Murid Sekolah Islam, Tetapi Miskin Moral
Selasa, 20 April 2010 / 6 Jumadil Awwal 1431


Assalamu’alaikum,

Bu Erma, saya guru di sebuah SMP Islam di Jakarta, mengajar IPS Terpadu. Sungguh besar tantangan saya mengajar anak-anak dari kalangan berada yang miskin moralnya. Mohon masukan dari Ibu.

Terima Kasih,


Bu Yuni, Jakarta.


Wa’alaikum salam Bu Yuni,

Saya ikut prihatin dengan anak-anak sekolah Islam berperilaku jauh dari ajaran Islam. Tentunya ini tidak lepas dari harapan kita bahwa sekolah Islam mampu menjadi agen perubah menuju terbentuknya masyarakat Islam.

Saya juga sempat kaget melihat siswi saya yang berkerudung dan lulusan SMP Islam dengan senaknya menyandarkan kepala dipaha temannya yang laki-laki, berangkulan, dsb. Tapi itu masa lalu, Bu. Alhamdulillah, sekarang sudah banyak perubahan. Bahkan mencontek pun sudah malu, semoga karena merasa di awasi Allah.

Bu Yuni, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan anak-anak atas perilaku jahiliyahnya. Ada banyak faktor, antara lain: lingkungan (yang jauh dari ajaran Islam), media massa (yang menyebarkan kebebasan individu), dan pendidikan akhlaq yang rendah.

Siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan akhlaq ini? Saya menemukan fakta bahwa kita masih saling melempar tanggung jawab. Orang tua mengirim anaknya ke TPA / sekolah Islam dengan harapan yang tinggi akan terbentuknya akhlaq Islam pada putra-putrinya.

TPA dan sekolah berkeyakinan bahwa pendidikan akhlaq adalah tanggung jawab keluarga atau guru agama. Guru agama protes; “Bagaimana bisa saya ajarkan semuanya jika jatah pelajaran agama hanya 2 jam seminggu? !” (beban pelajaran agama meliputi tajwid, cara shalat, baca Al Qur’an, puasa, hafalan surat, dan lain-lain).

Ketika semua saling melemparkan tanggung jawab seperti ini, maka apakah salah jika anak-anak kita tumbuh dengan akhlaq yang jauh dari Islam? Siapa yang mengajari mereka tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan, tentang menebar senyum, tentang ucapan terima kasih saat selesai bertransaksi di toko, tentang haramnya mengolok-olok kekurangan temannya, tentang keberanian untuk membela dan mengatakan yang haq, tentang kebersihan dan harga diri?

Di sinilah masing-masing pendidik harus stepping up mengambil tanggung jawab. Mari berlomba-lomba berebut pahala Allah. “Saya” yang akan melakukannya, bukan “mereka”, pundak para guru, sebab kepada guru sekolah telah bersedia mengambil amanah ini dari orang tua.

Barangkali timbul pertanyaan: Sekolah kan tempat menimba ilmu akademis, mengapa di bebani masalah akhlaq? Kita terlalu terbiasa dengan pendidikan sekuler sehingga apapun harus dikotak-kotak. Padahal, ilmu tidak akan memberikan manfaat hakiki jika tidak dilandasi oleh akhlaq Islam.

Walhasil, sekolah-sekolah kita hanya menelorkan jagoan-jagoan yang kehilangan arah hidup. Jago komputer untuk jadi hacker. Jago perbankan untuk menyuburkan riba. Jago politik untuk meraup uang dan jabatan. Jago fisika untuk bekerja di pabrik senjata nuklir Amerika. Jago komunikasi untuk ikut menyebarkan fitnah-fitnah terhadap Islam di media massa. Jago bahasa Inggris untuk menjadi agen asing. Nah ?

Alangkah indahnya apabila anak-anak kita belajar akhlaq 24 jam sehari, di mana saja, dengan siapa saja, dan dalam pelajar apa saja. Sambil belajar sains, kita bangun akidah siswa. Sambil belajar Bahasa, kita tanamkan nilai baik / buruk, Islami / tidak. Sambil belajar IPS, kita ajarkan fiqh muamalat. Sambil belajar matematika, kita kenalkan ekonomi Islam.

Jika sekolah belum mendukung, Ibu bisa memulainya di dalam materi Ibu. Alhamdulillah Ibu diberi kesempatan mengajar IPS Terpadu. Banyak materi bisa Ibu jelaskan dengan kacamata Islam.

Ambil contoh pembangunan kota. Ibu sampaikan juga bagaimana Umar bin Khattab merancang kota agar sehat dan nyaman bagi warga. Hal ini tidak lepas dari ajaran Islam tentang tanggung jawab (akhlaq) seorang pemimpin negara.

Ibu tunjukkan bagaimana hebatnya kota-kota Islam di saat kota-kota Eropa kumuh dan menyeramkan. Ibu bangun kebanggaan terhadap Islam dan akhlaq Islam. Apalagi materi seperti tata pergaulan, hubungan masyarakat, kebersihan, semuanya sangat dekat dengan ajaran Islam sehingga sangat sayang jika materi-materi tersebut berlalu tanpa penanaman nilai-nilai Islam, tanpa penanaman makna pahala dan dosa.

Inilah kelebihan pendidikan akhlaq Islam dibanding pendidikan moral Barat. Akhlaq Islam dibangun dengan akidah, diatur secara jelas oleh syariat, dan di awasi 24 jam sehari oleh malaikat. Di Barat, moral dan nilai-nilai di ajarkan dalam setiap mata pelajaran, tetapi standar mereka kabur dan nisbi.

Akibatnya, moral pun tunduk pada azas manfaat. Ketika menghormati tetangga membawa kedamaian, maka moral ini dilaksanakan. Tetapi, ketika membunuh rakyat Irak dan Afghanistan membawa keuntungan ekonomi dan politik, maka moral pun ditinggalkan.

Semoga kita bisa bersama-sama membanugn moral masyarakat dengan Islam.

Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 62, Tanggal 6 – 20 Maret 2009 M / 9 – 23 Rabiul Awwal 1430 H, Hal 23


View Index Konsultasi Dunia Pendidikan