yakni: agama dan bahasa Inggris. Dua faktor ini tentu tidak asing di telinga kita, bahkan mungkin kita pun memiliki kriteria yang sama.
Barangkali, agama merepresentasikan keinginan untuk sukses di akhirat, sedangkan Bahasa Inggris merepresentasikan keinginan untuk sukses di dunia. Ataukah kita hanya terbawa trend? Semoga tidak.
Masalah yang kemudian muncul adalah sekolah manakah yang bisa memberikan pendidikan agama dan Bahasa Inggris yang bermutu? Alih-alaih bisa mendapatkan keduanya, bisa-bisa kita terjebak dan kehilangan semuanya.
Gene Netto, seorang Muslim yang juga sarjana pendidikan Australia, sering mengeluhkan rendahnya kualitas guru bule yang dipekerjakan oleh sekolah-sekolah Indonesia. Gene mengatakan bahwa banyak sekolah yang sembarangan merekrut guru bahasa Inggris.
“Asal bule dan butuh uang,” demikian tulisnya (genenetto blogspot ). Padahal, pelajaran bahasa itu perlu ilmu, apalagi bahasa asing. Universitas-universitas bermutu di Barat biasanya memiliki program khusus untuk mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing (seperti TESOL, TEFL, dsb) dan biasanya selevel S2.
Murid-murid saya di kelas Super (SMA) pernah mengeluhkan guru bahasa Inggris mereka yang lama (bule), yang mengajari mereka membaca selayaknya mengajari anak-anak TK.
Pelajaran agama pun menuai problem yang lebih kompleks. Beberapa sekolah Islam ternyata memiliki tingkat kenakalan siswa yang tinggi. Mungkin Anda pun pernah melihat siswi yang cepat-cepat melepas kerudungnya begitu keluar pagar sekolah.
Kenalan yang waktu itu sama-sama kuliah di Boston, sering mengenakan pakaian minim yang terkadang –maaf—memamerkan merk celana dalamnya. Padahal dia sekolah di sekolah Islam dari SD hingga SMA.
Lulusan pesantren maupun Universitas Islam yang berhaluan liberal pun kian marak. Sekolah-sekolah Islam, tetapi hasilnya memprihatinkan. Menurut saya, salah satu sebabnya adalah ketidakjelasan definisi kesuksesan pendidikan agama.
Apakah sukses itu identik dengan hafal banyak ayat dan hadits walaupun sekuler? Apakah identik rajin salat dan pandai bergaul tapi menolak syariah? Apakah sekedar menambah jumlah Muslim yang kaya?
(Kita sudah punya keluarga Bakrie sebagai keluarga terkaya se-Indonesia yang menerlantarkan ribuan korban Lapindo.) Atau sekedar menambah jumlah Profesor di kalangan Umat Islam? (Kita pun punya Prof. Musdah Mulia yang menghalalkan homoseksual).
Sebelum memilihkan sekolah, orang tua harus merumuskan definisi sukses ini dan kemudian membuat peta pendidikan bagi anak-anaknya. Tanpa tujuan yang jelas, anak kita akan tersesat.
Misalnya, jika sukses itu berarti menjadi juara olimpiade atau mendapatkan nilai ujian tertinggi se-DKI, maka Sekolah Kristen BPK Penabur bisa jadi pilihan yang tepat. Jika sukses adalah lulus tes/ujian, maka bimbel adalah jalan pintas yang sudah terbukti kehandalannya.
Untuk hafal Al Qur’an, maka madrasah atau pesantren bisa dipilih tanpa mengeluarkan biaya yang terlalu mahal. Bagaimana jika ingin anak sukses dalam berbagai bidang: ya hafal Al Qur’an, ya berakhlak mulia, ya menjuarai lomba-lomba, ya cas-cis-cus berbahasa Inggris dan Arab (bahkan Mandarin), ya dapat nilai ujian nasional tertinggi, ya jadi professor, ya terkenal, kaya dan masuk surga?
Ya boleh-boleh saja, tetapi apakah anak kita mampu? Dan yang lebih penting, sudah adakah sekolah yang mampu memberikan semua itu? Ataukah kita hanya memaksakan mimpi yang akhirnya menjadi lahan subur bagi dunia “bisnis” sekolah?
Sesungguhnya, Allah SWT tidak membebani kita (termasuk anak-anak kita) dengan tujuan-tujuan yang banyak dan sulit. Islam telah menggariskan satu tujuan yang gamblang, jelas, mantap, dan tanpa tedeng aling-aling.
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِنسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariya (51) : 56)
Dan
Ù‚ُÙ„ْ Ø¥ِÙ†َّ صَلاَتِÙŠ ÙˆَÙ†ُسُÙƒِÙŠ ÙˆَÙ…َØْÙŠَايَ ÙˆَÙ…َÙ…َاتِÙŠ Ù„ِÙ„ّÙ‡ِ رَبِّ الْعَالَÙ…ِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.“ (QS. Al An'am (6) : 162)
Artinya, makna kesuksesan bagi seorang Muslim itu hanya satu yakni keridhoan Allah SWT. Ini yang harus menjadi ideologi bagi semua sekolah Islam.
Apabila kita menengok sistem pendidikan Amerika, sebagai Negara adidaya saat ini, kita saksikan bahwasanya kurikulum mereka telah dibingkai dengan ideologinya, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai sekulerisme (termasuk demokrasi, pluralisme, dan HAM).
Semua buku pelajaran ditulis dengan kacamata ini sehingga tak heran jika ide-ide mereka bisa terserap secara apik ke dalam benak para siswanya. Bahkan, Aamerika tak segan-segan mensponsori penanaman ide ini ke dalam kurikulum umat Islam.
Jika Amerika bisa menjadikan sekolah sebagai sarana pengemban ideologinya, maka sebagai Muslim sudah seyogyanya kita menempatkan sekolah dan ilmu pengetahuan sebagai sarana dakwah.
Islam harus menjadi bingkai bagi kurikulum di sekolah-sekolah Islam. Fikih dan sejarah Islam harus menjadi bahan bacaan dan diskusi dalam pelajaran Bahasa. Matematika harus bisa mengupas kesalahan dan kejahatan konsep riba.
Teknologi harus diciptakan untuk mempermudah ibadah. Ilmu sosial diajarkan untuk meningkatkan implementasi Islam dan mengupas kesalahan-kesalahan ideologis lain. Dengan cara pandang yang benar inilah, Insya Allah umat Islam bisa bangkit dan kembali memimpin dunia dengan Islam.
Sayangnya, mayoritas sekolah Islam kita masih menceraikan agama dari ilmu-ilmu umum, mengikuti pola sekulerisme. Buku-buku yang digunakan persis sama dengan sekolah-sekolah sekuler.
Bahkan, buku matematika yang menjadi juara lomba penulisan buku pelajaran yang diadakan oleh Depag pn masih mengajarkan riba (compound interest). Bedanya, pelakunya berjilbab !
Saya baru menemukan satu buku yang ditulis dengan bingkai Islam, yakni buku Fisika kelas X-1a karya Usep Mohammad Ishaq (juga juara dalam lomba yang sama). Belajar fisika dengan buku ini, Insya Allah bisa membuat anak kita semakin cinta kepada Allah (tanpa mengorbankan kompetensi fisikanya).
Sayangnya, tak banyak yang mengenal (apalagi menggunakan) buku ini. Jika pengamatan saya ini benar adanya, lalu bagaimana kita bisa berharap mencetak generasi Muslim yang tidak sekuler jika sistem ilmunya pun masih sekuler? Apabila peta pendidikan anak Anda seperti peta saya, maka Anda wajib waspada.
Erma Pawitasari
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 57 tanggal 19 Desember 2008 – 2 Januari 2009 M / 21 Dzulhijjah – 5 Muharram 1431 H, Hal 21
*******************
View Index Konsultasi_Dunia_Pendidikan
No comments