Mengelola Sekolah Islam Yang Unggul (1)
Rabu, 25 Nopember 2009 / 8 Zulhijjah 1430
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bu Erma, saya dari SumBar. Saya mau tanya, bagaimana mengelola sekolah yang baru didirikan agar berkualitas dan tidak melenceng dari visinya. Kami mendirikan SDIT ingin mempunya keunggulan, misal di bidang ilmu Islam, tentu banyak langkahnya. Kami baru buka Juli mendatang. Mohon uraian Ibu.
Sukran,
HP+628136301****
Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah saya selalu senang mendapatkan kesempatan berdiskusi dengan pengelola sekolah. Semoga uraian saya berikut ini bisa menjadi bagian penting dalam mewujudkan sistem pendidikan umat yang lebih baik. Saya akan membagi uraian ini ke dalam beberapa bagian.
1. Orientasi Yang Benar
Untuk apa mendirikan Sekolah Islam? Saya yakin mayoritas sekolah Islam berdiri untuk tujuan dakwah, tetapi kendala-kendala yang datang kemudianlah yang sering menimbulkan pragmatisme. Inilah penyebab utama lencengnya sekolah dari visi dan misi awal yang sahih. Ada dua kendala utama yang dihadapi sekolah Islam, yakni:
1. Kebijakan Pemerintah.
2. Kekuatiran kekurangan siswa
Dua hal di atas saling terkait, yang akhirnya ‘memaksa’ sekolah Islam mengadopsi kurikulum sekuler, ikut-ikutan mendewakan UN, dan tidak lagi menjadikan pembinaan kepribadian Islam sebagai standar kesuksesan (setau saya, masih sangat jarang Sekolah Islam Terpadu yang memasukkan unsur perilaku keseharian, seperti pelaksanaan sholat wajib, dalam penetapan kelulusan/kenaikan kelas).
Padahal, Islam telah mengajarkan bahwa orientasi studi yang sahih adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah, bukan semata-mata untuk menguasai ilmu, apalagi sekedar menjadikannya jalan mencari dunia (pekerjaan, harta, kedudukan, dan sebagainya).
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadist; “Barangsiapa yang mencari ilmu untuk menyaingi para ilmuwan atau untuk membodohi orang dan membuat orang kagum kepadanya, niscaya Allah akan memasukkannya ke neraka.”
Imam Ghazali dalam bukunya Bidayah al Hidayah membagi pelajar dalam tiga tipe, yakni:
1. Pelajar Yang Sukes, yakni mereka yang belajar dengan tujuan akhirat (ridho Allah SWT).
2. Pelajar Yang Perlu Bertaubat, yakni mereka yang belajar dengan tujuan untuk menopang kehidupannya di dunia tetapi menyadari bahwa seharusya tujuan mereka adalah akhirat.
3. Pelajar Yang dikuasai Setan Dan Akan Binasa, yakni mereka yang belajar untuk berbangga-bangga dengan ilmunya, mencari pengikut, berkompetensi dengan yang lain, dan tidak merasa bersalah dengan apa yang mereka lakukan.
Sang Imam pun menyebutkan bahwa para guru (termasuk sekolah, tentunya) yang mengantarkan pelajar-pelajarnya kepada tujuan pendidikan yang salah berarti telah menolong perbuatan maksiat.
Pada faktanya, mayoritas umat masih berorientasi dunia ketika mengirimkan anaknya ke Sekolah Islam Terpadu (termasuk universitas Islam), seakan-akan pendidikan beroerintasi akhirat hanya milik pesantren-pesantren yang mengkhususkan diri belajar ilmu agama.
Lebih tragis lagi, masih banyak orang tua yang memamerkan (berbangga-bangga) anaknya yang kaya plus hafal Al Qur’an walaupun cara hidup si anak tidak Islami (misal: si anak adalah direktur bank ribawi yang sukses).
Ini adalah pemikiran yang salah kaprah, akibat paham Sekularisme. Banyak sekolah Islam yang hanya menjadikan Islam sebagai tempelan (pelengkap) kurikulum sekuler. Pelengkap ini biasanya hanya seputar ibadah rutin, seperti pembiasaan sholat dan baca Al Qur’an.
Akibatnya, akar pemikiran Sekulerisme sulit tercabut dari benak umat, walaupun mereka telah menghabiskan masa pendidikannya (SD-kuliah) di lembaga pendidikan Islam. Bahkan, tak sedikit lulusan sekolah Islam yang perilakunya lebih rusak daripada lulusan sekolah sekuler.
Inilah dosa terbesar lembaga pendidikan Islam. Memang tidak mungkin mengharapkan semua siswa berakhlaq baik, tetapi bukankah wajar jika sekolah Islam tidak meluluskan siswa-siswanya yang tidak/belum berperilaku sesuai Islam?
Perbedaan orientasi antara sekolah sekuler dengan sekolah Islam sangat tajam. Oleh karena itu, sekolah Islam harus berani menetapkan kurikulum dan standard kelulusan sendiri, tidak mengadopsi standard kurikulum sekuler.
Dengan demikian, lulusan lembaga pendidikan Islam, bisa menunjukkan kualitas yang special, berbeda dengan lulusan lembaga pendidikan sekuler. Misalnya, seorang dokter lulusan universitas kedokteran yang unggul, juga memahami fikih kedokteran.
Umat membutuhkan dokter yang paham fikih kedokteran, bukan dokter yang hafal Al Qur’an (dan tidak paham maknanya).
Erma Pawitasari, M.Ed
Pakar Pendidikan
Suara Islam Edisi 71, Tanggal 17 Juli-7 Agustus 2009 M/24 Rajab-16-Sya’ban 1430 H, Hal 20
No comments